"Capek banget, 'kan, lu? Pulang aja, lah. Baru hari pertama masuk kantor juga, udah ngelembur."
"Tinggal cari bahan untuk headline besok, kok. Sebentar lagi habis itu langsung cabut."
"Iya, deh, iya. Our one-man-show prince," cibir Arga. Ia melirik laci meja kerja Atha yang setengah terbuka. Sticky notes warna-warni menempel di berbagai bingkisan bermotif. "Buset, lu dapat ini semua dari para karyawan cewek?"
Atha mengedikkan bahu. "Mungkin? Gue belum ngecek. Kirain emang udah ada di laci dari sebelum gue di sini."
"Enggak, lah. Parah lu." Arga berdecak kagum. "By the way, lu kenapa enggak jadi model aja, sih? Atau artis gitu. Malah jadi kuli tinta di kantor baru kayak begini pula. Padahal lu bisa mandi uang dengan modal tampang doang," tandas Arga gemas.
"Stop, deh. Jangan berlebihan."
"Ya udah, gue cabut duluan." Arga mengambil satu bingkisan dari laci. "Jangan lama-lama. Tinggal lu yang masih di sini."
Atha menggumam sebagai jawaban.
Koran-koran dari pelbagai redaksi menumpuk di hadapannya. Ia lanjut menyortir satu per satu sesuai kategori.
"Edisi Kamis tanggal lima belas... Jum'at enam belas... oke, sip."
Selesai, Atha menghempaskan diri di sofa. Hanya terdengar bunyi detik jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan. Segera ia beranjak ke depan komputer, membuka notepad untuk menyiapkan bahan berita besok.