Tuts-tuts mesin tik kuno itu bergerak. Menimbulkan suara gaduh ditengah malam. Bunyi tik tik tik tik dengan ritme yang sangat cepat terdengar cukup berisik. Kertas berhamburan di udara. Seakan tak pernah ada habisnya.
Cok Ngurah Ketut berdiri terpaku. Ia tidak ingin memercayai apa yang dilihatnya. Perlahan-lahan ia mendekati mesin tik kuno itu. Seketika itu juga mesin tik berhenti. Ditariknya selembar kertas dari mesin tik. Tertulis disana C H I S TO F F E L. Lalu Cok Ngurah jatuh pingsan.
***
Sebagai seorang pekerja kantoran, Cok Ngurah Ketut sangat menyukai hal-hal berbau seni. Terutama seni kerajinan tangan. Aneh memang. Di saat orang-orang sibuk bekerja di kantor dari pagi hingga malam, Cok Ngurah masih saja memiliki selera seni dalam darahnya. Sesekali ia dan keluarganya mengunjungi galeri-galeri seni yang ada di daerah Tabanan. Tempat ia tinggal saat ini.
Rasa hausnya akan seni bisa dibilang cukup besar. Ketika ia mendapat tugas kantor untuk meliput berita kedatangan duta besar Arab ke Malaysia, ia masih saja menyempatkan diri untuk berburu barang-barang antik.
Alhasil, kini dirumahnya penuh dengan barang antik bernilai tinggi. Pahatan patung Dayak, lukisan Basuki Abdullah, satu set perlengkapan musik gamelan berjejalan di ruang tamu. Tamu yang berkunjung ke rumahnya pasti akan mengira bahwa Cok Ngurah memiliki usaha jual beli barang antik.
"Oh tidak, saya tidak menjualnya. Ini semua adalah koleksi pribadi saya sejak saya masih kuliah dulu." begitu ucapnya ketika seorang kolega berkunjung ke rumahnya suatu hari.
Cok Ngurah dan keluarganya mengunjungi sebuah galeri seni yang baru dibuka di daerah Tabanan. Tak jauh dari tempat tinggalnya. Suasananya sangat ramai karena hari itu bertepatan dengan hari libur nasional. Alunan musik gamelan Jawa menyambut kedatangan mereka. Dua orang pelayan berdiri didepan pintu sambil tersenyum.
"Silakan masuk Tuan," sapa mereka.
Sementara ia melihat-lihat koleksi barang antik disana, Cok Ngurah menyuruh istrinya untuk mengajak anak-anaknya berkeliling. Agar ia bisa leluasa memilih barang antik yang disukainya. Ia berjalan menuju sebuah etalase besar berisi berbagai jenis patung kayu dan keris.
Memang, galeri seni ini khusus menjual barang-barang antik khas Jawa. tak hanya itu, replika busana Raja-raja Jawa dan para permaisurinya pun ada di Galeri Keraton. Tempat Cok Ngurah berada saat ini.
Langkah Cok Ngurah terhenti. Pandangan matanya menuju pada sebuah benda berbentuk kotak diatas meja. Terlihat usang tapi masih bersih terawat. Benda itu bertuliskan CORONA 1926. Berwarna coklat mengkilap. Ia memandangi benda itu dengan teliti.
Ada sesuatu yang membuatnya tertarik mendekat. Ia memandangi mesin tik itu sekali lagi. lalu menyentuhnya perlahan. Seketika aliran darahnya berdesir hebat. Jantungnya berdetak cepat. Ia seperti baru saja bangun dari pingsan.
"Selamat pagi Pak, ada yang bisa kami bantu," sebuah sapaan ramah mengejutkannya. Mengembalikan kesadarannya secara penuh."Oh maaf. Saya hanya ingin melihat-lihat barang ini saja. Tidak ada yang perlu dibantu."
Cok Ngurah lalu pergi meninggalkan pelayan itu. Ia bergabung bersama istrinya yang sedang asyik melihat-lihat koleksi replika busana Raja-raja Jawa. "Ayo bu, kita pulang." ucap Cok Ngurah.
Mereka berjalan meninggalkan Galeri Keraton yang mulai dipadati pengunjung. Ketika tiba di pintu utama galeri, seorang pelayan toko menyerahkan sebuah kartu nama kepada Cok Ngurah. "Terimakasih Tuan, silakan datang lagi." ucap mereka ramah.
***
Cok Ngurah menyerah juga, kartu kreditnya berpindah tangan ke seorang kasir cantik berbusana adat Jawa."Terimakasih atas kunjungannya. Ini kartu kredit Anda. Pelayan kami segera membungkus barang Anda. Barang bisa diambil disebelah sana. Terimakasih dan selamat datang kembali." ucap wanita itu ramah.
Ia masih ingat betul ucapan pelayan Galeri Keraton bahwa jika terjadi kerusakan selama masa garansi, ia bisa menukarnya dengan barang antik yang lain. Itulah mengapa Cok Ngurah berani membeli mesin tik kuno berharga sepuluh juta lima ratus ribu rupiah itu. Selain karena garansi yang menggiurkan, jaminan kualitas barang benar-benar diperhatikan oleh pihak Galeri Keraton.
"Selamat Bapak, Anda menjadi pemilik tunggal Mesin Tik Corona di Indonesia, perlu Bapak tahu bahwa mesin tik ini dikeluarkan tahun 1926 oleh Corona Typewriter.Inc di Amerika. Bapaklah pemegang hak lisensi satu-satunya di Indonesia.". Ucapan pelayan toko itu masih terngiang jelas di kepalanya.
Kedatangan Cok Ngurah disambut oleh anak dan istrinya. Rasa penasaran mereka membuntut mengikuti Cok Ngurah saat berjalan melewati ruang tamu. Perlahan-lahan Cok Ngurah membuka bungkusan kardus tebal itu. Diatas lemari kecil di ruang tamu, kini terpajang sebuah mesin tik kuno. Berdiri gagah meski kini usianya sudah ratusan tahun.
"Selamat Pak, akhirnya barang yang kau incar selama ini terwujud."
"Iya Bu, Bapak senang sekali. Setelah berbulan-bulan berburu mesin tik Corona ini, Bapak akhirnya menemukannya. Bapak hanya ingin merasakan sensasi mengetik laporan keuangan kantor menggunakan mesin tik. Bukan laptop. Itu saja sih sebenarnya tujuan Bapak beli mesin tik kuno ini."
"Tapi Bapak harus hati-hati. Yang namanya barang kuno pasti rapuh dan mudah rusak."
"Iya Bu, Bapak paham."
Keesokan harinya setelah pulang kerja, Cok Raka mengamati mesin tik kuno itu. Muncul ide dari dalam kepalanya, ia mengambil selembar kertas lalu memasukkannya kedalam rol penggulung kertas.
Perlahan-lahan ia menggulung kertas itu hingga posisinya tepat berada pada bilah titik pusat pengetikan. Ia mencoba mengetikkan namanya dengan kecepatan normal. Kecepatan seperti saat ia mengetik menggunakan laptop.
Namun sayang, namanya tidak akan bisa terketik sempurna. Sebuah tuts huruf R ternyata mengalami macet. Cok Ngurah mencoba memeriksanya sekali lagi. Ia merasa tidak ada yang salah dengan mesin tik kuno miliknya itu.
Karena tidak mampu menemukan penyebabnya, Cok Ngurah mencoba menghubungi Galeri Keraton untuk menanyakan hal ini. Tapi sayang, toko itu sudah tutup. Cok Ngurah baru menyadarinya setelah ia melihat jam kerja di kartu nama toko itu. "Ya sudahlah besok saja". gumamnya kemudian.
***
"Tuan... Tolong aku. Tolonglah aku Tuan."
Cok Ngurah tiba-tiba terbangun dari mimpinya. Sebuah mimpi yang tidak bisa ia nalar. Ia mendapati tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Membasahi pakaiannya. Istrinya terdengar sedang memasak di dapur pagi itu. Sehingga Cok Ngurah pun bangun dan bergegas untuk mandi.
Saat sarapan, Cok Ngurah menceritakan perihal mimpinya kepada Cok Pradnya Savita istrinya. "Mungkin Bapak kecapekan. Mana mungkin ada sosok lelaki seperti itu di zaman sekarang." jawab istrinya yang kemudian diikuti oleh anggukan kepala Cok Ngurah.
Demikianlah, sejak keanehan itu terjadi, setiap tengah malam pada hari Kamis malam Jum'at selalu terdengar suara mesin tik berbunyi. Seolah ada seseorang yang menggunakan mesin tik kuno itu. Anehnya, hanya Cok Ngurah saja yang bisa mendengarkan bunyi itu.
"Apakah ibu mendengar suara itu? Suara mesin tik itu?"
"Tidak Pak, lebih baik Bapak cepat tidur. sudah malam Pak."
Kejadian-kejadian aneh dan ganjil mulai terjadi. Kertas-kertas berserakan di lantai dekat lemari kecil. Hal ini terjadi setiap Jumat pagi. Karena memang di hari-hari biasa, tidak ditemukan kertas-kertas itu berserakan. Hingga akhirnya Cok Ngurah mengetahui pola kejadian tersebut. Bahwa mesin tik kuno itu selalu berbunyi saat tengah malam Jum'at. Dan kertas-kertas itu akan muncul keesokan paginya.
Karena kesibukan kerja, Cok Ngurah sudah jarang menggunakan mesin tik kuno itu, ia sudah melupakannya. Hingga ia pun lupa menghubungi Galeri Keraton untuk menanyakan garansi atas mesin tik miliknya.
Suatu pagi, ketika istri Cok Ngurah merapikan lemari kecil dan membersihkan koleksi barang-barang antik di ruang tamu, ia menemukan setumpuk kertas diatas lemari.
"Pak... Bapak kenapa boros sekali dengan kertas, baru dipakai sedikit kok sudah dibuang?"
"Apa Bu? Kertas apa?"
Cok Pradnya menyerahkan setumpuk kertas kepada suaminya. Cok Ngurah menerima kertas itu dan membuka satu persatu lembaran kertas. Ia penasaran dengan apa yang dikatakan istrinya tentang pemborosan kertas. Padahal ia tidak merasa memakai kertas-kertas itu untuk mengetik.
Betapa kagetnya ia ketika mendapati sebuah kata di setiap lembar kertas yang ia bawa. Sebuah kata yang diketik dengan tinta yang sedikit buram. Namun Cok Ngurah tidak menggubrisnya. Ia mengembalikan kertas itu ke tempatnya semula.
Setelah menyelesaikan tugas-tugas kantor, Cok Ngurah merapikan meja ruang tamu. Lalu ia masuk kedalam kamarnya sambil membawa setumpuk berkas. Istrinya sudah tertidur pulas. Perlahan ia meletakkan berkas-berkas itu diatas meja. Lalu ia keluar kamar untuk mengunci pintu dan jendela rumah. Jam di dinding menunjukkan pukul 23.00. Rupanya sudah hampir dua jam ia menyelesaikan tugasnya.
Mata Cok Ngurah tertuju pada mesin tik kuno itu. "Ada apa sebenarnya?" gumam Cok Ngurah dalam hati. Lalu ia mematikan lampu ruang tamu dan masuk kedalam kamar. Suasana sepi.
Sudah hampir dua jam Cok Ngurah berbaring, namun matanya sulit terpejam. Sayup-sayup ia mendengar suara mesin tik kuno itu lagi. Tik tik tik tik. Cok Ngurah bangkit perlahan dari ranjang. Ia meraih ponsel diatas meja dan menyalakan senternya. Dibukanya pelan pintu kamarnya. Sambil mengendap-endap ia arahkan senternya menuju ruang tamu.
Tuts-tuts mesin tik kuno itu bergerak. Menimbulkan suara gaduh ditengah malam. Bunyi tik tik tik tik dengan ritme yang sangat cepat terdengar cukup berisik. Kertas berhamburan di udara. Seakan tak pernah ada habisnya.
Cok Ngurah berdiri terpaku. Ia tidak ingin memercayai apa yang dilihatnya. Ia mendekati mesin tik kuno itu untuk memastikan akan apa yang dilihatnya. Seketika itu juga mesin tik berhenti. Ditariknya selembar kertas dari mesin tik. Tertulis disana C H I S TO F F E L. Lalu Cok Ngurah jatuh pingsan.
***
"Pak... Bangun Pak." ucap Cok Pradnya sambil menepuk pelan pipi suaminya itu.
"Ada apa denganku Bu? Apa yang terjadi?"
Cok Pradnya memberikan segelas air putih kepada suaminya. Ia menjelaskan detail kejadian yang dialaminya pagi itu. "Jadi semalam aku pingsan Bu?" tanya Cok Ngurah yang diikuti anggukan istrinya. Kejadian semalam rupanya tidak berpengaruh apapun. Cok Ngurah masih sehat dan bisa berangkat bekerja seperti biasa.
"Jadi, semalam ada apa Pak? Kenapa Bapak pingsan?"
"Aku melihat lelaki itu Bu."
***
Bali 1930,
Hati Christoffel senang tak terkira. Mesin tik pesanannya baru saja tiba. Mesin tik itu ia dapatkan dari seorang koleganya di Belanda. Sudah tiga bulan lamanya ia menunggu kedatangan mesin tik buatan Amerika itu. "Akhirnya aku bisa bekerja kembali." gumam Christoffel.
Sudah cukup lama Christoffel tidak menerbitkan berita di surat kabar miliknya. Mesin tiknya rusak. Wajar kiranya ia sangat senang begitu membuka paket berisi mesin tik merek CORONA 1926 itu.
Tak menunggu lama, ia segera mengambil buku catatannya. Membukanya lembar demi lembar dan mulai mengetiknya satu persatu. Tik tik tak tik tak. Suara mesin tik itu terdengar nyaring. Bagai alunan musik didalam telinga Christoffel. Ia tersenyum.
Tepat seminggu kemudian, terbitlah koran Bataviase Nouvelles edisi ke-10. Cetakan pertama di tahun 1930 yang langsung ludes terjual habis. Christoffel merasa senang.
Namun sayang, ada senang ada susah. Ada berkah ada musibah. Saat sedang mengetik artikel, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Ada tamu menyambangi rumah Christoffel malam itu. Karena pembantunya sudah tertidur, Christoffel terpaksa menghentikan pengetikan dan membuka pintu rumahnya.
"Maaf Tuan-tuan, ada apa malam-malam begini bertamu ke...?"
Tanpa memberikan kesempatan kepada Christoffel untuk melanjutkan kalimatnya, seorang lelaki bertubuh tegap mendorongnya masuk. Dua orang mengikutinya dari belakang. Didalam rumah itu, terjadi adu mulut diantara mereka.
"Tulisan-tulisanmu telah menggagalkan semua rencana kami."
"Rencana apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
Dengan pisau di lehernya, Christoffel mendengarkan penjelasan Marius Jacobus. Surat kabar Bataviase Nouvelles dianggap terlalu liberal dan membahayakan kedudukan VOC di Asia.
Marius memerintahkan Christoffel untuk menutup surat kabar miliknya. Meskipun Marius tahu bahwa Christoffel adalah orang Belanda sama seperti dirinya, ia tidak peduli. Selama ada orang menghalangi jalan pemerintahan VOC, orang itu harus dimusnahkan.
Christoffel tetap keras kepala. Ia menolak perintah Marius. Ia menganggap hal itu mustahil. Bagaimana mungkin ia menutup surat kabar beromset besar miliknya. Surat kabar yang membuatnya makin kaya.
Hingga akhirnya terjadilah adu mulut diantara mereka malam itu. Namun adu mulut itu tidak berlangsung lama, salah seorang bawahan Marius berbisik.
"Tuan, aku punya ide?"
"Apa? Katakan."
Dua orang bawahan Marius Jacobus menyeret tubuh Christoffel menuju meja kerjanya. Salah seorang dari mereka memegangi tubuh Christoffel. Sedangkan yang lain menarik tangan kanan Christoffel dan memasukkan jari telunjuknya kedalam lubang dibagian bawah salah satu tuts mesin ketik milik Christoffel.
Christoffel mengerang hebat. Namun erangan itu tertahan oleh tangan yang menutup mulutnya. Matanya melotot menahan sakit saat ia sadar bahwa jari telunjuknya telah putus. Darah segar menetes di lantai. Marius tersenyum puas.
"Cukup, ayo kita pergi."
"Tunggu dulu Tuan. Ada sesuatu yang harus kita amankan."
Beberapa menit kemudian tiga orang tamu tak diundang itu pergi meninggalkan Christoffel yang tergeletak di lantai. Ia pingsan.
Hari berganti hari, luka Christoffel makin parah dan membusuk. Obat-obatan tidak mampu menyembuhkan lukanya. Obat-obatan terbaik hanya ada di Batavia. Akan sangat beresiko bagi Christoffel jika ia memaksa pergi ke Batavia dalam situasi perang seperti sekarang. Akhirnya ia meninggal dengan luka infeksi di jari kanannya.
***
Cok Ngurah makin sering mendapatkan gangguan gaib. Sekeras apapun ia berusaha memecahkan misteri tulisan yang muncul diatas kertas itu, tetap saja hasilnya nihil.
Suatu ketika ia mendapatkan petunjuk. Ia menelpon Galeri Keraton. Membuat janji untuk bertemu dengan salah satu pelayan disana. Dengan alasan ia ingin mereparasi tuts mesin tiknya yang rusak.
"Ada yang bisa saya bantu Tuan?"
"Tuts R mesin tik ini rusak. Bisakah kau memperbaikinya?"
"Baiklah Tuan, kami akan memeriksanya sebentar. Mohon ditunggu."
Lima belas menit berlalu. Pelayan Galeri Keraton itu kembali sambil membawa mesin tik CORONA 1926 di tangannya. "Maaf Tuan, mungkin tuan belum terbiasa dengan mesin tik ini." Lalu dengan sabarnya pelayan itu menjelaskan cara menekan tuts mesin tik itu. semua huruf muncul diatas kertas. Termasuk huruf R.
Tidak ada kerusakan seperti yang diceritakan oleh Cok Ngurah. Merasa bodoh, Cok Ngurah segera mengambil mesin tik miliknya. Ia tidak mau ambil pusing untuk menjelaskan permasalahannya kepada pelayan toko itu.
"Kalau boleh aku tahu, darimana kalian mendapatkan mesin tik ini? Siapa pemilik asli mesin tik ini? tanya Cok Ngurah.
Hari belumlah terlalu sore, Cok Ngurah bergegas menuju sebuah tempat. Jalan yang terjal tidak menyurutkan semangatnya. Berkat informasi dari pelayan toko Galeri Keraton, ia tiba dirumah si pemilik pertama mesin tik itu.
"Maaf, apakah benar disini tempat tinggal Bapak Made?"
"Benar Tuan, Tuan ini siapa?"
Perbincangan hangat terjadi diantara keduanya. Lelaki bernama Wayan itu menceritakan siapa sebenarnya Made dan apa hubungannya dengan mesin tik CORONA 1926 yang ada di tangan Cok Ngurah.
"Jadi Made menerima mesin tik ini dari majikannya yang merupakan orang Belanda?"
"Benar Tuan, kakek buyut saya dulu bekerja sebagai tukang kebun dirumah salah seorang pegawai Belanda. Menurut kakek buyut saya, mesin tik ini adalah hasil rampasan dari salah seorang jurnalis Belanda pada masa itu."
"Tahun berapa kakekmu menerima mesin tik ini?"
"Seingat saya tahun 1930."
Malam harinya, Cok Ngurah tidak tidur. Setelah ia mengunci semua pintu dan jendela rumahnya, ia mencari data jurnalis Belanda di Bali pada tahun 1930. Termasuk surat kabar Belanda yang terbit pada masa itu.
Puluhan nama tertera di mesin pencari di internet. Namun hanya ada satu nama yang menyita perhatiannya. CHRISTOFFEL. Mata Cok Ngurah tidak bisa diajak kompromi. Tiba-tiba ia tertidur diatas meja tamu dalam keadaan laptop masih menyala.
***
Entah merupakan suatu kebetulan atau bukan, pagi itu Cok Ngurah menerima sebuah naskah novel sejarah. Padahal sebelumnya ia hanya mengedit naskah novel remaja.
"Tidak ada alasan lagi. Aku beri kamu waktu tiga minggu untuk mengedit naskah ini."
"Tapi Pak..."
Cok Ngurah tidak bisa menolah permintaan atasannya itu. Meski dengan berat hati, ia membuka lembar demi lembar naskah novel sejarah dihadapannya. Saat Cok Ngurah membaca sinopsis novel, ia menemukan sebuah kalimat yang cukup menyita perhatiannya. Pemakaman kuno Belanda di Bali.
Cok Ngurah berhenti membaca, ia raih laptopnya dan mulai mengetik kalimat "Pemakaman kuno Belanda di Bali". Puluhan artikel bermunculan. Ia mempelajari artikel itu satu persatu. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah artikel yang berisi data yang sedang ia cari.
"Inikan....." ucap Cok Ngurah dengan ekspresi terkejut.
Perjalanan dari Tabanan menuju Kerobokan hanya membutuhkan waktu tiga jam. Setelah Cok Ngurah mendapatkan izin dari atasannya kemarin, ia segera melakukan riset kecil tentang naskah novel sejarah yang sedang ia edit. Mesin tik CORONA 1926 terlihat disamping kursi kemudi.
"Baiklah. Lakukan saja sekarang. Aku mau novel sejarah itu bisa cetak bulan depan. Karena cerita dan setting tempatnya sangat bagus. Daya jualnya akan tinggi. aku yakin itu."
Ucapan atasannya masih terngiang jelas didalam kepala Cok Ngurah. Kali ini ia berharap bahwa naskah novel sejarah ditangannya akan bisa cetak bulan depan.
Ketika hari menjelang sore, Cok Ngurah tiba di komplek pemakaman kuno Belanda di daerah Kerobokan. Berkat informasi juru kunci makam, ia melangkah masuk kedalam areal pemakaman. Tanpa kesulitan sedikitpun, akhirnya ia berhasil menemukan makam yang ia cari. Makam itu terletak di bagian sisi timur areal pemakaman. Terlihat bersih dan terawat. Termasuk juga makam-makam yang lainnya.
Hier legt begraven
Zyne [e]xcell[entie] den hoog
Christoffel van imhoff
Bataviase nouvelles columnist
Ten deenste van den staat der
Vereenigde nederlanden
En wegens deselve ende
Nederlandsche oost
Indische comp[agnie] gouverneur
Generaal van nederlands india
Gebooren tot lier in
Oostvriesland 8ste augustus 1900
En obiit 1 ste nov[ember] 1930
Cok Ngurah mengamati batu nisan berukuran 1 x 2 meter didepannya. Membaca tulisan berbahasa Belanda diatasnya. Berbagai simbol-simbol terukir jelas diatas batu marmer putih itu.
Ia paham bahwa pemilik jasad yang terkubur dibawah batu nisan ini adalah seorang jurnalis. Hal itu dapat ia buktikan lewat ukiran ikon bulu angsa tercelup didalam botol tinta. Ia sangat yakin karena ia pernah melihat ikon seperti ini sebelumnya dari naskah yang pernah ia baca.
"Jadi kau ada disini rupanya." gumam Cok Ngurah.
Setelah cukup lama mengamati tulisan dan berbagai lambang heraldik yang tersebar diatas batu nisan itu, Cok Ngurah mendadak tersadar akan mesik tik kuno miliknya. Segera ia berjalan meninggalkan makam untuk mengambil mesin tik CORONA 1926 didalam mobilnya.
Cok Ngurah kemudian duduk di tepi nisan sambil memangku mesin tik miliknya. Lalu ia mengambil selembar kertas didalam tas kerjanya dan memasukkan kertas itu kedalam rol penggulung mesin tik. Ia mencoba mengabadikan tulisan diatas batu nisan. Sayang sekali, usahanya gagal. Seperti sebelum-sebelumnya, tuts huruf R tidak bisa digerakkan.
"Aneh, padahal kemarin di Galeri Keraton aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau mesin tik ini baik-baik saja. Tapi sekarang..."
Cok Ngurah mengamati sekali lagi bagian dalam mesin tik CORONA 1926 itu. Ia mengguncangnya pelan-pelan. Tidak ada perubahan apapun. Tuts huruf R tetap tidak bisa digerakkan. Lalu ia mengamati sekali lagi mesin tik itu. Dibawah sinar matahari sore, terlihat dengan jelas bahwa ada sesuatu mengganjal didalam slot tuts huruf R.
Cok Ngurah mengamati sekelilingnya. Ia menemukan sebuah sapu lidi tergeletak tidak jauh dari makam. Rupanya juru kunci baru saja menggunakannya untuk membersihkan makam. Lalu ia mengambil sebatang sapu lidi, mematahkannya menjadi kecil dan memasukkannya kedalam slot dibawah tuts huruf R.
Berkat usahanya yang cukup keras, sesuatu itupun akhirnya terlepas dari dalam slot dan jatuh tepat dihadapannya. Sebuah tulang ujung jari telunjuk yang mulai membatu. Lalu ia menguburkan jari itu didekat nisan.
***
Tepat tanggal 1 November 2019, novel sejarah itu terbit sesuai harapan Cok Ngurah. Novel itu menjadi best seller di Bali. Kantor Nusa Bali Express mendapatkan omset yang cukup besar. Cok Ngurah mendapatkan promosi jabatan.
"Selamat ya Pak, akhirnya berkat usaha keras Bapak selama ini, Bapak terpilih menjadi direktur senior di kantor Bapak."
"Iya Bu, semua ini juga berkat do'a ibu dan dukungan ibu."
Malam itu malam Jum'at. Malam yang selalu mengganggu Cok Ngurah. Namun kali ini terlihat berbeda. Sunyi dan tenang. Membuat Cok Ngurah bisa tidur dengan pulas bersama istri dan anaknya.
Mesin tik CORONA 1926 yang sering mengganggu Cok Ngurah, kini telah diam. Tuts-tuts mesin tik itu seolah terkunci rapat ditempatnya. Tidak ada lagi bunyi gaduh di tengah malam Jum'at.
Di dalam mimpinya, Cok Ngurah tersenyum, seseorang menemui dirinya. "Terimakasih Tuan, kau telah mengembalikan sebagian dari diriku yang hilang." Cok Ngurah membalas senyuman ramah Christoffel Van Imhoff. Jurnalis Belanda pemilik tulang ujung jari itu. "Semoga kau bisa beristirahat dengan tenang disana." ucap Cok Ngurah.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H