"Iya Bu, Bapak senang sekali. Setelah berbulan-bulan berburu mesin tik Corona ini, Bapak akhirnya menemukannya. Bapak hanya ingin merasakan sensasi mengetik laporan keuangan kantor menggunakan mesin tik. Bukan laptop. Itu saja sih sebenarnya tujuan Bapak beli mesin tik kuno ini."
"Tapi Bapak harus hati-hati. Yang namanya barang kuno pasti rapuh dan mudah rusak."
"Iya Bu, Bapak paham."
Keesokan harinya setelah pulang kerja, Cok Raka mengamati mesin tik kuno itu. Muncul ide dari dalam kepalanya, ia mengambil selembar kertas lalu memasukkannya kedalam rol penggulung kertas.
Perlahan-lahan ia menggulung kertas itu hingga posisinya tepat berada pada bilah titik pusat pengetikan. Ia mencoba mengetikkan namanya dengan kecepatan normal. Kecepatan seperti saat ia mengetik menggunakan laptop.
Namun sayang, namanya tidak akan bisa terketik sempurna. Sebuah tuts huruf R ternyata mengalami macet. Cok Ngurah mencoba memeriksanya sekali lagi. Ia merasa tidak ada yang salah dengan mesin tik kuno miliknya itu.
Karena tidak mampu menemukan penyebabnya, Cok Ngurah mencoba menghubungi Galeri Keraton untuk menanyakan hal ini. Tapi sayang, toko itu sudah tutup. Cok Ngurah baru menyadarinya setelah ia melihat jam kerja di kartu nama toko itu. "Ya sudahlah besok saja". gumamnya kemudian.
***
"Tuan... Tolong aku. Tolonglah aku Tuan."
Cok Ngurah tiba-tiba terbangun dari mimpinya. Sebuah mimpi yang tidak bisa ia nalar. Ia mendapati tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Membasahi pakaiannya. Istrinya terdengar sedang memasak di dapur pagi itu. Sehingga Cok Ngurah pun bangun dan bergegas untuk mandi.
Saat sarapan, Cok Ngurah menceritakan perihal mimpinya kepada Cok Pradnya Savita istrinya. "Mungkin Bapak kecapekan. Mana mungkin ada sosok lelaki seperti itu di zaman sekarang." jawab istrinya yang kemudian diikuti oleh anggukan kepala Cok Ngurah.