“Baiklah. Terimakasih Ni” jawab I Wayan Suardika sambil pamit pulang meninggalkan kediamannya. Kediaman seorang dukun santet yang selalu remang – remang. Penuh dengan wangi dupa mengepul di udara. Dupa untuk Dewi Durga. Durga Puja.
***
Diantara kebingungan dan ketakutan akan nasib keluarganya – dirinya dan ibunya, Anak Agung Raka Sidan bertekad untuk menyelesaikan perseteruan dua keluarga. Perseteruan antara keluarga ajinya dengan iwanya. Di satu sisi ia tidak mungkin melepaskan harta warisan ajinya yang berupa tanah tempat tinggalnya yang telah ditempatinya turun temurun. Lebih tepatnya sudah tiga generasi menempati rumah ini. Tentunya telah banyak kenangan yang tidak mungkin akan ia hapus dari memorinya. Sanggah yang ada didalam pekarangan rumahnya. Sanggah yang selama ini digunakan keluarganya untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama kakek dan neneknya yang telah meninggal. Padmasari yang berada di sebelah timur laut pekarangan rumahnya yang selama ini ia gunakan untuk pemujaan kepada Sang Hyang Widhi dan Bhatara – Bhatari. Semuanya adalah bagian dari dirinya dan kehidupannya yang tidak akan pernah ia lupakan. Apalagi harus ia serahkan kepada iwanya. Semua ini menyangkut kehormatan keluarganya. Kehormatan yang harus ia junjung tinggi. Apapun yang terjadi.
“Jadi bagaimana ? kapan kalian akan pindah dari rumah ini ?” tanya I Wayan Durma.
“Berilah kami waktu iwa ?” pinta Anak Agung Raka Sidan.
“Waktu ? Kau pikir waktu milikmu ? Aku sudah cukup sabar menunggu. Aku sudah sangat banyak membantumu dan ajimu selama ini ! Apa kau pikir semua itu gratis haaah…. ! bentak I Wayan Durma sambil berkacak pinggang.
“Apa iwa ? Ja… jadi selama ini kau….”
“Ya benar. Aku tidak membantumu secara cuma – cuma. Semua itu ada imbalannya” jawab iwanya singkat.
Seperti disambar petir, Anak Agung Raka Sidan dan biyungnya terhenyak. Mulut mereka terdiam. Anak Agung Raka Sidan hendak memukul iwanya. Giginya bergemerutuk menahan amarah. Bola matanya merah bara api. Laksana Rangda yang ingin menjulurkan lidah apinya yang panjang yang siap menelan mangsa didepannya hidup – hidup. Namun biyungnya segera memegang bahunya. Menahannya. Meredam amarahnya. Amarah Rangda yang ada dalam jiwanya.
“Bli… Sudahlah…” bisik ibunya lirih.
“Baiklah iwa, aku akan membayar semua itu secepatnya” jawab Anak Agung Raka Sidan singkat.