Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rangda

30 September 2016   11:16 Diperbarui: 30 September 2016   11:24 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rangda http://www.alamy.com/stock-photo/rangda-mask.html

Om Swastiastu

Om Awighnamastu Namo Siddham

O Hrang HringSah Parama Siwaditya ya Namah

“Benarkah itu biyung ?” tanya Anak Agung Raka Sidan setelah sembahyang di Sanggah pagi yang hangat dan cerah itu. Namun kehangatan mentari seakan lenyap seketika. Ekspresi wajahnya mendadak berubah. Matanya melotot. Seakan – akan ia tak percaya atas apa yang baru saja didengarnya.

“Benar bli, bulan depan kita harus pergi meninggalkan rumah ini. Tepatnya setelah upacara Odalan Pura Dalem.

“Tapi, mengapa iwa setega itu biyung ? Belum genap sebulan aji meninggal. Jenazah aji belum juga diaben. Baru saja tiga minggu lalu aji disemayamkan di Pura Dalem. Jasadnya pun masih utuh. Tapi mengapa iwa mengusir kita secepat itu ? mengapa iwa tidak menghormati kita yang sedang berkabung biyung ?”

“Sudahlah bli, kita sudah tidak punya hak atas rumah ini lagi “ jawab Ni Kadek Suasti sambil membelai rambut anak lelakinya untuk meredam emosinya yang kian memuncak.

Mata Anak Agung Raka Sidan membelalak lebar. Seperti ada bara api yang besar membara di kedua bola matanya.

Air mata ibunya meleleh dikedua pipinya yang mulai keriput. Teringat ucapan I Wayan Durma seminggu yang lalu…

“Sebaiknya kau segera membereskan barang – barangmu. Segeralah kau dan anakmu angkat kaki dari rumah orangtuaku ini. Karena mulai sekarang rumah ini sudah menjadi hak milikku” ucap I Wayan Durma kepada Ni Kadek Suasti pagi itu. Saat Anak Agung Raka Sidan tidak berada dirumah karena bekerja. Ia sengaja datang pagi – pagi agar tidak bertemu dengan anak lelaki kakaknya itu. Karena ia paham betul sifat Anak Agung Raka Sidan jika sedang marah. Seperti Rangda yang sedang murka.

***

“Raka, sebaiknya ajimu segera kau bawa berobat ke rumah sakit. Kasihan ajimu harus menanggung sakit yang berkepanjangan.

“Tapi iwa, kami sudah kehabisan uang. Sawah peninggalan aji sudah kami jual untuk pengobatan beliau. Sekarang kami sudah tidak memiliki uang sepeserpun. Aku sendiri belum juga dapat pekerjaan hingga saat ini “ jawab Anak Agung Raka Sidan tertunduk lesu dihadapan iwanya. Tatapan matanya hampa. Pikirannya kosong. Seakan – akan tidak ada harapan lagi untuk menyembuhkan ajinya.

Dalam kekalutan pikirannya, tiba – tiba I wayan Durma berujar…

“Mmm… Raka, sebenarnya iwa sendiri tidak tega melihat ajimu tersiksa rasa sakit seperti ini. Dalam hati iwa ikut bersedih melihat ajimu terserang lumpuh seperti ini” ucap I Wayan Durma dibelakang keponakannya dengan suara menyayat hati, namun ekspresinya wajahnya menyiratkan rasa senang.

“Membusuklah kau di neraka” gumam I Wayan Durma dalam hati.

“Aku harus bagaimana iwa? Sekarang aku butuh uang untuk biaya pengobatan aji” ucap Anak Agung Raka Sidan lirih.

“Tenanglah, nanti iwa akan bantu” ucap I Wayan Durma.

Riwayat penyakit I Wayan Suardika bukanlah tanpa sebab. Sore itu setelah pulang dari mencangkul ladangnya, I Wayan Suardika beraktivitas seperti biasa. Duduk – duduk didepan teras rumahnya sambil menikmati secangkir kopi panas buatan istrinya Ni Kadek Suasti. Saat itu menjelang senja. Matahari menampakkan sinarnya yang kemerahan. Serupa cahaya jingga keemasan. Sangat indah.

“Ini aji kopinya, minumlah selagi panas” ucap Ni Kadek Suasti kepada suaminya.

“Terimakasih” jawab I Wayan Suardika sambil menyeruput kopi panas buatan istrinya.

“Bagaimana hasil ladang kita aji ?” tanya Ni Kadek Suasti.

“Memuaskan sekali. Tahun ini panen kita akan melimpah ” balas I Wayan Suardika.

“Kalau begitu besok pagi aku akan ke Pura untuk sembahyang. Memanjatkan rasa syukur kepada Dewata atas hasil panen yang melimpah ini.

“Sebaiknya kau ajak anak kita, jangan kau berangkat sendirian” ucap suami Ni Kadek Suasti.

“Iya, sebaiknya memang begitu “ balas Ni Kadek Suasti.

Matahari perlahan lenyap dibalik awan. Senja mulai nampak di langit Bali. Burung – burung mulai beterbangan kembali ke sarangnya masing – masing. Udara mulai terasa dingin.

“Aduh….” teriak I Wayan Suardika dalam teriakan kecil.

“Kenapa aji ?” tanya Ni Kadek Suasti.

“Tidak apa – apa, mendadak lengan kananku sakit seperti digigit semut” ucap I Wayan Suardika sambil memegangi lengan kanannya yang nyeri.

“Sini coba aku lihat” ucap istrinya sambil membuka lengan baju kanan suaminya.

“Bagaimana?” tanya I Wayan Suardika.

“Aaah… tidak ada apa – apa kok, mungkin itu Cuma nyeri otot saja aji” ucap istrinya.

“Ya sudahlah, ayo kita masuk. Hari sudah mulai malam. Segera kau siapkan makan malam”

“Baiklah akan aku siapkan”

Keesokan harinya, I Wayan Suardika mendadak tidak bisa bangun seperti biasa. Badannya tidak bisa digerakkan separuh. Mulutnya terkunci tidak bisa berucap. Sejak saat itu I Wayan Suardika berada dalam pengawasan dokter sepenuhnya. Berbagai macam obat telah diberikan dan puluhan juta telah dikeluarkan untuk biaya pengobatannya. Diagnosa dokter mengatakan bahwa penyakit I Wayan Suardika hanyalah penyakit biasa yang akan segera sembuh. Namun hingga ajal menjemputnya, tak satupun yang tahu asal muasal dan penyebab penyakit itu. termasuk istri I Wayan Suardika yang menemaninya minum kopi sebelum suaminya jatuh sakit seperti sekarang ini.

Mendengar kakaknya jatuh sakit, I Wayan Durma sangat senang. Segera ia berangkat sore itu untuk menemui seseorang. Ni Made Suntri.

“Kerjamu sangat luar biasa. Aku sangat puas” ucap I Wayan Suardika.

“Tentu saja. Aku selalu melakukannya dengan hasti – hati. Dengan persiapan yang sangat matang. Dengan sesajen daging babi yang besar. Di Pura Dalem aku memohon pada Bethari Durga untuk membantuku memuluskan rencanamu itu. semalaman aku berdo’a di Pura Dalem. Sekarang mana imbalan yang telah kau janjikan ?” tanya Ni Made Suntri – Si dukun santet. Dukun tua yang terkenal kesaktiannya.

“Ini uangnya. Seperti kesepakatan kita” jawab I Wayan Suardika sambil menyodorkan amplop coklat berisi uang.

“Hmmm… Bagus. Kau menepati janjimu” ucap Ni Made Suntri.

“Tapi apakah aku akan aman ? apakah nanti tidak akan ketahuan kalau aku yang mengirim santet ini?” tanya I Wayan Suardika cemas.

“Tenanglah. Santet desti adalah santet yang paling kuat. Kau tak usah cemas. Tidak akan ada yang tahu bahwa kau yang telah mengirim santet ini. Dan aku menjamin kalau orang yang terkena santet desti pasti hidupnya tidak akan lama lagi. Dengan matinya orang itu, kejahatanmu pun akan ikut terkubur bersamanya. Hahahahaha….” Jawab Ni Made Suntri sambil tertawa lebar dan angkuh. Seperti Rangda yang ingin melenyapkan musuhnya dengan lidahnya yang menjulur panjang dan berapi – api. Rangda, penjelmaan Dewi Durga. Dewi yang dipuja oleh para penganut ilmu hitam.

“Sekarang kau pulanglah dengan tenang. Tak ada lagi yang perlu kau takutkan” ucap Ni Made Suntri.

“Baiklah. Terimakasih Ni” jawab I Wayan Suardika sambil pamit pulang meninggalkan kediamannya. Kediaman seorang dukun santet yang selalu remang – remang. Penuh dengan wangi dupa mengepul di udara. Dupa untuk Dewi Durga. Durga Puja.

***

Diantara kebingungan dan ketakutan akan nasib keluarganya – dirinya dan ibunya, Anak Agung Raka Sidan bertekad untuk menyelesaikan perseteruan dua keluarga. Perseteruan antara keluarga ajinya dengan iwanya. Di satu sisi ia tidak mungkin melepaskan harta warisan ajinya yang berupa tanah tempat tinggalnya yang telah ditempatinya turun temurun. Lebih tepatnya sudah tiga generasi menempati rumah ini. Tentunya telah banyak kenangan yang tidak mungkin akan ia hapus dari memorinya. Sanggah yang ada didalam pekarangan rumahnya. Sanggah yang selama ini digunakan keluarganya untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama kakek dan neneknya yang telah meninggal. Padmasari yang berada di sebelah timur laut pekarangan rumahnya yang selama ini ia gunakan untuk pemujaan kepada Sang Hyang Widhi dan Bhatara – Bhatari. Semuanya adalah bagian dari dirinya dan kehidupannya yang tidak akan pernah ia lupakan. Apalagi harus ia serahkan kepada iwanya. Semua ini menyangkut kehormatan keluarganya. Kehormatan yang harus ia junjung tinggi. Apapun yang terjadi.

“Jadi bagaimana ? kapan kalian akan pindah dari rumah ini ?” tanya I Wayan Durma.

“Berilah kami waktu iwa ?” pinta Anak Agung Raka Sidan.

“Waktu ? Kau pikir waktu milikmu ? Aku sudah cukup sabar menunggu. Aku sudah sangat banyak membantumu dan ajimu selama ini ! Apa kau pikir semua itu gratis haaah…. ! bentak I Wayan Durma sambil berkacak pinggang.

“Apa iwa ? Ja… jadi selama ini kau….”

“Ya benar. Aku tidak membantumu secara cuma – cuma. Semua itu ada imbalannya” jawab iwanya singkat.

Seperti disambar petir, Anak Agung Raka Sidan dan biyungnya terhenyak. Mulut mereka terdiam. Anak Agung Raka Sidan hendak memukul iwanya. Giginya bergemerutuk menahan amarah. Bola matanya merah bara api. Laksana Rangda yang ingin menjulurkan lidah apinya yang panjang yang siap menelan mangsa didepannya hidup – hidup. Namun biyungnya segera memegang bahunya. Menahannya. Meredam amarahnya. Amarah Rangda yang ada dalam jiwanya.

“Bli… Sudahlah…” bisik ibunya lirih.

“Baiklah iwa, aku akan membayar semua itu secepatnya” jawab Anak Agung Raka Sidan singkat.

“Kapan ?” tanya iwanya.

“Bulan depan saat piodalan Pura Dalem”

“Baiklah, aku tunggu. Kebetulan aku juga ikut piodalan itu”

Seminggu setelah pertemuan dengan iwanya. Anak Agung Raka Sidan berusaha memutar otak. Namun tetap saja ia menemui jalan buntu. Hingga akhirnya ia bertekad untuk melenyapkan iwanya sendiri. Ia tidak memperdulikan akibatnya kelak. Lebih baik ia mati daripada kehormatan keluarganya diinjak – injak oleh orang lain.

“Piodalan…..” gumamnya dalam hati.

***

Seminggu menjelang Upacara Piodalan Pura Dalem, Anak Agung Raka Sidan menemui I Nyoman Abdita – pemuka adat desa. Dengan mengenakan kemeja putih dan udeng berwarna putih ia berangkat menuju rumah pemuka adat desa itu. Ia bermaksud menanyakan siapa saja yang mengisi acara Piodalan Pura Dalem minggu depan.

“Jadi, penari Rangda nya adalah iwa?” tanya Anak Agung Raka Sidan.

“Iya Bli, benar. Posisi penari Rangda telah diisi. Jadi kau tidak bisa menggantikannya” jawab I Nyoman Abdita.

“Apakah aku tidak bisa ikut berpartisipasi dalam Piodalan besok ? tanya Anak Agung Raka Sidan sedikit memohon.

“Mmm… Sebentar “ jawab I Nyoman Abdita sambil mengernyitkan dahinya untuk berpikir.

“Ya… kau bisa ikut. Masih ada satu posisi yang belum terisi. Kau bisa jadi Renying”

“Renying ? Pengurek Rangda? Itu artinya aku harus menusuk Rangda dengan keris?” tanya Anak Agung Raka Sidan.

“Iya benar, kenapa? Kau takut?”

“Ti… ti… tidak. Tapi aku belum pernah melakukan itu sebelumnya” jawab Anak Agung Raka Sidan gelagapan.

“Kau tak perlu memikirkan itu. Karena semua Penari Rangda akan kerauhan. Mereka semua akan digerakkan oleh Taksu. Jadi bukan diri mereka sendiri yang menari Rangda.

“Baiklah, aku setuju. Apa yang harus aku lakukan?” tanya Anak Agung Raka Sidan.

“Sebelumnya, kamu harus melakukan Pawintenan agar mampu memikul Taksu saat melakukan ngurek”

“Aku sanggup….”

Semua persiapan Piodalan Pura Dalem sudah hampir selesai. Penari Rangda dan para Renying sudah siap melaksanakan tugasnya masing – masing. Termasuk Anak Agung Raka Sidan yang sudah melakukan Pawintenan.

Semua penari telah siap menjalankan tugasnya. Topeng Rangda telah disucikan oleh pemangku adat. Keris untuk ngurek pun sudah disucikan lebih dulu melalui ritual khusus dengan menggunakan tirta penyucian. Alat musik pengiring berupa gamelan Semarandana dan Jembe sudah diusung ke Pura Dalem Agung di Ubud Bali. Begitupun lokasi Piodalan telah disterilkan dan telah dipasang Trajangan dan pohon pepaya.

Hari pelaksanaan Piodalan telah tiba. Semua penari telah siap mempertunjukkan tarian terbaiknya. Anak Agung Raka Sidan dan juga iwanya berangkat menuju Pura Dalem. Namun mereka berangkat tidak bersama – sama. Karena setelah pertemuan mereka minggu lalu, mereka berdua sudah tidak saling tegur sapa. Seperti ada api membara diantara mereka berdua. Api yang menyulut dendam dua keluarga.

Tepat tengah malam semua penari telah berkumpul di depan Pura Dalem Agung. Masyarakat sekitar mulai berdatangan satu persatu dengan memakai pakaian adat yang sopan. Tidak ada penerangan malam itu. semuanya serba remang – remang. Hal ini untuk menjaga kesakralan saat Piodalan berlangsung.

Satu persatu penari masuk ke arena. Para penari itu telah memakai kostumnya masing – masing.  I Nyoman Abdita memimpin do’a. tak lama kemudian Penari Rangda dan para Renying telah kesurupan. Termasuk Anak Agung Raka Sidan. Yang turut ambil bagian dalam Piodalan Pura Dalem malam itu.Rangda menari dengan menggerakkan tangannya serta topengnya. Bergerak lincah mengelilingi arena. Musik mengalun indah dari gamelan Semarandana dan Jembe di malam yang dingin, sunyi dan cukup gelap itu. seakan menambah suasana mistis dan sakral didepan Pura Dalem Agung. Tibalah adegan Ngurek. Para Renying telah siap dengan kerisnya. Siap untuk mengurek Rangda yang menari dengan angkuh. Rangda menjulurkan lidah panjangnya. Seolah siap menerkam mangsa didepannya. Memainkan jari – jarinya di udara. Jari – jari yang dipenuhi dengan kuku yang sangat panjang. Memelototkan mata nya yang dipenuhi api membara. Melambangkan nafsu angkara murka. Satu persatu Renying mendekat. Menusukkan keris yang mereka bawa ke tubuh Rangda. Satu dua Renying berhasil menusukkan keris ke tubuh Rangda. Namun Rangda tetap tegak berdiri dan terus menari.

Udara makin dingin. Angin berembus cukup cepat. Nyali penonton makin tinggi. Mereka hanyut dalam suasana mencekam. Tak satupun penonton itu mengeluarkan suara. Napas yang mereka keluarkan pun seolah – olah keluar perlahan. Hembusan demi hembusan napas meninggalkan paru – paru mereka dengan teratur. Seolah tidak ingin membuat suara berdesis akibat napas yang keluar dari hidung mereka. Karena mereka tahu bahwa mereka sekarang dalam penguasaan Dewi Durga. Dewi angkara murka. Sedikit membuat kegaduhan saat jalannya upacara akan berakibat buruk bagi mereka. Tak terkecuali para penari dan orang yang menonton.

“Braaaakkkk…… Aaarrrrkkkhhh……”

Mendadak keheningan malam itu pecah. Erangan seseorang telah memecah kesunyian malam itu.

***

Keesokan paginya tersiar kabar bahwa I Wayan Durma telah meninggal. Setelah pulang dari Piodalan malam itu, nyawanya tak tertolong lagi. Hingga pagi harinya ia menghembuskan napas untuk terakhir kali. Kabar tersebar bahwa ia tewas tertusuk keris salah seorang Renying. Kasus itu tidak bisa diajukan ke meja hukum. Karena pada saat peristiwa ngurek itu terjadi, semua penari dibawah pengaruh kekuatan lain. Sehingga polisi menutup kasus tersebut. Dan keluarga I Wayan Durma harus gigit jari karena tidak bisa menuntut balik.

Malam sebelum pementasan….

“Siapa kau? Mau apa kau kemari?” tanya seorang Renying.

“Aku penari Renying juga. Aku hendak mengambil kerisku yang telah disucikan oleh I Nyoman Abdita. Dimana aku bisa mengambilnya?” tanya Anak Agung Raka Sidan.

“Oh itu… Kau belum dapat? Disana. Dibelakang Trajangan dibawah pohon pepaya. Disitu ada kotak. Ambillah disitu” ucap lelaki kurus itu kepada Anak Agung Raka Sidan.

“Terimakasih”

Tanpa sepengetahuan siapapun, Anak Agung Raka Sidan membuka kotak itu. Didalamnya tersisa satu keris. Yang memang keris itu untuknya. Ia mengambil keris yang telah disucikan secara ritual dan memasukkan kedalam tasnya. Kemudian ia mengeluarkan keris yang ia siapkan sebelumnya. Keris tanpa penyucian. Lalu menyelipkannya di pinggangnya.

“Mati kau Rangda…. ” Gumam Anak Agung Raka Sidan dalam hati. Dengan senyum tersungging di bibirnya.

Aji : Ayah

Biyung : Ibu

Piodalan : Perayaan hari suci di pura yang dilakukan secara periodik.

Taksu : Energi spiritual dari Tuhan

Pawintenan : Upacara penyucian diri

Trajangan : Balai tinggi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun