Mohon tunggu...
Lutfah NurFitriyani
Lutfah NurFitriyani Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Lutfah

Tidak terbang saat dipuji, tidak tumbang saat dihina

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | Sahabatku, Syafa'atku Kelak

16 Februari 2020   16:00 Diperbarui: 17 Februari 2020   01:54 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

    Pagi nan cerah di hari Ahad, sebutan hari umat islam. Pagi dengan sejuta kisah yang mampu menguraikan sejumlah solusi. Pagi dengan udara segar yang mampu membuat tenangnya alam fikiran. Pagi dengan sinarnya yang mampu membuat hangatnya keadaan.

    Pagi dengan indahnya pemandangan yang membuat sejuta partikel berkeliaran. Tepatnya, partikel-partikel aerosol tersebar yang nampak jelas dalam pancaran sinar matahari pada ventilasi kamarku. Aku duduk menatap indahnya suasana sambil mendengar merdunya suara lembut yang membuat hatiku terenyuh akan lantunan ayat suci Al-Qur'an.

   Terdengar dari dalam kamarku decitan sandal yang bergesek dengan lantai, lalu bergerak menghampiri, sambil membawa sari-sari gandum yang nampak pada roti kesukaanku. Dia duduk dan memberikan kepingan roti bersamaan dengan secangkir susu putih yang masih hangat.

    Wajahnya yang selalu ceria membuat aku semakin bersyukur akan kehadirannya. Dengan halusnya ia berkata "Nak, Umi bawakan makanan dan susu ini untukmu, ayo makan."  "Baiklah, Umi akan ku makan." Kataku.

   Ya dia adalah Umiku. Aku sangat bersyukur akan kehadirannya menemaniku, ia selalu menasehati dan mengingatkanku akan suatu hal.

   Lima menit berlalu, setelah selesai aku makan, aku menunduk dengan raut wajah yang tidak bisa ku sembunyikan membuat umiku terus menanyakan. Kakiku yang terusku hentakkan ke lantai membuat Umi meliukkan kepalanya dihadapan wajahku. Aku tersipu malu dan membuat wajahku memerah. Aku tersenyum dihadapan Umi dan Umi berkata sambil mengerutkan dahinya "What's wrong honey?" Umiku memang sering menyebutku "honey", entahlah, mungkin karena aku sebagai MARIE si TUNGGAL.

    Dengan hembusan nafas panjang membuat tulang-tulang bagian apendikular selikatku naik bersamaan. Mata yang kupejamkan, senyuman yang kuberikan membuat aku lebih fresh untuk bercerita. Kami duduk di kumpulan kapas yang empuk dengan posisi berhadapan sambil memeluk bantal. Aku mulai bercerita setelah aba-aba telah datang, yaitu dalam hitungan 1, 2, dan 3, itulah pertanda cerita dimulai.

   Umi dan aku selalu saja melakukan hal yang konon katanya sangat jarang dimiliki oleh ibu dan anaknya. Mulai dari hal-hal sepele, seperti memulai cerita setelah aba-aba dimulai, lalu Umi yang selalu mengantarkan makanan tiap pagi.

    Bahkan, hingga hal-hal besar, seperti boleh mencuci baju asalkan pekerjaan rumah telah usai, karena peraturan di rumah kami siapapun yang mencuci baju duluan setelah semua pekerjaan di rumah telah selesai, akan diberi hadiah yang selalu unik oleh Buya kami. Ya, Buya sebutan ayah pada umunya, karena Buyaku seorang ulama sekaligus imam yang sering beredar berbagi ilumnya di negeri lain.

     Aku bercerita tentang sahabat sholehahku, segala keluh kesah, kisah sahabatku itu. Aku sangat berharap Umi dapat memberiku solusi. Setelah lamanya kami mengobrol, kemudian aku menyandarkan kepalaku pada pangkuan Umi. Umi menanggapi ceritaku sambil mengusap lapisan hitam yang lembut, panjang, nan terbuat dari kain sutera dibagian kepalaku.

     Ya, jilbab panjang yang ku pakai. Dengan sabarnya Umi menasehatiku. Ia memberikan potongan kata yang mampu membuatku berfikir lebih bahwa sahabat dan teman akan memberikan dampak padaku. Apakah teman dapat membawa kepada hal kebaikan atau sebaliknya justru membawa ke dalam jalan kesesatan? 

      Disaat kami sedang bercerita, tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu yang membuat aku dan Umi terkaget sontak. Kami kemudian membuka pintu dengan wajah Umi yang terlihat khawatir, lalu Umi menghela nafas seketika dan ternyata Balqis sahabatku yang datang.


    Balqis memelukku, menangis tersedu-sedu sambil mengatakan "Hafshah, Hafshah, Hafshah." Ia membuat Umiku semakin khawatir terhadap apa yang terjadi. Aku terdiam dan tidak bisa mengatakan apapun (speechless, ya itulah bahasa asing). 

       Balqis kami ajak duduk di sofa dan memberinya minum. Lalu, ia menceritakan sedikit kronologi yang terjadi dengan raut wajah yang lesu, mata merah, dan menunduk.

    "Hafshah, Umi, aku minta maaf." Ujar Balqis dalam keadaan lebih baik, namun tersedu-sedu. "Kenapa kamu meminta maaf?" balasku. "Sudahlah, Balqis, kamu tidak usah meminta maaf." Balas Umi. "Tapi Umi, Hafshah, aku datang begitu saja."  Katanya. Kami menerima apa yang ia katakan, karena Umi mengatakan "Biarkan saja" padaku.  

      Aku mendorong Balqis untuk tetap tenang dan menceritakan lebih lanjut terhadap masalahnya. Umi dengan bersemangat ingin secepatnya mendengar apa yang terjadi.

**
    Terik matahari menunjukan pukul 11.00. Balqis pun mulai bercerita

      "Hafshah, Umi, teman-temanku di kelas semakin membenciku, setelah aku tidak sengaja menjatuhkan tempat minum milik temanku yang jahat, Roni." 

      "Mereka merendahkanku, menghinaku, katanya aku tidak bisa apa-apa dan aku hanyalah anak petani." Lanjutnya dengan raut wajah yang membuat aku ingin menangis.

       "Lalu, apakah ada teman yang membelamu?"
Balas Umi dengan raut wajah yang serius berada di hadapan Balqis sambil memegang tangan Balqis yang terlihat masih sedih.

       "Tidak Mi." Balas Balqis. Memang, Balqis denganku tidak sekelas, kelas kami berdekatan. Namun, karena ukhuwah kami yang erat dari sejak kami kecil, itulah sebabnya kami selalu main bersama.

       Setelah Balqis menceritakan dengan jelas, raut wajah yang masam tidak lagi nampak. Balqis kemudian berpamitan untuk pulang dan mengatakan "Umi, Hafshah, aku pulang dulu, aku takut ibuku mengeluarkan tanduk merah di atas kepalanya, hihihi."

      Aku sudah tidak asing lagi mendengar Balqis mengatakan itu, karena sedari dulu, ibunya tidak suka akan kehadiran Balqis.

      "Baiklah, lain kali jangan mengatakan itu yaaa, hihihihi." Balas Umi sambil meletakkan telapak tangannya, seperti mangkuk ke mulutnya, lucunya.

        Balqis mengangguk tanda dia mengatakan "Ia" sambil pergi. Tak lupa dia mengucapkan salam dengan wajah ceria. Aku dengan Umi sedikit lega setelah mendengar cerita yang dilontarkan Balqis. Kami sedikit mengobrol tentang solusi yang akan kami berikan kepada Balqis. 

    Keesokan harinya, saat Balqis berangkat sekolah, ia mengucapkan salam kepada ibunya. Namun, apalah dayanya yang hanya mampu mengucapkan salam, tanpa dibalas salam. 

      Memang Balqis selalu diperlakukan cuek oleh ibunya, terlebih lagi ayah dan ibunya sudah lama berpisah beberapa bulan yang lalu, membuat dirinya lebih tertekan dengan keadaan. Saat tiba di sekolah, Balqis selalu dipaksa untuk memberikan uang, makanan, dan minuman yang ia punya, pada gank Roni si jahat itu.

     Balqis dekat-dekat ini selalu dihina, dikucilkan, hingga ia sering menangis, terdiam, tersipu, dan malu. Ia menangis karena merasa sakit hati, merasa dirinya telah direndahkan.

     Hingga suatu hari aku melihatnya terkujur kaku, tidak bisa berkata dan berbuat apapun. Memang sikapnya yang mulia, tidak mau membalas sesuatu yang buruk dengan perbuatan buruk.

    Dibalik itu semua, Balqis mempunyai visi yang besar. Walaupun dia anak dari  broken home, ia tetap visioner.

    "Aku akan tetap membahagiakan kedua orang tuaku walaupun mereka tidak menganggapku ada. Aku akan membuktikan aku bisa membuat mereka bahagia dan aku akan membuat mereka merasa bersyukur dengan adanya diriku dikehidupan mereka." Ungkapan balqis dalam buku diary nya.

       Aku membaca saat kami mengerjakan PR bersama. 

      "Jadi apa yang akan kamu tunjukkan pada dunia? Akankah kau membalas perbuatan Roni and the gank Itu?" Tanyaku dengan nada yang sedikit melenting sambil memegang bukunya.

       "Aku tidak mau membalas perbuatan mereka, Hafsh. Aku hanya ingin membuat diriku jauh lebih baik dan membalas perbuatan baik pada kedua orang tuaku." 

     "Syukur kalau begitu, lega diriku mendengarnya." Balasku.

**
        Hari demi hari kami lalui dengan penuh kesabaran, tugas kami tuntaskan. Cita-cita kami yang sama, yaitu menjadi seorang dokter tidak mematahkan semangat kami. Rintangan mampu kami lalui. 

        Tidak penting seberapa banyak air mata keluar, cucuran keringat yang tidak ternilai, untain do'a yang menyertai kami tidak membuat semangat kami surut tuk dapat mewujudkan cita-cita kami. Kami yakin Allah pasti akan memberikan yang terbaik yang sepadan dengan usaha maksimal kami.

**
   "Nilai bukan segalanya kaliii."
    "Alhamdulillah.."
    "Bodo amat ahhh"
    "Entar belajar lagi laaah"

    Begitulah ungkapan teman-temanku di kelas setelah mendapat nilai Bahasa Jerman. Memang, di sekolah kami terdapat program sekolah yang mengharuskan siswa/i nya belajar Bahasa Jerman.

     Alasannya karena sekolah kami sudah memiliki ikatan dengan sekolah Jerman sehingga siapapun boleh mengambil program beasiswa ke Jerman.

      Aku yang mendapat nilai pas-pasan tidak berkata apapun kecuali Alhamdulillah. Begitupun sahabatku, Balqis.    

      Aku menanyakan padanya setelah kami keluar kelas pagi. Kami hanya bisa bersyukur dengan nilai yang telah kami peroleh.

    Aku dan Balqis selalu belajar bersama walau kami beda kelas. Tak bosan aku selalu menunggunya di depan lobby sambil muraja'ah hafalanku selepas pulang sekolah.

    "Dia datang" ucapku dalam hati. Aku segera menghampirinya sambil membawa tas totebag punyaku.

     "Ayo kita belajar bareng lagi, Qis" ucapku
    "Comm" balasnya

      Lalu aku dan Balqis menuju rumahku. Kami berjalan dengan rintihan keringat yang mengucur dan menembus baju bagian punggung. Kami terhenti dan tertatih-tatih.

    "Berhenti dulu ah, cape." ujarku.
    "Eeeh, gaboleh ngeluh kan? Ayo kita istighfar.. astagfirullah.. bentar lagi nyampe"  balasnya.
  "Eh bentar, leherku sakit, lagi." Sambung Balqis.
   "Yasudah, kita istirahat sebentar." Balasku.

      Alasan kami tidak naik kendaraan sebab kami berfikir bahwa dengan berjalan dan berlari membuat tubuh kami lebih sehat dan kuat. Ohiya, jarak kampus kami ke rumahku tidak jauh, sekitar  -/+ 1 km.

     Kemudian kami melanjutkan pekerjaan kami dengan mengerjakan tugas bersama, berupa membuat novel mini. Ini merupakan tugas yang menyenangkan bagiku. 

      Aku dapat mengimajinasikan pikiranku dengan ungkapan berupa tulisan. Aku menikmatinya. Yeaa, ini menyenangkan.

**
     Seiring berjalannya waktu, setelah lama berlalu, tugas-tugas telah usai kami lakukan dengan sepenuh hati, laprak telah menjadi tumpukan buku, tugas akhir seperti skripsi telah kami jumpai dan lalui.

     Sampai pada akhir saat pengumuman siapa yang berhak ikut Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negara (SNMPTN). Ranking pararel nama lainnya. Siswa yang berhak mengikuti SNMPTN adalah siswa yang eligible atau mendapat jatah pada perankingan paralel. Alhamdulillah, aku dan Balqis mendapat urutan 10 besar.

       Kami harus membuat akun LTMPT namanya terlebih dahulu sebelum sampai pada saat diperbolehkan untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Jadi, membuat akun LTMPT adalah syarat awal dan langkah awal memasuki perizinan SNMPTN.
**
     Saatnya kami menempuh ujian, yaitu Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) dan Ujian Nasional (UN). Rasa tegang yang aku alami cukup menjadi gugup yang sementara. Aku menjadi tenang ketika selalu berdzikir dan selalu berdo'a "Ya Allah, permudah, jangan persulit."
**

       Pengumuman tiba, saatnya aku menerima hasil ujianku. Bersama Balqis kami ikhlas menerima nilai berapapun dan yang terpenting adalah usaha. Usaha kami tidak sia-sia, kami berhasil mendapat nilai yang sangat memuaskan. Hampir mendekati sempurna.
**
        Waktu telah tiba untuk mengikuti tes UTBK-SBMPTN. Ya itu adalah bentuk kedua setelah SNMPTN untuk dapat tembus PTN. Aku dan Balqis akhirnya memutuskan untuk mengambil jadwal yang sama di bulan April tanggal 25, lalu kami mengikuti tes dengan seksama.

     Alhamdulillah, Allah berikan kelancaran.
**
      Setelah mendapat hasil dari SNMPTN dan jalur SBMPTN, Alhamdulillah, kami mendapat peringkat terbaik dan berhasil tembus PTN. Aku dan Balqis Allah beri kemudahan untuk tembus fakultas kedokteran Universitas Indonesia.

     Kami sama-sama berjuang di sana.
Sampai pada waktu ketika aku dan Balqis mencapai wisuda.

     Hari wisuda telah tiba, saatnya kami menerima prestisius berupa piagam penghargaan dan mendapat peringkat cumlaude.

     Kami sangat bangga terhadap ya, usaha kami, do'a-do'a kami, tuntunan kelurga yang selalu membuat kami semangat dalam meraih cita-cita.

     Pencapaian Balqis dalam meraih cita-cita, menyatukan rasa dan hati pada ibu dan bapaknya berhasil.

     Kedua orang tuanya sangat menyesal setelah Balqis berhasil meraih cita-citanya. Namun, apadaya setelah semua penyesalan yang selalu datang disesi akhir. Kedua orang tuanya tidak sempat mengatakan bangga dan maaf kepada anaknya, Balqis.

     Balqis jatuh begitu saja setelah wisuda selesai. Kemudian dia dibawa ke rumah sakit untuk dicheck. Aku sangat khawatir dengan keadannya. Hatiku selalu bertanya, apakah ini saatnya? Apakah ini saatnya?

       Mungkin kau berfikir aku mempunyai rahasia yang inginku sampaikan pada orang tuanya? Tidak. Namun, yang ingin aku tanyakan pada hatiku adalah, apa ini saatnya Balqis meninggalkan kami semua?

     Kemudian dokter keluar untuk mengabari.
"Balqis adalah anak yang sangat baik. Dia terlalu banyak pikiran. Dia sedang mendapati masa komanya." Ujar dokter.

    "Apa? Anak saya kenapa dok?" Ibu Balqis yang shok mendengar ucapan dokter. Dan mencoba memaksa dokter untuk mengatakan yang sebenarnya pada kedua orang tua Balqis.

     "Sudah ibu, aku akan jelaskan nanti." balasku untuk menenangkan ibu.

     Hatiku merengek. Tak kuasa aku mendengar ucapan dokter. Sering aku mendengar apa yang ia sampaikan padaku. 

       Aku mencoba untuk tegar dan duduk dengan tenang bersama Umi dan Buya. Aku tahu, ini bukan pertama kalinya dokter mengatakan itu.

     "Jadi begini bu." Aku memulai berbicara pada ibu dan bapak Balqis saat keadaan sudah tenang.

    "Balqis sebenarnya mempunyai penyakit kelenjar getah bening pada bagian lehernya. Namun dia tidak pernah mengatakan hal tersebut pada ibu. Karena dia tidak ingin ibu dan bapak stress memikirkan itu. Dia tidak ingin memberatkan pikiran ibu, bapak. Dia cukup memberi tahu kami. Kami selalu mengantarnya ke sini dan dokter Alisha adalah dokter langganan Balqis." Sambungku.

      Dengan raut wajah yang masam, rasa penyesalan datang yang terlihat pada bola matanya pun sedikit demi sedikit keluar mengucur.

      "Terimakasih Umi, Buya, Hafshah. Kalian selalu mendampingi Balqis." Ucap ibu Balqis pada kami.

       "Tidak apa-apa ibu, kami memakluminya." Balas Umi.
**
     Aku bukan pada tempat biasanya, keadaan yang semula gelap menjadi terang seperti keluar dari dunia fantasi. Aku bertemu dengan orang berbaju putih dengan raut wajah yang manis, tersenyum, dan memberiku salam. 

        Hatiku bertanya, ini, siapa? Lantas dia menjawab, aku, temanmu, yang menemanimu. Tersontak aku mendengarnya, ko dia bisa mendengar perkataanku?

    Kemudian aku pergi meninggalkannya dan mulai berjalan dengan rasa gugup. Aku melihat sekelilingku yang dipenuhi dengan keindahan. Mengapa ini sangat indah? Dimana aku sebenarnya? Gerutuku dalam hati. 

       Langkah tiap langkah aku susuri, tanpa disadari aku berada pada tempat yang sangat menakjubkan. Air terjun yang sangat indah dengan bunga yang harum baunya membuat tenang pikiran dan hatiku.    

       Ada banyak orang bermain di taman ini. Anak kecil, remaja mereka semua bermain dengan sangat asyik.

      "Ehhh maaf." Ujar seseorang yang menyenggolku.
       "Tak papa." Balasku dengan senyuman.

      Tiba-tiba wanita menyenggolku tadi pergi berlarian bersama teman-temannya. Di jauh sana aku melihat seseorang yang sedang berdiri di pinggir air terjun sembari melihat dengan pandangan yang terus melihat ke depan. 

         Aku heran, mengapa dia tidak bermain bersama teman-temannya?

     Lalu tidak lama kemudian, ada temannya yang mengajaknya pergi untuk bermain. Dari kejauhan aku sudah dapat mendengar percakapan mereka. 

       Entah mengapa, ini aneh. Dengan kesimpulanku, mereka berkata,

      "Aku tidak pernah bosan bersama denganmu, ukh."
     "Aku pun."
     "Terimakasih ya ukh, kau selalu mengingatkanku. Kau tak pernah lelah mengingatku. Kalau tidak, aku tidak akan seperti ini dan berada di sini."
       "Sama-sama ukh, terimakasih pula, kau selalu mengingatkanku, mau menerima nasihatku, dan selalu menerima kekuranganku."

     Lalu mereka pergi meninggalkan tempat itu dan mereka berkumpul dengan keluarganya. Alangkah tenangnya melihat mereka berkumpul.

     Setelah aku melihat mereka, aku dikejutkan dengan dengan seseorang yang tampak dari belakang. Saat aku melihat ke belakang, ternyata tidak ada seorang pun yang ada di belakangku.

       Namun, saat aku balik depan, ternyata itu sahabatku, Hafshah. Dengan reflek aku memeluknya.

**
      "Balqis!! Alhamdulillah kamu sadar juga." Ujarku kaget ketika Balqis memeluk tubuhku tiba-tiba.

      Umi yang sedang berdo'a pun lantas langsung menuju kasur Balqis dan memanggil dokter Alisha.

       "Alhamdulillah, kamu sadar juga, sayang." Ujar Umi saat melihat kondisi Balqis.


      "Umi, Hafshah aku dimana?" Balqis menanyakan.


      "Qis, kamu di rumah sakit, sudah tiga hari ini kamu koma. Aku sangat beryukur kamu sudah banguun." Ungkapan bahagiaku.

     "Dalam tidurku aku bermimpi bertemu dengan kamu, Hafsh. Saat aku memelukmu ternyata aku udah ada di sini."

      "Lalu aku bertemu dengan dua orang. Mereka sepertinya sahabatan. Mereka saling beradu terimakasih karena selalu mengingatkan. Aku tidak mengerti itu. Ohiya, di sana indaaaah banget, ada air terjun, ada taman dengan bunga yang harum baunya. Pokonya aku betah di sana, Mi, Hafsh."

     Aku dan Umi hanya bisa diam dan mendengar apa yang Balqis katakan.

       "Eh Mi, Hafsh, aku juga bermimpi kalau aku bertemu dengan keluarga dua orang itu. Rasanya tenteram sekali melihat mereka bersama." Tambahnya.

    Lalu ibu Balqis menemui Balqis setelah di telfon Umi.

     "Qiqiiiiss!!!" ujar ibu Balqis sambil memeluknya.

      "Qis, ibu minta maaf, karena selama ini ibu selalu berlaku jahat sama Qiqis. Ibu menyesal sayang, maafkan ibu." Lanjutnya.

     "Eeeh ibuuu, alhamdulillah.. tidak apa-apa ibu, Qiqis mengerti. Terimakasih ibu sudah datang. Ibu, Qiqis sudah maafkan ibu sebelum ibu meminta maaf." Balas Qiqis.

     "Terimakasih Qiqis sayang. Ibu sayang Qiqis." Balas Ibu.

      "Qiqis kenapa gak bilang sama ibu kalo Qiqis punya penyakit ini?" Tanya Ibu.

      "Qiqis cuma gamau ngerepotin ibu, bu. Qiqis gamau makin memberatkan ibu." Jawab Balqis.

       "Yang penting, sekarang Qiqis harus sehat, ya. Ibu janji ibu akan selalu ada untuk Qiqis.

        "Iya ibu.. terimakasih.. ohiya ibu, tadi Qiqis mimpi. Ada dua orang sahabat lalu mereka berkumpul bersama keluarganya, loh." Ujar Qiqis.

       "Mungkin ini pertanda baik, sayang. Dua sahabat itu adalah Balqis dan Hafshah. Keluarga itu keluarga Umi dan keluarga Balqis." Jawab Umi.

       "Iya Qis, aku sih pikirnya itu sahabat yang saling mengigatkan saat di dunia. Eh Qis kamu ingetgak saat ustadzah Ainayya bilang. Sahabat yang suka mengingatkan itu akan menolong sahabatnya ketika di yaumul akhir nanti." Jawab Hafshah.

       "Ohh iya bener Hafsh. Aamiin semoga saja ya."  Balas Balqis.

       "Alhamdulillah, selamat ya sayang. Ehh Allah masih kasih kamu kesempatan untuk hidup, menebar manfaat, dan berbakti kepada kedua orang tua. Semangat yaaa calon dokter!!!" ujar dokter Alisha menyemangati Balqis.

       "Iya dokter, aku akan manfaatkan waktuku ini. Terimakasih dokter selalu setia menemaniku.." Balas Qiqis. 

       "Iya sayang, jadi dokter yang sholehah, ya, nak Qiqis, nak Hafshah."

         "Okaaaay dokteeeeer." Ujar kami dengan semangat.

       Akhirnya, calon dokter Balqis sudah boleh meninggalkan ruangannya dan setelah dua hari diperbolehkan pulang menuju rumahnya
**
       "Alhamdulillah Ya Allah masih bisa merasakan kembali ke rumah." Ujar Balqis.

      "Alhamdulillah. Aku mau nginep di sini ya Umi boleh?" Tanya Balqis

        Lalu umi memperbolehkan aku berada di sini dan kemudian Umi pulang menuju rumah. Aku merawat Balqis seperti adikku sendiri. Aku anak tunggal, tidak punya kakak dan adik. Balqis sudah aku anggap sebagai adikku sendiri.

         Ibu Balqis selalu menjaganya. Atas penyesalannya dan perlakuannya dulu ia jadikan sebagai ibrah. Anak adalah titipan dan anugerah. Pagi, siang, malam dia selalu mendoa'akan anaknya. Itu yang sering aku dengar.
**
       Hari demi hari kami lalui. Hingga akhirnya kami mendapati gelar S.Ked. Waktunya kami "Koas". Saatnya kami melewati masa-masa menyenangkan bagiku.

       Suatu hari Balqis bertemu dengan Roni yang dulu pernah mengucilkan Balqis. Saat Balqis akan menuju rumah sakit, ia bertemu dengan wajah Roni. 

      Wajahnya masih sama seperti dulu, tak ada yang berbeda. Awalnya aku yang melihatnya, saat aku senggol Balqis dan mengarahkan pada Roni, dan aku mengatakan

      "Qis, tuh si Roni. Kamu masih ingat kan?

      "Eh sudahlah gausah pake 'si' . Mana, ayo kita silaturahim." Balasnya dengan tidak memiliki dendam sedikit pun pada Roni.

      "Masyaa Allah, betapa mulia hatimu, Qis." Ujarku terkagum.

      "Assalamu'alaikum." Ucap Balqis pada Roni.

      "Wa'alaikumussalam. Maaf, siapa ya?" jawab Roni sambil mengerutkan dahinya tanda tak kenal.

      "Saya Balqis, teman sekelasmu dulu." jawab Qiqis.

      "Masyaa Allah, Qis. Pangling aku sama kamu. Kamu masih aja kaya dulu ya, murah hati. Qis, alhamdulillah kita dipertemukan di sini setelah 4 tahun lebih kita berpisah. Qis, aku menyesal selama ini. Aku minta maaf ya Qis banyak banget salah aku sama kamu. Jujur, selama beberapa tahun ini aku nyari kontak kamu, belum ketemu juga. Maafkan aku ya, Qis." Dengan penuh penyesalan penyampaian Roni.

     "Sudahlah Ron, itukan dulu, sudah sudah, aku sudah memaafkanmu." Balas Balqis.

     "Alhamdulillah, terimakasih banyak ya Qis. By the way kamu jadi apa sekarang?" Tanya Roni yang masih memiliki sifat frontal.

     "Alhamdulillah, Hafshah dan aku masuk fakultas kedokteran UI, Ron, kami lagi koas sekarang."

       "Alhamdulillah, ikut senang aku. Sukses terus yaaa kaliaaaan." Ujarnya.

     "Kamu sendiri gimana Ron?" tanyaku.

     "Alhamdulillahnya, aku masuk STEI ITB. Jalur SBM. Kamu tau kan aku ga lolos SNM." Jawab Roni.

     "Hebat kamu Ron." Jawabku.

    "Kalian gak kalah hebaaat!!." Jawab Roni.
Lama mengobrol dengan Roni membuat kami lupa kalau ada jadwal koas. Kami lari terbirit-birit menuju rumah sakit tempat kami koas. Untung saja kami tidak kena hukuman.
**
      Setelah itu aku dan Balqis menjadi dokter yang siap menangani siapapun. Impian mampu kami wujudkan, kami membuat puskesmas gratis bagi siapapun yang akan berobat. Kami merekrut relawan lain yang siap menjadi relawan bagi masyarakat lainnya.

     Kenikmatan, ketenangan yang kami peroleh. Sekujur awak merasa senang menerimanya. Keikhlasan, keridhoan akan Allah ganti insyaaAllah Surga di akhirat kelak, aamiin.

      Sahabat yang selalu mengingatkanku, menuntunku, dialah syafaatku di akhirat kelak.  Aku selalu ingat perkataan Umi. 

    "Bersahabatlah dengan orang yang dekat dengan Rabbnya, insyaa Allah ia akan menjadi syafaat bagimu nanti."  

      Umi, Abi, terimakasih atas perjuangan kalian yang selalu menasehatiku, mendo'akanku. Cita-cita yang terbaik dari yang terbaik bagiku, memberikan kepada kalian mahkota dan jubah yang indah kelak. Aamiin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun