"Aku tidak mau membalas perbuatan mereka, Hafsh. Aku hanya ingin membuat diriku jauh lebih baik dan membalas perbuatan baik pada kedua orang tuaku."Â
   "Syukur kalau begitu, lega diriku mendengarnya." Balasku.
**
    Hari demi hari kami lalui dengan penuh kesabaran, tugas kami tuntaskan. Cita-cita kami yang sama, yaitu menjadi seorang dokter tidak mematahkan semangat kami. Rintangan mampu kami lalui.Â
    Tidak penting seberapa banyak air mata keluar, cucuran keringat yang tidak ternilai, untain do'a yang menyertai kami tidak membuat semangat kami surut tuk dapat mewujudkan cita-cita kami. Kami yakin Allah pasti akan memberikan yang terbaik yang sepadan dengan usaha maksimal kami.
**
  "Nilai bukan segalanya kaliii."
  "Alhamdulillah.."
  "Bodo amat ahhh"
  "Entar belajar lagi laaah"
  Begitulah ungkapan teman-temanku di kelas setelah mendapat nilai Bahasa Jerman. Memang, di sekolah kami terdapat program sekolah yang mengharuskan siswa/i nya belajar Bahasa Jerman.
   Alasannya karena sekolah kami sudah memiliki ikatan dengan sekolah Jerman sehingga siapapun boleh mengambil program beasiswa ke Jerman.
   Aku yang mendapat nilai pas-pasan tidak berkata apapun kecuali Alhamdulillah. Begitupun sahabatku, Balqis.  Â
   Aku menanyakan padanya setelah kami keluar kelas pagi. Kami hanya bisa bersyukur dengan nilai yang telah kami peroleh.
  Aku dan Balqis selalu belajar bersama walau kami beda kelas. Tak bosan aku selalu menunggunya di depan lobby sambil muraja'ah hafalanku selepas pulang sekolah.
  "Dia datang" ucapku dalam hati. Aku segera menghampirinya sambil membawa tas totebag punyaku.