"Baik Mbok, sudah sore juga, mari kita turun, saya juga masih harus menempuh perjalanan yang cukup jauh," kataku.
Aku bangkit, dan Simbok Payungpun bangkit. Kami berjalan bersama menyusuri jalan berbatu di antara pohon pohon jati. Â Namun ada perbedaan perjalanan pulangku meninggalkan Gua Maria Tritis dengan saat berangkat. Â Rasanya aku ingin banyak mendengar Simbok payung bercerita, siapa tahu aku bisa berbagi beban.
"Simbok, kenapa begitu setia menunggu saya tadi?" Tanyaku penasaran
"Saya memang biasa pergi dan duduk di gua Tritis itu nak, habis mau apa lagi, saya toh juga tinggal sendiri di rumah. Â Maka waktu saya banyak saya habiskan di dekat Bunda Maria," jawabnya.
"Terus, apa yang Simbok dapat dengan berada di depan Bunda Maria, Mbok?"
"Saya tidak mendapat apa apa, saya hanya senang saja, apalagi kalau melihat banyak orang datang ke tempat itu. Mereka datang dengan muram, tetapi saat kembali kelihatan gembira," jawabnya.
Kembali aku terdiam mendengar jawaban Simbok Payung. Â "Bagaimana aku bisa gembira? Â Tiga tahun lagi. Â Tinggal tiga tahun lagi waktuku," batinku
"Kalau ada apa apa, nyuwun saja melalui Bunda Maria. Â Minggu lalu, ada orang datang kepada Ibu Maria, kelihatan gembira sekali. Â Saat saya tawari payung, dia langsung mau, bahkan mengajak saya untuk menemani berdoa di depan Bunda Maria," Â kata Simbok.
"Mungkin doanya terkabul, Mbok. Â Bebannya sudah dihapuskan," jawabku menebak.
"tadinya saya juga berfikir begitu, nak. Â Tetapi ternyata tidak. Â Katanya, bebannya masih sama koq seperti yang kemarin kemarin, cuma sekarang dia menjadikan beban itu sahabatnya sehingga tidak lagi menjadi beban," kata simbok menjelaskan.
"Hemmm, bagus juga ide ini..., menjadikan beban sebagai sahabat." Pikirku. Â Sambil berjalan aku membiarkan pikiranku mengembara kemana mana, terutama tentang ide gila yang dikatakan Simbok Payung: menjadikan beban sebagai sahabat..."