"Apakah yang bisa kulakukan dalam waktu tiga tahun? Jika aku tinggal punya waktu tiga tahun, berarti saat aku usia dua puluh lima tahun, Tuhan akan memanggilku."
Tanpa terasa, air mataku menetes, namun aku tidak berusaha untuk mengusapnya. Â Aku tetap diam. Â Bahkan tetesan air dari stalaktit yang bergelantungan di langit langit gua dan jatuh dikakiku, tidak lagi kurasakan.
"Bunda, aku hanya tinggal punya waktu tiga tahun lagi, apakah yang harus aku lakukan?" Â Kupandangi sosok Bunda Maria, yang berdiri tegak dalam rupa patung hitam di sebelahku.
"Gila, apa yang kuharapkan dari sebuah patung? Dokter hebat dari rumah sakit hebat saja tidak bisa menyembuhkan penyakitku, dan sekarang aku mengharap kesembuhan dari patung Bunda Maria? Â Ternyata aku sudah stres berat," pikirku.
Mendapat pemikiran seperti itu, aku berusaha bangkit, aku berfikir bahwa aku tidak boleh hilang ingatan hanya karena orang meramalkan kematianku. Namun aku tidak beranjak dari tempat itu. Aku pandangi patung batu hitam yang ada di sebelahku. Dan semakin lama, semakin aku merasa takut dengan hari-hari yang akan aku lewati. Â Bagaimana kalau tiga tahun lagi aku benar benar mati? Dikubur sendirian dalam ruang sempit?
"Tidak, ini tidak boleh terjadi, aku takut, Â Tidak!," tiba tiba suaraku menghentak keluar.
"Ada apa nak?"
Aku menengok ke belakang. Â Aku melihat, Simbok pembawa payung melihatku dengan heran. Â Beberapa saat aku memandangnya. Â "Apa yang membuat Simbok ini begitu setia menunggui aku? Apakah karena aku belum bayar payungnya?" pikirku.
Aku kembali terduduk di tempatku. Dan aku kembali diam. Â Diam dalam ketakutan, diam dalam kekuatiran.
Saat itu kulihat Simbok Payung mendekatiku. Dia bersimpuh di dekatku, tanpa bicara. Diam, seperti aku yang diam. Â Namun, aku tidak tahan dengan sikapnya, akhirnya aku bertanya
"Simbok tidak pulang?"