"Aku nunggu di sini saja nak.., capek kalau harus balik lagi," jawabnya
"Kalau begitu, simbok balik saja, ini sekedar uang untuk beli minum," kataku sambil menyodorkan uang sepuluh ribuan.
Simbok tua itu tersenyum, sambil menggeleng tanda menolak pemberianku. Â "Ah... maruk juga nih Simbok, dikasih sepuluh ribu masak masih nolak," pikirku. Â Aku semakin tidak nyaman, maka kutinggal Simbok di belakangku. Â Aku meneruskan perjalanan yang tinggal beberapa langkah menuju pintu gua.
Aku sedikit kaget ketika tetes air jatuh dari batu yang bergelantungan mengenai kepalaku. Â Kutelusuri celah celah yang ada dalam gua tersebut, sambil mencari tempat terbaik untuk duduk. Â Tempat yang tidak banyak diganggu orang. Â Dan aku menemukan tempat terbaik itu, di samping patung Bunda Maria, tetapi agak sedikit tersembunyi karena tertutup beberapa stalaktit dan stalakmit.
Gua Maria, bagi umat katolik merupakan tempat ziarah dan berdoa. Â Tetapi aku tidak ingin berdoa, aku hanya ingin merasakan suasana tenang, untuk sesaat saja.
Kalau biasanya orang datang berziarah untuk meminta berkat, atau jalan terang dari kesulitan hidup yang dialami, bagiku, itu tidak berlaku.  Paling tidak untuk saat itu.  Aku hanya ingin duduk  tanpa ada yang mengganggu.  Namun ternyata, aku tidak bisa duduk dengan tenang.  Aku gelisah, namun aku tidak berusaha untuk membunuh rasa gelisahku.  Aku ingin membiarkan gelisahku menjalar ke seluruh tubuhku, keseluruh hidupku.  Kubiarkan pikiranku, hatiku mengembara melihat waktu waktu yang telah kulalui, maupun saat saat yang akan kulalui.
*************
"Kasusmu ini memang agak rumit, mas," kata dokter Andika, spesialis syaraf sekaligus psikiater yang memeriksaku.
"Kenapa Dok?" tanyaku.
"Kalau aku lihat hasil CT Scan Brain ini, memang agak berat penyakitmu," jawab dokter Andika
"Memang kenapa dok?" tanyaku semakin ingin tahu namun juga sedikit takut. Â Hampir dua tahun aku ditangani dokter Andika, tetapi baru kali ini beliau mengeluh seperti itu.