"Dit, No! Kalian di dalam ga'?" Pekikku di depan pintu, tak ada jawaban. Ku coba buka pintu, ternyata tak di kunci, aneh kok sepi banget. Dari pada pusing-pusing gini mending nanya langsung aja, ku rogoh ponsel di saku menelfon Radit.
"Dit! Kamu sekarang ada dimana sih?"
"Eh, Prinsa! Kamu udah pulang sekolah?"
"Iya!"
"Sorry, Prin! Aku belum ngasi tahu kamu ya? Aku berangkat sekarang ke Kalimantan."
"What? Kok kamu baru ngomong sekarang sih? Katanya nanti sore?"
"Iya! Ada perubahan rencana ni aku ama Eno udah ada di taxi dalam perjalanan ke bandara."
"Kalian jahat! Pulang tidak pamit aku."
"Sorry deh mau gimana lagi ? Waktunya sudah mendesak banget. Terima kasih banyak atas tumpangannya selama hampir sebulan ini. Skripsiku sama Eno jadi cepat selesai nih."
Yah, kok gitu sih? Radit sama Eno sudah balik terus siapa yang bisa aku ajakin ngomong? Sepi deh tidak punya temen curhat. Biasanya sih kalau udah kayak gini aku suka curhat sama Rinta. Tapi sudah lama juga Rinta sering tidak mau aku ajak bicara. Lebih sering murung sejak Radit ditangkap polisi, padahal kan dari dulu dia suka nggak perduli sama Radit. Wait! Kok jadi melankolis gini sih?
"Prinsa! Di depan ada yang nyari kamu." Lah, itu Mama teriak. Perasaan tadi tidak ada di rumah.