Â
      "Prin, boleh masuk ga'?" Radit mengetuk pintu.
      "Masuk aja!" Kebetulan pintu kamar terbuka.
      "Jalan-jalan yuk, Prin! Sekalian buat perpisahan, aku sama Eno mau balik ke kalimantan."
      "Besok? Cepet banget?"
      "Iya pengen cepet-cepet selesai skripsi."
Baca juga: Trouble Maker (Part 4)
Baca juga: Trouble Maker (Part 3)
      Berangkatlah kami bertiga jalan-jalan menikmati kota di sore hari. Tanpa terasa, petang telah menggerayangi malam. Petualangan kami semakin seru, malam hari ini indah sekali. Mari membuat perpisahan yang tak terlupakan, agar saat bertemu kita akan tetap menjadi sahabat yang begitu dekat. Kan belum tentu juga bisa bertemu dalam satu atau dua bulan lagi. Ah, Radit yang ini memang begitu beda dengan Radit-ku.
"Eh! Lapar ni, cari makan dulu yuk?" Ajakku. Semua setuju, kami segera masuk ke salah satu rumah makan di pinggir jalan. Belum lagi selesai makan, Radit-ku, eh maksudku yang sudah jadi mantan, datang bersama..... Rinta. Tubuhku seperti kena listrik. Kaget tapi mulutku terkunci entah harus bersikap bagaimana. Radit dan Rinta? Bagaimana bisa? Apa yang sudah aku lewatkan? Bukankah Rinta baru saja kemarin bilang kalau Eno sedang berusaha mendekatinya? Ah, mungkin saja mereka hanya keluar berdua. Lagi pula aku dan Radit sudah tidak punya hubungan lagi, tidak ada hakku untuk mengatur ia boleh jalan dan tidak boleh jalan dengan siapa. Tak tahan berlama-lama melihat mereka berdua, kuajak Radit dan Eno untuk pulang saja. Rinta menghampiri kami saat hendak membayar di kasir.
"Prin, kalian di sini?" Sapa Rinta meramah.
"Iya, besok kami mau balik ke Kalimanta. Tapi ku SMS dan telfon, ndak kamu angkat. Padahal mau jalan-jalan sekalian pamitan." Jelas Eno agak menahan kesal.
"Iya, tadi masih ada urusan." Terang Rinta, yang kemudian menarik tanganku untuk sedikit menjauh dari Radit dan Eno.
"Prin, kamu jangan salah paham ya. Radit tadi tiba-tiba datang ke rumah. Curhat gitu. Aku Cuma berusaha jadi pendengar yang baik kok." Rinta memegang pundakku.
"Ndak apa-apa kok, Rin. Tenang aja, aku sama Radit dan sudah bukan siapa-siapa lagi." Ucapku sambil mengambil tangan Rinta di pundakku. Berusaha tersenyum tenang, padahal agak kesal juga karena dari dulu Rinta tidak pernah mau mendengarkan curhatanku kalau tentang Radit. Kelihatan tidak senang begitu.
"Kami pulang dulu ya, Rin." Pamitku kemudian.
Di kamar aku tak lantas memejamkan mataku padahal jam menunjukkan pukul satu dini hari. Sebenarnya manusia macam apa sih Radit ini? Tidak pernah bisa aku diizinkan untuk mengerti. Tak pernah aku bisa menyelami fikirannya itu, semakin berusaha mengerti sifatnya, semakin aku tak mengerti dia, semakin aku penasaran dan semakin aku mencintainya. Tapi kini, cinta itu perlahan menghancurkanku, perlahan membunuhku. Benar-benar sakit dan sebagai perwujudan dari rasa sakitku itu, air mata tak hentinya menuruni lekuk wajahku.
***
Â
 "Ada 3 oarang polisi datang kesini." Teriak Tina dari depan kelas saat istirahat.
"Emang mau ngapain?" Intan ingin tau.
"Jangan-jangan masalah Alan kemarin ya?" Kelaspun menjadi ramai dengan kasak-kusuk.
Polisi itu ke ruang guru, tidak lama Pak Andrew keluar menuju kelas sebelah, memanggil beberapa anak. Salah satunya Radit. Firasatku tak enak.
Jelas setengah jam kemudian, polisi itu keluar membawa Radit dengan kondisi tangan terborgol.
Semua terkejut. Begitu pula aku. Kenapa bisa Radit? Apa hal ini yang Radit curhatkan pada Rinta kemarin?
Radit bertamabah jauh di bawa 3 polisi itu, dan Rinta membuntuti Radit dengan pandangannya. Betapa dramatisnya pemandangan itu. Radit berkaca-kaca, sedang Rinta menangis semakin menjadi, sama halnya seperti aku.
"Tidak pantas kamu nangisin orang kaya dia." Rades menyodorkan saputangannya padaku.
Hatiku bertambah nyilu. Semakin deras air matakku. Ingin rasanya aku berteriak, tapi tercekat tak bisa keluar.
"Hufh!" Aku berdiri. "Aku ke kelas dulu ya?"
"Kamu belum jawab iya pertanyaanku dulu." Rades memegang tanganku.
"Sorry, Des aku tidak bisa jawab."
 "Prinsa! Aku cinta sama kamu, dan aku tidak bisa kehilangan kamu." Ucapnya membisik. Membuat keterkejutanku semakin membeludak. Anak-anak menatap kami. Aduh, apa yang harus aku lakukan?
Jantungku berdegup kencang semoga Rades tak mendengarnya, "Sorry, Des aku harus ke kelas." Aku pergi tanpa melihat ke arahnya. Tanpa melihat seperti apa wajahnya.
***
"Aku butuh ngomong sama kamu, berdua." Herman mencegatku di kantin. Sudah beberapa hari ini aku tenang dengan hidupku tanpa Geng TM, eh, sekarang malah harus berhadapan dengan Herman lagi.
"Kamu mau ngapain sih?"
Aku di bawa ke belakang kelas yang di sana sudah stand by 3 anggota Geng TM lainnya, terkecuali Rades.
"Duduk!"
"Tentunya kamu tidak amnesia kan tentang kata-kata aku waktu itu?" Herman memulai. "Aku tidak suka kamu deket-deket Rades."
"Kayaknya harus ada pembenahan deh dengan kata-kata kamu tadi, bukan aku ya yang deket-deket sama Rades, tapi dia sendiri yang ngejar-ngejar aku."
"Sok kecantikan banget sih kamu. Ingat ya, sekali lagi kami lihat kamu dekat-dekat Rades, habis kamu. Paham?"
"Udah selesai ngomongnya?" aku berdiri, sumpek rasanya mendengarkan ancaman sampahnya.
"Hei! Kamu, huh!" Herman geram, ia genggam keras-keras krah bajuku dan tangan kanan yang ia kepalkan seperti hendak menjotosku.
"Kenapa? Ayo pukul! Ga' berani?"
Herman melepaskan tangannya, mencoba menenangkan diri, meski masih terlihat merah wajahnya menahan amarah.
"Sayang kamu cewek." Ucapnya membuang muka.
"Alasan macam apa itu."
"HERMAN!" Rades muncul, seperti pangeran berkuda putih. Rades, selamatkan aku.
"Eh, Man! Aku udah bilang, jangan sekali-kali kamu ganggu Prinsa." Rades menarik tanganku untuk menjauh dari Herman.
"Des! Kamu itu udah buta ya? Cewek macam dia kamu belain. Cuma gara-gara dia persahabatan kita hancur."
"Bullshit." Rades semakin geram.
"Emang seberapa berharganya Prinsa sih? Hingga kamu mau-maunya ninggalin Geng TM demi dia?"
"Bukan aku yang ninggalin Geng TM, tapi kalian yang ninggalin aku."
"Maksud kamu?"
"Bukannya belakangan ini kalian sering bertindak tanpa persetujuan aku? Itu sama aja sudah tidak ngehargain aku sebagai ketua kalian, dan aku rasa semua prinsip kalian sudah tidak sejalan dengan prinsip yang kita buat saat membuat Geng ini. Jadi, ini bukan karena Prinsa atau siapapun, tapi karena kalian sendiri."
"Prinsip yang mana yang kamu anggap sudah tidak sejalan lagi, Des?"
"Kayaknya kita sudah sama-sama tahu deh dan bukannya tidak baik ngomogin prinsip di depan orang selain geng TM?" Rades melirik ke arahku.
Sebenarnya ini ada apa sih? Sumpah! Aku bener-bener tidak mengerti.
"Okey kita tunggu kamu di tempat biasa nanti malam buat ngomongin ini, kita harap kamu datang." Ancam Herman.
Rades berbalik badan menghampiriku.
"Kamu tidak apa-apa kan, Prin?"
Aku cuma menggeleng lemah.
Ini benar sedang terjadi keretakan di tubuh Geng TM ataukah mereka hanya ingin mempermainkan aku?
***
"Ma ! Prinsa pulang." Pekikku ketika baru masuk kerumah, pulang dari sekolah.
Tak ada jawaban, apa Mama tidak ada dirumah? Sepi, pada kemana ya? Dari pada di rumah melongo sendirian, kayaknya lebih asyik nyamperin Radit dan Eno di paviliun, selesai aku ganti baju, aku beranjak ke paviliun.
"Dit, No! Kalian di dalam ga'?" Pekikku di depan pintu, tak ada jawaban. Ku coba buka pintu, ternyata tak di kunci, aneh kok sepi banget. Dari pada pusing-pusing gini mending nanya langsung aja, ku rogoh ponsel di saku menelfon Radit.
"Dit! Kamu sekarang ada dimana sih?"
"Eh, Prinsa! Kamu udah pulang sekolah?"
"Iya!"
"Sorry, Prin! Aku belum ngasi tahu kamu ya? Aku berangkat sekarang ke Kalimantan."
"What? Kok kamu baru ngomong sekarang sih? Katanya nanti sore?"
"Iya! Ada perubahan rencana ni aku ama Eno udah ada di taxi dalam perjalanan ke bandara."
"Kalian jahat! Pulang tidak pamit aku."
"Sorry deh mau gimana lagi ? Waktunya sudah mendesak banget. Terima kasih banyak atas tumpangannya selama hampir sebulan ini. Skripsiku sama Eno jadi cepat selesai nih."
Yah, kok gitu sih? Radit sama Eno sudah balik terus siapa yang bisa aku ajakin ngomong? Sepi deh tidak punya temen curhat. Biasanya sih kalau udah kayak gini aku suka curhat sama Rinta. Tapi sudah lama juga Rinta sering tidak mau aku ajak bicara. Lebih sering murung sejak Radit ditangkap polisi, padahal kan dari dulu dia suka nggak perduli sama Radit. Wait! Kok jadi melankolis gini sih?
"Prinsa! Di depan ada yang nyari kamu." Lah, itu Mama teriak. Perasaan tadi tidak ada di rumah.
"Siapa Ma?"
"Kepala sekolah kamu."
Segera ku tinggalkan kamar menuju ruang tamu, benar saja itu Kepsek. Mau ngapain kepsek ke sini malam-malam ya?
"Saya ada perlu dengan kamu. Prinsa bisa ikut bapak kerumah sekarang?"
"Untuk apa, Pak?"
"Saya akan jelaskan di sana!"
Kuturuti saja maunya tak enak menolak permintaan guru sendiri, inilah kali pertama aku mendatangi rumah Kepsekku, Pak Ryo.
"Silahkan kamu duduk dulu sebentar di sini! Saya mau ke dalam sebentar." Pak Ryo mempersilahkan aku untuk duduk di ruang tamu.
Rumah ini cukup besar, dipojok ruangan ku lihat berjejer foto-foto keluarga, ada satu foto keluarga yang terpajang sangat besar, ada Kepsek dan istrinya juga Rades dan seorang anak perempuan yang masih kecil, mungkin itu adiknya Rades.
"Kakak ini kak Prinsa ya?" Tiba-tiba suara mungil seorang anak kecil mengagetkanku.
"Iya! Kamu adiknya Rades ya?" Tanyaku mengakrapi sambil berjongkok mendekatinya.
"Iya!"
"Namanya siapa?"
"Randa, Kak!"
"Nama yang cantik. "
"Kakak juga cantik, persis seperti di fotonya."
"Foto?"
"Iya! Di kamarnya Kak Rades ada fotonya Kakak, besar." Ucapnya lugu, disertai gerak tangan mengilustrasikan seberapa besar ukuran fotonya.
"Oh ya?"
Randa kecil menunjukkan Kamar Rades, cukup rapi, mengingat ini kamar cowok. "Itu!" Tunjuk Randa pada sebuah foto dengan bingkai yang seukuran 120 cm x 80 cm, tergantung manis di dinding atas tempat tidur Rades. Dari mana dia punya fotoku?
Di samping tempat tidurnya ada meja kecil yang di atasnya  banyak di pajang tropi dan medali, selain itu juga ada figura foto kecil 5 buah. Salah satu fotonya bersama Randa dengan senyum manis sama sekali tak nampak kalau Rades itu adalah orang yang kasar, sengak dan tidak berperasaan. Ya ampun! Orang macam apa Rades ini?
"Dulu Kak Rades sering menang banyak lomba tapi sejak Kak Rades nakal, dia tidak pernah ikutan lomba lagi."Pasti yang Randa maksud itu sejak Rades main bareng Geng TM.
"Kamu di sini?" Dari arah pintu terdengar suara Pak Ryo.
"Pak Ryo! Maaf, saya terlalu lancang," jadi salting deh.
"Tidak apa-apa."
"Randa yang ngajak kak Prinsa ke sini tadi, Pa." Ucap Randa lari ke pangkuan Pak Ryo.
 "Ayo!" Ku turuti langkah Pak Ryo, menuju ruangan di sebelah kamar Rades, ruang kerja kepsek.
"Saya butuh bantuan kamu!"
"Bantuan apa, pak?"
"Masalah Radit"
"Radit?"
"Kamu pasti tahu sesuatu tentang Radit, kamu adalah orang yang dekat dengan Radit kan? Tentu kamu tahu."
Kalau boleh saya tahu kenapa Bapak menanyakan masalah ini ya, Pak?"
"Radit itu anak saya."
Aku tidak salah dengar kan? Bagimana bisa?
"Radit adalah anak saya dari istri ke-2 saya."
Kok aku tidak pernah tahu? Berarti Radit dan Rades saudaraan dong? Sulit di percaya.
"Begitu ya, Pak? Tapi maaf, saya benar-benar tidak tahu apa-apa, Pak.Tapi kayaknya saya ingat sesuatu yang mungkin mengarah pada kasus itu, Pak."
Ku ceritakan tentang kejadian waktu pertama kali aku meyaksikan kekejaman geng TM yang nyiksa Indra dan Alan. Waktu itu geng TM maksa Alan untuk ngaku dan Alan bilang kalau barangnya ada di Radit.
"Itu yang sampai sekarang saya tidak ngerti barang apa itu, Pak? Dan waktu saya tanya, Radit bilang saya tidak usah ikut campur gitu! Tapi itu kalau Bapak percaya dengan saya."
"Kenapa kamu bilang seperti itu?"
"Dulu saya pernah kan ngelaporin geng TM ke Bapak. Tapi ternyata justru ya...." Aku tidak melanjutkan, takut-takut salah bicara.
"Sebenarnya saya tahu kamu benar."
"Lhoh!"
"Saya tahu seperti apa anak-anak saya."
"Pak! Ini cuma sekedar prasangka saya saja mungkin saja salah. Apa menurut Bapak ada kemungkinan geng TM yang menjebak Radit?"
"Mungkin kamu benar. Apa kamu mau bersaksi di pengadilan minggu depan untuk Radit?"
"Kesaksian apa, pak?"
"Kesaksian yang bisa membantu Radit dinyatakan tidak bersalah."
Benar-benar sulit dipercaya mana mungkin aku jadi saksi dengan ketidaktahuanku, bukankah tadi itu cuma sekedar sangkaanku saja? Siapa tau saja salah?
"Oh ya ? sekarang gimana kamu sama Radit?"
"Baik-baik saja, Pak." Aduh, kenapa pula Pak Ryo bertanya begitu ya?
"Jangan kamu fikir saya tidak tahu kalau ke-2 anak saya itu menyukai kamu."
Aku hanya tersenyum tawar, bingung harus menjawab bagaimana.
"Sudah sejak sekitar 3 tahun yang lalu foto itu terpajang di kamar Rades itu artinya lebih dulu Rades yang menyukai kamu mungkin itu sebabnya kenapa Rades tidak suka dengan Radit sejak kecil mereka selalu bersaing dan semua tropi dan medali itulah hasil persaingan itu tapi sejak dia bergabung dengan geng TM hidupnya berantakan, susah diatur dan mulai acuh tak acuh dengan keluarganya. Dia jarang sekali pulang ke rumah, Randa saja sebagai adiknya yang sangat ia sayangi sekarang sudah tidak diperdulikan."
3 tahun? Mana mungkin, aku saja baru kelas dua. Jadi sejak SMP dia sudah menyukaiku?
Percakapan berakhir, Pak Ryo mengantarkan aku kembali ke rumah tepat jam sebelas malam. Semua kejadian hari ini menyisakan dilema baru untukku. Dilema tentang aku, Radit dan Rades. Kalau aku ngebantu Radit untuk bersaksi, berarti aku bakal ngelibatin geng TM terutama Rades, mau tak mau kesaksianku akan mengarah dan memberatkan pada geng TM sedangkan Pak Ryo juga memintaku untuk membantu Rades supaya berubah agar menjadi anak baik seperti dulu, kalau aku membantu Radit berarti aku bakal menjerumuskan Rades dan geng TM untuk membebaskan Radit. Tapi kalau aku membantu Rades itu berarti aku membiarkan Radit di penjara, lebig-lebih harusnya Radit berangkat ke Itali kan untuk olimpiade fisika internasinal dalam waktu dekat ini? Kasihan kalau di batalkan. Padahal itu adalah tujuan hidup dan impiannya.
Baca Juga: Trouble Maker (Part 5), Trouble Maker (Part 4), Trouble Maker (Part 3), Trouble Maker (Part 2), Trouble Maker (Part 1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H