"Iya, besok kami mau balik ke Kalimanta. Tapi ku SMS dan telfon, ndak kamu angkat. Padahal mau jalan-jalan sekalian pamitan." Jelas Eno agak menahan kesal.
"Iya, tadi masih ada urusan." Terang Rinta, yang kemudian menarik tanganku untuk sedikit menjauh dari Radit dan Eno.
"Prin, kamu jangan salah paham ya. Radit tadi tiba-tiba datang ke rumah. Curhat gitu. Aku Cuma berusaha jadi pendengar yang baik kok." Rinta memegang pundakku.
"Ndak apa-apa kok, Rin. Tenang aja, aku sama Radit dan sudah bukan siapa-siapa lagi." Ucapku sambil mengambil tangan Rinta di pundakku. Berusaha tersenyum tenang, padahal agak kesal juga karena dari dulu Rinta tidak pernah mau mendengarkan curhatanku kalau tentang Radit. Kelihatan tidak senang begitu.
"Kami pulang dulu ya, Rin." Pamitku kemudian.
Di kamar aku tak lantas memejamkan mataku padahal jam menunjukkan pukul satu dini hari. Sebenarnya manusia macam apa sih Radit ini? Tidak pernah bisa aku diizinkan untuk mengerti. Tak pernah aku bisa menyelami fikirannya itu, semakin berusaha mengerti sifatnya, semakin aku tak mengerti dia, semakin aku penasaran dan semakin aku mencintainya. Tapi kini, cinta itu perlahan menghancurkanku, perlahan membunuhku. Benar-benar sakit dan sebagai perwujudan dari rasa sakitku itu, air mata tak hentinya menuruni lekuk wajahku.
***
Â
 "Ada 3 oarang polisi datang kesini." Teriak Tina dari depan kelas saat istirahat.
"Emang mau ngapain?" Intan ingin tau.
"Jangan-jangan masalah Alan kemarin ya?" Kelaspun menjadi ramai dengan kasak-kusuk.