“Sudah sampai pak.”
“Oh ini gunung kawi?”
Sudah sampai, dan tidak kutemukan perasaan mempesona sama sekali, ekspresiku datar, jauh dari ekspetasiku tentang gunung slamet yang kukunjungi semasa kuliah, atau gunung merapi semasa liburan keluarga.
Gunung kawi bukanlah gunung yang indah, hanya 2000 meter tingginya. Pohon-pohonnya tidak tinggi maupun beragam, dan sudah banyak pemukiman masyarakat, menghilangkan keasrian hutan di gunung kawi ini. Walau demikian gunung kawi ini di datangi banyak sekali pengunjung, bahkan ketika bukan pada hari utama. Saat sampai, terpampang tulisan ‘Tempat wisata Gunung Kawi’, dengan tempat parkir luas dan mobil-mobil luar biasa bagus, Audi, Merci, BMW, dan sejenisnya. Ucok bilang bahwa Mentri, DPR, Calon Presiden, dan politikus-politikus sering berkunjung kesini, bahkan sampai Suharto sendiri, yang katanya butuh restu eyang jago untuk jadi raja jawa, kalah nyi roro kidul sama eyang jago ini. Katanya lebih baik kita langsung ke makam Eyang Jugo, tempat sumber rejeki kami.
Kita menaiki tangga-tangga yang telah dirawat dengan baik, terdapat tiang lampu yang cantik berjejer di tangga tersebut, dan gerbang yang menunjukan tempat padepokan. Di atas gerbangnya terdapat papan bertuliskan arab, juga terdapat ukiran-ukiran pada batu di antara kedua sisi gerbang, coraknya adalah khas orang-orang tionghoa. Mungkin kalau diperhatikan lagi, memang banyak sekali ornamen tionghoa di gunung kawi ini. Saat aku bertanya perihal ini, kata Ucok memang disini merupakan tempat tinggal warga tionghoa, dan juga tempat wisata utama warga tionghoa karena kebanyakan dari mereka yang percaya dengan keberuntungan. Kalo kita makan, tak jarang bakalan ketemu dengan warung sate babi, dan jajanan tidak halal lainnya.
“Dikit yang islam, tapi sembhayang di depan makam imam. Toh demi kaya, pindah agama beberapa menit juga gak apa menurut mereka..”
Aku tertawa mendengar ucapan Ucok. Berbicara ironi soal kemurtadan demi kaya, tapi tidak sadar bahwa kita ini juga ironi, bahkan menari-nari di atasnya. Aku yang ingin lepas dari hutang, dan dirinya ingin jadi lebih kaya.
Kita melanjutkan berjalan hingga sampai pada di depan rumah padepokan Eyang Sujo. Suasana disini nyaman, dingin tidak seperti di bekasi, dan angin nikmat sesekali melewati leherku. Padepokan Eyang Sujo khas dengan rumah yang kesannya daerah sekali, genteng segitiga bertumpuk, dan dominan dengan kayu. Tangganya putih terang karena bertatapan langsung dengan matahari. Disana terdapat orang yang berdiri menggunakan peci, matanya sipit, langsung menyambut kami.
“Bapak mau selamatan?” Ucapnya.
Aku langsung bertanya pada Ucok, dan dia berkata bahwa mereka adalah warga sini yang membentuk Yayasan Gunung Kawi. Selamatan tersebut katanya adalah ritual agar mendapatkan rezeki. Aku langsung bertanya pada orang tersebut untuk informasi lebih lanjut, karena Ucok bilang sudah agak lupa juga soal ini.
“Maaf pak, numpang nanya, Selametan disini maksudnya yang seperti apa yah?”