Aku kehabisan kata-kata. Setelah di phk dan belum mendapatkan pekerjaan, penghasilanku tidak menentu. Semuanya dihasilkan dari istriku yang bekerja di bidan, namun itupun habis demi pendidikan anak-anak dan juga biaya makan. Berbagai cara kucoba pikirkan, meminjam ke kakak? Mertua? Teman? Aku sudah melakukan itu semua, dan bahkan hutang mereka belum kubayar hingga saat ini.
“Begini, bapak pikir gimana saya bisa cari duit? Saya sendiri hutang loh ke intansi bapak, yah karena gak ada uang! Saya mohon pak, pertama saya tidak berpenghasilan, anak saya juga butuh duit buat sekolah dan bapak tau sendiri sekolah makin mahal sekarang kan? Beras juga? Bensin? Istri saya di bidan penghasilannya gak banyak pula. Ayolah pak, coba pahami keadaan kami.”
Aku menyerah! Aku hanya bisa memberi alasan rasional, meminta belas kasihan.
“Saya bilang terserah bapak, jual televisi kek, jual motor kek, atau bapak sekalian saja jadi pesugihan kek, saya gak peduli.”
Pak Tumpal ini segera mengambil bukunya, menyimpannya dalam tas, dan keluar dari pintu. Akhirnya tidak ada yang diselesaikan kecuali memberiku ancaman, dan saran persuasif untuk membayar hutang. Melihat Pak Tumpal ini pergi, Ria segera menyalami tangannya, dan dielusnya lagi kepala Ria dan diselipi uang 5000, katanya untuk uang jajan. Saat itu Ria segera menatapku bingung, diberinya aku handuk, ditanyanya aku apa ada hujan barusan, atau ada hujan di ruang tamu ini? Kubilang ya, ada badai lewat barusan dan kini masih terus berlangsung juga berdiam di kepalaku.
Keringatku kini tak juga turut berhenti walau bapak-bapak itu sudah melewati pagar, hilang bersama asap-asap kendaraan dan udara yang meliuk-liuk.
***
Aku duduk di atas ranjang saat istriku sedang mengganti seragam bidannya ke baju dasternya. Dia tahu bahwa diriku akan berkata masalah tentang hutang lagi, hal yang selalu menjadi sumber perkelahian kita. Semenjak menikah seakan masalah itu terus yang menganggu rumah tangga kami, dan diperparah ketika diriku di-PHK.
Kalau dipikir lagi, hutang kita selalu berkaitan dengan barang-barang yang diinginkan istriku ini, terutama saat aku tidak bisa langsung membayarnya, LCD, AC, Kulkas, dan sebagainya. Mungkin bisa dibilang, miskin-miskin seperti ini kita tetap ingin dianggap setara dengan warga-warga kota walau kita ini tinggal di kampungnya kota, dan aku kadang menyetujuinya, aku merasa aneh jika melihat mitra kerjaku memiliki laptop mahal dan kami tidak, tapi pada kenyataannya tidak ada di antara kami yang butuh, aku hanya mengerti cara menulis di Ms. Word dan bermain solitaire. Lalu lihat kini, kita terjebak hutang, kredit, semata-mata demi barang yang kita tidak butuhkan sama sekali, apa sesungguhnya kita butuh AC ketika kipas saja ada? LCD ketika tv tabung belum juga rusak? Ini mungkin yang di televisi atau koran disebut sebagai sifat konsumtif, atau entah namanya, hedonist mungkin, dan nyatanya memang produk-produk di televisi itu selalu menjadi candu di antara kita, agar dibilang masyarakat modern, orang kota. Selepas PHK-pun sama saja, tidak ada yang sama sekali berubah, seakan rutinitas, kebutuhan untuk keberlangsungan hidup, dan satu-satunya cara untuk memenuhi persyaratan hidup ini adalah dengan hutang dan mencicilnya lewat gaji kecil istriku.
“Jadi gimana pak?”
Kali ini akhirnya dia yang memulai duluan. Istriku kini duduk di sebelahku. Rambutnya hitam dikuncir, matanya terlihat berkantung, lelah karena bekerja dari subuh hingga maghrib, lalu langsung disambut dengan masalah hutang piutang. Rutinitas sih baginya, masalah hutang piutang ini bukan pertama kalinya, tapi mungkin terparah. Tapi lihat, memang seperti narkoba persoalan ini, sudah kelihatan efeknya tapi tetep candu, dan aku tidak yakin dia bisa mendengar 30 juta keluar dari mulutku. Kujawab seadanya, sepantasnya, aku tidak ingin membuatnya kena penyakit stroke mendadak gara-gara ini.