“Yah, dia bilang hutangnya bisa berlipat lagi. Kalo kita tetep gak bayar nanti, yah, dia nyerah. Bilang kalo bakalan ada orang lain yang ngurusin kita, lebih tega katanya..”
“Yah kalo dia ngelakuin apa-apa sama bapak, tinggal kita lapor.”
Dia menjawabnya ringan, memang ada beberapa kasus yang masuk televisi soal penyiksaan dari debt collector yang dikirim dari bank, tapi pertanyaan sesungguhnya adalah apa dia mau aku diapa-apakan (kan yang ditelevisi, kalo tidak salah, sampe mati), dan apakah aku juga punya nyali untuk melapornya?
“Gak gitu mah, maksudku kita harus cari duit.”
Aku akhirnya segera menjawab langsung ke intinya, walau jelas intinya tentang keselamatanku sendiri.
“Gimana? Masih ada yang bisa dihutangin? Bapak mau hutang lagi?!”
Ah, mulai lagi, kini aku yang mulai tersinggung. Nadanya terdengar menyebalkan, sangat menjengkelkan, seakan aku yang dia tuduh satu-satunya biang kerok disini.
“Terserah mamah lah, aku udah capek berantem soal ginian.”
Aku akhirnya menyerah berbicara dengannya, membaringkan badanku, dan tiba-tiba istriku berucap nama suatu wilayah.
“Gunung Kawi pak.”
“Apa?”