Lalu kita masuk dalam ruang makam. Setelah mengantri lama, kita mengikuti orang-orang kebanyakan, berjalan mengelilingi makam, lalu bertekuk berdoa. Sambil berdoa akan keselamatan, aku juga meminta keinginan untuk mendapat rejeki melimpah. Di dalam terdapat dua makam, dengan kain putih sebagai gorden sedikit menutupi dua makam tersebut. Tertulis Eyang Jugo dan Eyang Sujo di makam mereka masing-masing. Lampu pijar menyinari kedua makam tersebut, sekaligus menciptakan suasana mistis di tempat yang redup ini. Banyak bunga-bunga kemangi, kenanga, dan jenis-jenis bunga sesajen yang diletakan di depan makam. Tali tambang di ikatkan pada atas makam, dan terdapat reliku kayu di bawah makam tersebut.
Aku segera mengucapkan doaku, cepat-cepat karena di belakang sudah banyak yang mengantri. Saat itu Ucok menyatukan tangannya sambil menunduk, meletakan tangannya di atas kepalanya, lalu mulutnya komat-kamit dengan cepat dalam suara bisik. Kalau tidak salah, memang cara doa inilah yang dilakukan semua pengunjung, cara doa seperti di kelenteng. Aku bingung untuk mengikuti cara doa mana yang benar, namun akhirnya aku hanya menggunakan cara berdoa yang biasa saja.
“Mau ke pohon Dewandaru?” Ucapnya setelah berdoa.
Aku melihat jamku, masih tiga puluh menit lagi.
“Ayolah.”
Kami lalu berjalan menuju pohon dewandaru, tidak jauh dari tempat makam, berada di daerah pasarean tepat di depan padepokan, dan kemudian kami duduk dibawahnya bersama banyak orang yang duduk sambil melihat jam. Angin berhembus kencang karena cuaca yang kini mendung, dan dahan pohon ini meliuk-liuk mengikuti kencangnya angin, namun tak satupun daun yang jatuh. Kutanya bagaimana kalo dipetik saja, tapi Ucok bilang tidak akan ada efeknya. Aku kemudian hanya bisa menikmati semilir angin dan udara sejuk, sejenak hampir lupa soal hutangku, mungkin yang kulakukan mirip-mirip dengan orang disini yang juga berasal dari kota luar dan punya masalahnya masing-masing. Ingin kaya, atau butuh uang untuk kuliahin anak, atau juga buat bisnis yang hampir bangkrut, sudah benar-benar putus asa hingga percaya suatu pohon bisa mengubah hidup mereka.
“Shian-to”
Ucok membangunkanku dalam renungan.
“Apa?”
“Orang tionghoa sebut pohon ini Shian-to, pohon dewa.”
Apa yang kulihat adalah pohon cemere belanda yang di tertanam di antara ubin putih juga dipagari kawat yang dicat putih. Ucok kembali mengingatkan jika ada daun jatuh harus cepat-cepat disembunyikan, lalu bungkus pada uang dan ditaruh di dompet. Katanya dari segala ritual dengan proses yang panjang, pohon dewandaru yang paling berefek pada rejeki kita.