Aku menghela nafas kembali, kulihat anak-anakku ketakutan sambil menutup kuping mereka. Aku akhirnya membuka pintu tersebut dengan perasaan enggan. Saat itu dia tanpa kupersilahkan, segera duduk di kursi panjang di ruang tamu sambil menyeka keringatnya. Ruangan seketika bau amis, mungkin dari ketiaknya. Anak-anak segera berlari sambil menjepit hidungnya, dan kukatakan pada mereka bahwa itu tidak sopan. Ria saat itu kusuruh buat minuman.
“Saya sudah kenal bapak loh, udah lima kali saya kesini. Kenapa bapak masih gak mau buka pintu buat saya?!”
Dia mengelus keringatnya kembali. Aku hanya diam menunduk, ingin jawab pergi tapi jelas dia tahu itu semua bohong. Saat itu Ria dengan cepat sudah selesai membuat kopi, dibuatnya dua untukku dan Pak Tumpal ini, lalu atmosfir kelam ini seketika luntur dengan senyum Pak Tumpal yang padahal baru saja mengucapkan kata ‘itu’ ke anakku, dia mungkin lupa atau keceplosan lalu tidak diambil dalam hati. Dielus-elusnya rambut anakku dan dibalasnya dengan ucapan terima kasih. Aku masih diam juga, dan akhirnya dia memutuskan untuk segera meminum kopi tersebut, dan reaksinya mengatakan bahwa kopi tersebut masih sangat panas untuk diminum. Kini dia meniupkannya sedikit, dan dengan sedikit-sedikit meminumnya. Dia masih menunggu jawabanku.
“Bunganya terlalu besar untuk kali ini, saya pinjam lima juta, terus jadi delapan, sekarang sudah lima belas juta saja.” Aku akhirnya menjawab, takut-takut langsung kubahas saja permasalahan utamanya, kini aku yang bertaburan keringat.
Pak Tumpal segera menghela nafas mendengarku bicara. Dia saat itu juga langsung membuka buku catatannya yang lebar, dengan barisan nama-nama juga angka-angka.
“Jika bapak masih gak mau bayar juga, mungkin hutang bapak bisa berlipat sampai..”
Dia menghitung, kertas catatannya ia pakai sebagai coret-coretan, tidak peduli dengan betapa rapihnya dia menyusun daftar hutang orang-orang yang terlihat banyak juga ia coret, dan ia gantikan dengan angka baru, angka yang nol berlebih satu setiap beberapa bulannya.
“Tiga puluh juta.”
“Gila!”
Dia berkata bahwa ini sudah kesepakatan awal yang kuterima, tapi tak kusangka bisa sampai menembus angka tersebut. Aku jelas tidak benar-benar membaca kesepakatan, asal tanda tangan untuk dapat duit segera, tapi bisa jadi juga aku terjebak dalam penipuan, seperti bisa saja ketentuan ini ditulis kecil-kecil hingga terlewat dan tidak terbaca. Tapi kalo ditanya lagi ini salah siapa, jelas ini salahku seratus persen.
“Bapak bisa nyicil, saya bisa ngaturnya.”