“Daun Dewandaru!”
Dia menunjukan daun padaku, namun langsung menutup mulutnya dan melirik ke kiri dan ke kanan takut jika ada orang yang mendengarnya.
“Ada di kepala mas tadi jatuh. Aduh, beruntung saya tadi lihat, kalo ketahuan orang bisa dicuri.”
Dia mengucapkan hal tersebut sambil menaruhnya ke tanganku, membuatku mengepalkannya.
“Uang mas dibungkus pake ini, taruh di dompet. Insyaallah, rejeki ngalir mas! Rejeki numpuk!”
Aku terdiam sebentar, lalu tiba-tiba senyum keluar dari mulutku, ternyata diam-diam aku percaya juga. Langsung kubungkus daun ini dengan uangku, kutaruh di dompet. Seketika tempat kelam ini jadi warna-warni, langit yang gelap jadi terang, dan rejeki segera datang padaku, walaupun mungkin efeknya tidak langsung, setidaknya berita baik untuk istriku. Ucok menepuk-nepuk pundakku, dia ingin traktir diriku di restoran paling mahal di malang katanya biar rezekinya nular, dan kini aku pikir ini rejeki pertamaku, akhirnya bisa makan selain tongkol dirumah!
Kita segera ke mobil, dan Ucok bilang dia saja yang nyetir. Ditengah jalan, dia bilang katanya menginap saja, seminggu gitu, tapi kubilang tiket yang kubeli sudah berangkat pulang, dan aku menolak tiket ganti. Lalu dia tanya apa aku bermimpi sesuatu tadi, kujawab iya, dan katanya itu berarti sudah restu dari eyang jugo. Aku hanya mengangguk saja karena mungkin memang ada hubungannya, dan kini aku sudah lupa-lupa sedikit, apa yang tadi kakek itu minta?
***
Aih, benar saja ucapnya, setelah pulang istriku berkata bahwa dia baru saja mendapatkan harta warisan, dari saudara neneknya yang dulu sering ia kunjungi. Warisan tersebut berupa tanah yang telah dibanguni kontrakan, ramai dan uang yang tidak sedikit mengalir dari kontrakan tersebut. Saat itu katanya dia mimpi ketiban duren, dan tahu-tahu sudah dihubungi bahwa namanya tertulis dalam wasiat. Tak elak kucubit pipiku, minta anak-anak cubit juga, tapi sakit, sakit! Aku tidak bermimpi! Daun ini ngaruh, sakti mantraguna!
“Pria bernama Tumpal itu, kubayar langsung dimuka, lebih beberapa juta buat dirinya kasihan sih kesini mulu tiap hari dengan dekilnya itu, teriak siang-siang bolong, nahan malu diliatin orang-orang kayak macam orang gila aja. Dia langsung terima kasih mangut-mangut, cium tanganku di depan para tetangga. Berasa majikan budak saja!”
Setelah itu tiba-tiba temen kuliahku, Reza, mengajakku bisnis ikan sidat, dan aku hanya perlu investasi sedikit, dan langsung usaha ini laku keras, untungnya ratusan juta setiap bulannya karena siapa tahu sidat yang baru kutahu namanya saat itu tiba-tiba jadi makanan favorit seluruh indonesia? Media sosial memang edan, apa saja yang enak bisa kesebar, dan darimana saja pingin segera coba. Uang hasil keuntungan ini langsung kupakai untuk rumah, mobil, dan sebagainya dalam kebiasaan kami sebagai keluarga konsumtif. Tak lama istriku keluar dari bidan, dia langsung membuka bisnis baju dan usahanya juga tak kalah laku.