Sepanjang jalan, mata Roni dimanjakan dengan keunikan bangunan yang khas. Dodi pun tidak berhenti bercerita tentang kota kelahirannya. Meskipun sudah 10 tahun tinggal di Jakarta, dia tidak melupakan kampung halaman. Ada rasa bangga dari nada suaranya, melepas rindu yang lama terpendam.
"Ron, kamu tahu enggak, di dekat perempatan antara Jalan Malioboro ini dengan Jalan Hargo Mulyo, jalan Pajeksan, dan Jalan Suryatmajan itu ada kampung Cina. Namanya Kampung Ketandan," ujar Dodi antusias.
"Iya, tah. Kok, bisa ada kampung Cina gitu?"
"Ya, bisalah. Aku lupa gimana sejarahnya, hehehe, tapi yang jelas penduduk Cina sudah tinggal di sana sejak 200 tahun yang lalu, kata nenekku sih, gitu, Ron,"
Roni hanya bisa mengangguk tanda percaya. Berbagai cerita dia dengar dan nikmati. Sampai tidak terasa mereka sampai di rumah sederhana bercat coklat. Sejumlah bunga mawar, bunga kertas, bunga sepatu dan kantil di pojok rumah, tumbuh subur di halaman.
Baru saja memasuki halaman, aroma bunga kantil begitu kuat menyengat hidung. Lantunan tembang jawa samar-samar terdengar dari dalam rumah. Roni terus mengekor di belakang Dodi.
Seorang wanita dengan kerut di wajahnya, keluar dari balik pintu, setelah Dodi mengucap salam yang ketiga.
"Eh, ini temen yang kamu ceritakan waktu itu, to, Le?" tanya Nenek Sugi.
"Iya, Mbah. Dia itu pengin membuat tulisan soal penari. Makanya aku bawa ke sini."
"Oh, sini-sini masuk, Le. Maaf ya, tempatnya berantakan," ujar Nenek Sugi mempersilakan keduanya.
Roni mengangguk seraya tersenyum. Sementara Dodi merangkul pundaknya supaya Roni tidak sungkan. Sesampai di dalam, mata Roni langsung terpaku ke sosok di dalam foto yang tergantung di tembok.