Mohon tunggu...
Linda Puspita
Linda Puspita Mohon Tunggu... Buruh - Pekerja Migran

Be yourself

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dewi Ayu

12 Januari 2020   22:10 Diperbarui: 12 Januari 2020   22:31 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: dokumen pribadi

Langit di luar jendela masih temaram. Sinar mentari belum sepenuhnya menampakkan diri. Namun, lagi-lagi Rino sudah dibuat dongkol oleh teman sekamarnya.

"Gila kamu, ya. Pagi-pagi sudah main pukul-pukul gayung di depan telinga orang. Berisik, ganggu orang tidur saja!" geram Rino.

Laki-laki berpawakan kurus asal Jakarta itu kembali menarik selimut. Hingga tak ada sedikit pun yang terlihat dari tubuhnya. Sialnya dia, punya sahabat yang keras kepala, banyak akal dengan kejailan level lima.

"Ayo buruan bangun! Keindahan Jogja itu untuk dinikmati, bukan untuk ditiduri," teriak Dodi di dekat telinga Roni.

Roni menyibak selimut dan terpaksa bangun meninggalkan mimpinya. Jari-jarinya sibuk mengucek mata yang masih enggan dibuka. Tiba-tiba Dodi menarik lengannya sampai turun dari ranjang, kemudian mendorongnya ke kamar mandi. Sementara di luar, tawa Dodi pecah. Semua rencananya berhasil.

Setelah kemeja batik lengan pendek berpadu jeans biru tua terpasang rapi di badan Roni, mereka pun pergi meninggalkan penginapan--yang baru mereka tinggali semalam. Mereka sepakat menyusuri jalan Malioboro tanpa kendaraan. Itung-itung JJS, jalan-jalan pagi. Selain menyehatkan juga bisa mengusir kantuk yang masih bersarang di mata Roni.

Di pinggir jalan depan kantor pos, Roni terhenti. Pandangannya beredar, mengamati tiap sudut sepanjang jalan Malioboro. Dia tertegun. Ada yang beda dari jalan yang menjadi pusat wisatawan. Tampak sepi dan sejuk.

Aroma asri pegunungan sangat terasa. Dari arah Utara tampak Gunung Merapi yang tertutup kabut. Beberapa orang berlalu dengan menggunakan sepeda.

Padahal baru semalam dia merasa tempat ini begitu sesak. Banyak becak yang menawarkan jasanya. Di lorong-lorong jalan, para penjual ramai menjajakan aksesoris khas Jogja, batik, dan makanan.

Lelaki keturunan Betawi asli itu masih sangat ingat, tepat di depan dia berdiri banyak warung lesehan dan angkringan. Semua penuh dengan pengunjung. Suasana makin ramai dan penuh keakraban saat canda tawa mereka menguar. Menjadi energi positif untuk orang yang melihat.

Bahkan dia dan Dodi pun turut larut bersama meski belum saling kenal. Apalagi suara yang satu itu, benar-benar membekas di hati dan memorinya. Suara musik yang dimainkan para seniman jalanan.

"Ayo jalan, kok, malah berhenti. Katanya laper," tanya Dodi sambil menepuk punggungnya.

"Aku heran saja sama tempat ini. Beda banget sama yang semalam, aku jadi ingat seorang penari," sahut Roni. Wajah yang tadi tampak bingung hilang. Dia terlihat menikmati suasana itu.

"Yah, beginilah sisi lain dari Jogja, khususnya Malioboro. Makanya aku ajak kamu keluar pagi, biar kamu itu melek. Terus aku mau nunjukin menu sarapan yang aku yakin kamu belum pernah nyobain," seru Dodi penuh antusias. Sampai menunjuk-nunjuk seperti orang pidato, "setelah itu, baru kita ke rumah nenekku," lanjutnya kemudian.

Setelah berjalan sekitar lima menit, Roni melihat sekumpulan orang berdiri di pinggir toko tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tanpa memberitahu, Dodi berlari dan ikut berkumpul di sana. Akhirnya Roni pun mengekor.

"Kalian lagi ngapain, sih?" tanya Roni. Kemudian dia berjinjit, melongok di antara punggung ibu-ibu dan beberapa anak muda. Mencari tahu apa yang ada di balik kerumunan.

Meski sulit, Roni masih melihatnya. Seorang nenek sedang melayani mereka yang ingin membeli lopis, klepon, dan cenil yang tertata rapi di tampah. Tekstur cairan kental gula merah yang jatuh dari sendok yang diangkat si nenek begitu menggoda. Membuat jakun Roni naik turun.

Namun, pembeli terlalu ramai dan Roni memilih untuk menyingkir. Tidak lama, Dodi kembali dengan bungkusan plastik hitam di tangannya.

"Kita makannya nanti di rumah nenekku saja, ya? Kebetulan aku juga beli untuk mereka," ujar Dodi saat tiba di depan Roni.

"Mereka? Maksudnya nenek sama siapa?"

"Sepupu aku. Dia tinggal sama nenek. Ya, udah, yuk, keburu siang. Aku tahu kamu lapar, hahaha," ledek Dodi. Dia tahu betul kebiasaan Roni, salah satunya soal perutnya yang mudah lapar.

Tak banyak orang yang tahu, di balik badannya yang kurus, ada banyak makanan yang masuk ke perutnya. Di luar logika memang, tapi kenyataannya seperti itu.

Sepanjang jalan, mata Roni dimanjakan dengan keunikan bangunan yang khas. Dodi pun tidak berhenti bercerita tentang kota kelahirannya. Meskipun sudah 10 tahun tinggal di Jakarta, dia tidak melupakan kampung halaman. Ada rasa bangga dari nada suaranya, melepas rindu yang lama terpendam.

"Ron, kamu tahu enggak, di dekat perempatan antara Jalan Malioboro ini dengan Jalan Hargo Mulyo, jalan Pajeksan, dan Jalan Suryatmajan itu ada kampung Cina. Namanya Kampung Ketandan," ujar Dodi antusias.

"Iya, tah. Kok, bisa ada kampung Cina gitu?"

"Ya, bisalah. Aku lupa gimana sejarahnya, hehehe, tapi yang jelas penduduk Cina sudah tinggal di sana sejak 200 tahun yang lalu, kata nenekku sih, gitu, Ron,"

Roni hanya bisa mengangguk tanda percaya. Berbagai cerita dia dengar dan nikmati. Sampai tidak terasa mereka sampai di rumah sederhana bercat coklat. Sejumlah bunga mawar, bunga kertas, bunga sepatu dan kantil di pojok rumah, tumbuh subur di halaman.

Baru saja memasuki halaman, aroma bunga kantil begitu kuat menyengat hidung. Lantunan tembang jawa samar-samar terdengar dari dalam rumah. Roni terus mengekor di belakang Dodi.

Seorang wanita dengan kerut di wajahnya, keluar dari balik pintu, setelah Dodi mengucap salam yang ketiga.

"Eh, ini temen yang kamu ceritakan waktu itu, to, Le?" tanya Nenek Sugi.

"Iya, Mbah. Dia itu pengin membuat tulisan soal penari. Makanya aku bawa ke sini."

"Oh, sini-sini masuk, Le. Maaf ya, tempatnya berantakan," ujar Nenek Sugi mempersilakan keduanya.

Roni mengangguk seraya tersenyum. Sementara Dodi merangkul pundaknya supaya Roni tidak sungkan. Sesampai di dalam, mata Roni langsung terpaku ke sosok di dalam foto yang tergantung di tembok.

Dia terus mendekati, memperhatikan raut wajah itu. Bibir mungil dengan dagu sedikit membelah. Mata bulat, hitam, dan bulu matanya panjang dan lentik. Alis tebal sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Tiba-tiba jantung Roni berdegup kencang. Pita memori di otaknya berputar ke peristiwa beberapa tahun lalu.

'Kapan kamu ke sini? Mau sampai kapan kita jalani hubungan jarak jauh?'

'Aku belum tahu kapan, Dew. Tugas-tugas kampus yang buat aku enggak bisa kemana-mana. Aku harap kamu bisa ngerti,' balas Roni lewa aplikasi WhatsApp.

'Selalu saja itu alasannya. Sepertinya kamu enggak pernah anggap serius hubungan ini!'

Saat itu, Roni tidak membalas. Ponselnya mati. Hari berikutnya tidak ada lagi pesan terkirim. Hingga tiba hari ini. Tuhan menuntunya datang menemui gadis yang selalu menari di mimpinya. Seperti ada yang memukul di balik dadanya.

"Dod, dia, dia Dewi, kan? Sekarang di mana dia, Dod?" tanya Roni, dia mencengkeram pundak lelaki di depannya.

"Kamu, tuh, Ron?" sahut Dodi, mengernyitkan dahi. Kemudian mengajak Roni duduk di kursi kayu yang sudah ada sejak Dodi bayi.

"Kenapa dengan temanmu, Le? Kok, kaya orang bingung, gitu, to?"

Tiba-tiba Nenek Sugi muncul dari balik gorden pintu tengah. Penghubung ruang tamu dengan ruang keluarga. Di tangannya terdapat nampan berisi dua gelas teh dan sepiring jagung rebus. Kemudian ia letakkan di atas meja.

"Tenang, Le. Tarik napas dulu. Diminum tehnya," lanjut nenek Sugi, menyodorkan segelas teh anget.

"Terima kasih, Nek," jawab Roni setelah meneguk teh tersebut, "itu foto Dewi, kan?" tanya Roni menunjuk bingkai yang tergantung di tembok.

Dodi dan nenek Sugi saling melempar pandangan.

"Kamu kenal, Dewi, Le?

"Iya, Nek. Dia ... hmmm Dewi itu pacar saya, Nek?"

Sontak air muncrat dari mulut Dodi yang belum sempat dia telan. "Pacar? Kamu bilang belum pernah ke Jogja. Terus kapan pacarannya? Di mana kenalnya?" Dodi melontarkan berbagai pertanyaan.

"Panjang ceritanya. Aku kenal dia di YouTube. Awalnya aku cuma tertarik dengan cara dia menari. Tiap gerakan tangan dan tubuhnya seakan menghipnotis. Aku ketagihan melihat dia menari ...."

"Tapi sayang, sekarang dia tidak lagi menari," timpal Dodi lirih.

Nenek Sugi menunduk. Matanya sayu. Terlihat ada kesedihan mendalam di sana. Roni makin bingung. Rasanya campur aduk. Apa yang sebenarnya terjadi dengan penari hatinya.

"Maksudnya kamu apa, Dod? Lalu di mana Dewi sekarang?"

Dodi dan nenek Sugi geming. Kemudian mereka beranjak menuju kamar tengah, mengetuk pintu dan membukanya sedikit. Roni yang sejak tadi mengikuti, melongok ke dalam. Hatinya berdebar kencang. Matanya panas. Telunjuknya menyeka embun yang hampir saja terjatuh. Gadis yang selama ini dia cari kini ada di hadapannya.

Tak perlu menunggu diminta, Roni masuk. Berbagai selendang dengan warna berbeda tersampir di sisi lemari. Kain batik khas Jogja menempel ditembok membentuk renda. Roni, tidak heran. Itu semua sudah pernah dia lihat saat video call dulu.

Dew, Dewi, ini aku, Roni, Dew, ujar Roni lirih. Rindu yang tertahan selama ini membuncah, meleburkan keraguan.

Gadis itu memalingkan wajahnya kea rah Roni. Lingkar matanya hitam. Wajah pucat. Kusut seperti tak berdaya. Dia menatap Roni lama, lalu ujung bibirnya tertarik membentuk simpul. Dia tersenyum. Air matanya seketika meleleh. Mengalir, melewati tiap lekuk pipinya. Roni merengkuh tubuhnya yang lemas di atas kursi riasnya.

Dodi dan nenek Sugi meninggalkan mereka, duduk di ruang tamu menikmati lopis yang tadi di beli Dodi. Tidak lama, Roni dan Dewi keluar, tapi tidak menghampiri nenek dan sepupunya.  Mereka melesat keluar rumah.

Dew, lihat mereka, pinta Roni menunjuk segerombolan wanita di trotoar Malioboro.

Di antara suara bising kendaraan yang melintas, sekerumpulan wanita mengenakan kain batik dan kebaya serta selendang di tangan, berlenggok unjuk diri. Kegiatan seperti ini sudah terbiasa mereka lakukan. Menjadikan ruas jalan sebagai panggung.

Mereka tampil bergantian, dari penari seniman tari tradisional, penari  dari SMP-SMA, bahkan ada kontingen dari perguruan tinggi.

Dewi menunduk. Harusnya dia ada  di antara mereka. Meliarkan rasa lewat tarian.

Itu semua cuma kenangan, Ron. Aku enggak bisa nari tanpa Ayu. Kamu tahu sendiri, kan, bagaimana kami menari. Aku dan dan dia saling melengkapi, jelas gadis berambut hitam sebahu itu.

Kamu bisa, kok, tanpa Ayu. Kamu piker dengan kamu berhenti menari, Ayu akan bangga dengan kamu. Tidak Dew, justru dia sedih. Kembarannya sendiri tidak mau meneruskan mimpi yang kalian bentuk sejak kecil, tegas Roni. Pelan tapi penuh penekanan, aku bertemu denganmu adalah takdir dan Ayu pergi itu pun takdir, bukan karena menari.

Aku kira kamu beda dengan Dodi dan si Mbah. Ternyata kalian itu sama. Enggak bisa ngerti perasaanku, tukas Dewi, sejurus kemudian pergi meninggalkan Roni di kursi pinggir jalan Malioboro.

Besok ada acara JIPS, aku tunggu kamu di sini untuk melihatmu menari, Dew! teriak Roni, tapi Dewi tak menghiraukan.

Keesokan harinya. Roni dan Dodi kembali, untuk menyaksikan Jogja International Street Performance (JISP). Musik gamelan sudah renyah di telinga. Para penari tradisional tampak siap untuk beraksi. Mereka baris mengikuti formasi yang telah ditentukan. Penonton telah ramai melingkari mereka.

Roni terkesima. Matanya menangkap Dewi di antara penari ketika pertunjukkan dimulai. Dewi begitu lincah. Pinggul dan tangannya goyang ikuti ketukan. Senyumnya jelas terpancar. Dewi sang penari pujaan hati kembali meski tanpa Ayu.

Hong Kong, 27 Oktober 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun