"Ayo jalan, kok, malah berhenti. Katanya laper," tanya Dodi sambil menepuk punggungnya.
"Aku heran saja sama tempat ini. Beda banget sama yang semalam, aku jadi ingat seorang penari," sahut Roni. Wajah yang tadi tampak bingung hilang. Dia terlihat menikmati suasana itu.
"Yah, beginilah sisi lain dari Jogja, khususnya Malioboro. Makanya aku ajak kamu keluar pagi, biar kamu itu melek. Terus aku mau nunjukin menu sarapan yang aku yakin kamu belum pernah nyobain," seru Dodi penuh antusias. Sampai menunjuk-nunjuk seperti orang pidato, "setelah itu, baru kita ke rumah nenekku," lanjutnya kemudian.
Setelah berjalan sekitar lima menit, Roni melihat sekumpulan orang berdiri di pinggir toko tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tanpa memberitahu, Dodi berlari dan ikut berkumpul di sana. Akhirnya Roni pun mengekor.
"Kalian lagi ngapain, sih?" tanya Roni. Kemudian dia berjinjit, melongok di antara punggung ibu-ibu dan beberapa anak muda. Mencari tahu apa yang ada di balik kerumunan.
Meski sulit, Roni masih melihatnya. Seorang nenek sedang melayani mereka yang ingin membeli lopis, klepon, dan cenil yang tertata rapi di tampah. Tekstur cairan kental gula merah yang jatuh dari sendok yang diangkat si nenek begitu menggoda. Membuat jakun Roni naik turun.
Namun, pembeli terlalu ramai dan Roni memilih untuk menyingkir. Tidak lama, Dodi kembali dengan bungkusan plastik hitam di tangannya.
"Kita makannya nanti di rumah nenekku saja, ya? Kebetulan aku juga beli untuk mereka," ujar Dodi saat tiba di depan Roni.
"Mereka? Maksudnya nenek sama siapa?"
"Sepupu aku. Dia tinggal sama nenek. Ya, udah, yuk, keburu siang. Aku tahu kamu lapar, hahaha," ledek Dodi. Dia tahu betul kebiasaan Roni, salah satunya soal perutnya yang mudah lapar.
Tak banyak orang yang tahu, di balik badannya yang kurus, ada banyak makanan yang masuk ke perutnya. Di luar logika memang, tapi kenyataannya seperti itu.