Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rasa-rasa Cinta

21 April 2020   06:00 Diperbarui: 21 April 2020   05:56 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasa-Rasa Cinta


Kucing.

Ayah Calvin menuliskan kata itu di whiteboard. Hurufnya sengaja ia buat sebesar mungkin. Berguna sekali papan tulis putih yang dibelinya kemarin.

Tiga hari sudah sejak Silvi mengalami infeksi. Anak itu perlahan menemukan kembali semangat belajarnya. Hari ini, Ayah Calvin memulai latihan multisensorik. Teknik latihan membaca khusus untuk anak disleksia. Multisensorik melibatkan lebih dari satu indra.

"Coba eja huruf-hurufnya." Ayah Calvin berbalik dari depan whiteboard.

Mata Silvi menyipit. Patah-patah mengeja keenam huruf pembentuk kata.

"K..."

"Iya. Terus?"

Aduh, huruf kedua itu apa ya? Bentuknya aneh. Ayah Calvin menyemangatinya.

"U."

"Betul. Terus apa lagi?"

"C-i-n-g."

Ruang tengah merangkap ruang makan itu dipenuhi tepuk tangan. Perkembangan Silvi lumayan pesat.

"Ada berapa huruf vokal di sini, Nak?" tunjuk Ayah Calvin ke papan tulis.

"Dua."

"Pintar..."

Keliru besar jika ada yang melabeli Silvi anak bodoh atau anak malas. Tidak, disleksia tidak ada hubungannya dengan kebodohan dan kemalasan. Bukan pula karena buruknya penglihatan. Hanya ada perbedaan cara kerja otak antara penyintas disleksia dan yang tidak memilikinya. Silvi anak istimewa.

"Kalau huruf konsonannya ada berapa, Sayangku?"

Silvi menghitung. Melompati huruf U dan I pada hitungannya.

"Ada empat, Ayah."

Ayah Calvin puas sekali. Latihan multisensorik tahap pertama berhasil.

Tak lama, Ayah Calvin menghilang ke dapur. Ia kembali lagi membawa sesendok besar krim. Mata Silvi membulat senang. Anak itu pecinta berat makanan turunan susu.

"Wow, Ayah mau bikin kue?" terkanya sok tahu.

Sebagai jawaban, Ayah Calvin mengambil sehelai kertas kosong. Ditebarkannya krim di atas kertas. Dahi Silvi terlipat.

"Silvi, coba kamu tulis kata 'kucing' di kertas pakai krim ini." Perintah Ayah Calvin.

Menulis dengan krim? Bukankah krim hanya bisa untuk membuat kue? Puluhan kali Silvi melihat Bunda Manda mengoleskan krim pada adonan kue. Tapi kalau dipakai menulis...?

Ragu-ragu, Silvi mencoba. Latihan satu ini melibatkan sentuhan, penglihatan, dan gerakan. Ayah Calvin membimbing tangannya. Mengukir huruf demi huruf dengan sabar. Latihan ini dapat mengasah ingatan Silvi tentang bentuk huruf yang membingungkan.

"Calvin!"

Tengah asyik berlatih, sebuah suara bernada tinggi merobek konsentrasi mereka. Siku Silvi menyenggol kertas penuh krim. Cairan manis itu tumpah ke lantai. Ayah Calvin melompat bangkit, tak siap dengan Bunda Manda yang bertolak pinggang di depan pintu.

"Kenapa kaubuang-buang persediaan krimku?" omel Bunda Manda.

"Aku tak membuangnya, Manda. Krim itu kugunakan untuk..."

"Susah payah kudapatkan krim kualitas bagus! Itu untuk pesanan kue! Jewelry sibling memintaku membuat kue untuk tamu-tamu penting mereka!"

Pembuluh darah Ayah Calvin berdenyar. Bunda Manda memarahinya hanya karena kepentingan jewelry sibling? Seberapa besar Nanda dan Barki mempengaruhi istrinya?

"Sayang sekali tak kuambil krimmu lebih banyak." Ucapnya tenang, setenang desir Laut Mati.

"Calvin, ini soal bisnis katering! Apa jadinya bila aku memakai bahan kualitas rendah?"

"Bunda, jangan marahin Ayah terus. Aku yang salah kok. Aku yang nulis-nulis pakai krim ini," bela Silvi.

Yes. Silvi membelanya, Silvi membelanya! Bunda Manda mati gaya. Air mukanya kembali melembut.

"Sayang, Bunda nggak nyalahin Silvi."

"Iya. Tapi jangan marahin Ayah. Bunda baikan ya, sama Ayah."

Demi menarik simpati Silvi, Ayah Calvin memasang wajah sedih. Pose sedihnya teramat meyakinkan. Sampai-sampai Silvi menukas.

"Tuh kan, Bunda, Ayah sedih. Kalau Ayah sakit lagi gimana?"

Lain waktu Bunda Manda ingin mengetuk kepala suaminya dengan spatula. Dia anggap raut sok sedih di wajah tampan itu begitu memuakkan. Atau mungkin, memuntahi wajah innocent itu boleh juga. Mau tak mau Bunda Manda berbaikan dengan Ayah Calvin.

Ketika Bunda Manda kembali ke dapur, Silvi menggelosor di pangkuan Ayah Calvin. Tawanya kembali muncul saat sang ayah membelainya.

"Ayah..." panggil Silvi perlahan.

"Ya, Sayang?"

"Waktu itu, Bunda pernah bilang. Ayah meninggal karena masalah pernafasan. Sebenarnya Ayah sakit apa sih?"

Mendengarnya, Ayah Calvin tersenyum pahit. Bunda Manda pengarang hebat. Dibuatnya cerita kematian Ayah Calvin. Nyatanya, pria itu memang sakit. Tapi ia belum mati.

"Ada gumpalan darah beku di organ pernafasan Ayah."

Silvi menahan nafas. Refleks ia merapat.

"Tapi Ayah nggak apa-apa. Ayah sudah diobati. Jadi, Silvi nggak usah khawatir lagi ya..." Ayah Calvin berujar menenangkan.

Tetap saja Silvi menumpuk kecemasan di dasar hati. Ayahnya sungguhan sakit pernafasan. Pantas saja sejak hari pertama tiba di sini, Silvi sering memergoki Ayah Calvin tetiba terbatuk dengan frekuensi tak biasa untuk ukuran orang sehat.

Sebelum Silvi sempat banjir air mata, Ayah Calvin keburu menggendongnya ke kamar mandi. Waktunya mandi sore. Sesekali memandikan putrinya bukan ide buruk.

**    

Ryan dan Ayah Calvin berjalan bersisian menuju gerbang perumahan. Di kanan-kiri mereka, tampak sejumlah bapak-bapak ngetop di lingkungan. Mereka inilah yang aktif di organigram pengurus RT dan RW. Ayah Calvin jadi pusat perhatian. Tak satu pun pria penghuni kompleks yang berkulit seputih dirinya, berbadan setinggi darinya, dan memakai jas. Tergeserlah posisi Ryan yang dulunya terlihat mencolok di masa-masa awal penghuni kompleks saling kenal.

"Eleuh-eleuh, suami Bu Manda kasep pisan. Bapak-bapak, jaga eta istrina. Kumaha atuh? Nanti mereka naksir Pak Calvin..." seloroh seorang pria berlogat Sunda. Jawa dan Sunda, etnis mayoritas penghuni kompleks.

Ayah Calvin hanya tersenyum. Belum sampai tempat makan yang dituju, ia sudah kenyang. Dipuji sana-sini, dilirik penuh rasa ingin tahu.

"Tapi, Bu Manda kok nggak pernah cerita ya?" usik seorang bapak gendut dan botak.

"Ini salah saya. Manda kira saya sudah meninggal," sahut Ayah Calvin. Suami yang baik akan menjaga reputasi istrinya.

Mereka melewati portal. Jangan harap ada booth tempat sekuriti berjaga. Perumahan ini tak punya petugas keamanan. CCTV pun tiada.

Desing kendaraan menyambut mereka setiba di jalan raya. Ruas jalan raya depan kompleks ramai tak kenal waktu. Lokasinya strategis, berdekatan dengan kampus, gedung perkantoran, dan berbatasan dengan jalan raya antarkota. Persis di sisi kiri gerbang, berkibar sebuah spanduk merah cerah.

"Kita sampai," kata Ryan.

Rangkaian kata di spanduk membuat Ayah Calvin tertawa geli. Rasa-Rasa Cinta. Sekali, dua kali, tiga kali, ia tak salah baca. Mereka pun beriringan memasuki Rasa-Rasa Cinta.

Tempat makan itu memancarkan kehangatan dan keramaian khas warga urban kelas menengah ke bawah. Meja bertaplak plastik dirapatkan. Kursi-kursi kecil tanpa sandaran berderet di sepanjang los. Asap melayang dari dua kompor besar. Seorang pria berkaus oblong dan berkalung handuk sibuk membolak-balik ayam di penggorengan. Riuh suara obrolan ditingkahi alunan lagu yang terputar dari tape. Tape sebesar tubuh orang dewasa? Ternyata benda kuno itu masih ada. Ayah Calvin memperhatikan dengan takjub.

Kamu yang kini memikat hatiku

Sungguh ku ingin lebih dekat denganmu

Beri aku waktu tuk buktikan kepadamu

Sungguh ku ingin memiliki hatimu

Semakin ku memikirkanmu

Semakin ku menggilaimu

Kau bintang di hatiku

Terangi setiap langkahku

Kamu yang kini memikat hatiku

Sungguh ku ingin lebih dekat denganmu

Beri aku waktu tuk buktikan kepadamu sungguh ku ingin memiliki hatimu

Semakin ku memikirkanmu

Semakin ku menggilaimu

Kau bintang di hatiku

Terangi setiap langkahku

Semakin ku memikirkanmu

Semakin ku menggilaimu

Kau bintang di hatiku

Terangi setiap langkahku

Semakin ku memikirkanmu

Semakin ku menggilaimu

Kau bintang di hatiku

Terangi setiap langkahku

Kau bintang di hatiku

Terangi setiap langkahku

Kamu yang kini memikat hatiku

Sungguh ku ingin memiliki hatimu (D'masiv-Semakin).

Beruntungnya pria tampan. Hallo effect membuat mereka disambut baik dimana-mana. Lihatlah, bahkan pengunjung Rasa-Rasa Cinta sampai berhenti makan demi mengamati pria berjas rapi memasuki tempat makan. Ayah Calvin sedikit membungkuk agar tidak terbentur langit-langit rendah.

"Aduh aduh, saha ieu teh? Ganteng maksimal. Bos dari ibu kota, model, apa bintang pelem?""

Tiba-tiba si pria berkalung handuk membalikkan badan. Dia menggosokkan tangan pada lap bersih. Menginspeksi Ayah Calvin dari ujung kaki hingga ujung rambut. Yang diperhatikan merasa sungkan. Sebegitu langkakah makhluk tampan di sini? Ryan menyeringai, senang kawan barunya mulai canggung. Dia tidak sendirian.

"Ini warga baru di perumahan, Pak Cinta." Ryan memperkenalkan Ayah Calvin.

Pak Cinta, begitulah pria pemilik tempat makan biasa dipanggil. Entah siapa nama aslinya. Wajah bulatnya tak lepas dihiasi senyuman. Pria itu memperlakukan setiap pembeli dengan keramahan yang sama, tak peduli pria itu hanya sekedar membeli air putih gratisan atau membeli menu paling mahal. Berbeda dengan tempat makan kebanyakan, Pak Cinta masih menyediakan air putih gratis berikut gelas-gelas kosong di meja. Pembeli tak diteror untuk membeli minuman berbayar.

Menu disodorkan. Ayah Calvin tergelitik membaca daftarnya. Nama menu unik dengan harga yang membuat heran karena murahnya.

Ayam goreng cinta, 10K

Bebek goreng mantan, 15K

Mie goreng galau, 14K

Nasi goreng move on, 13K

Burung dara goreng friendzone, 12K

Pecel lele bucin, 16K

Ayam geprek baper, 14K

Mie PHP, 17K

Semua menunya dinamai dengan istilah cinta anak kekinian. Penulisan harga pun seperti di cafe. Hits juga Pak Cinta ini. Mungkin Cupid meniup ubun-ubunnya sewaktu ia mendirikan tempat makan.

Menu andalan di Rasa-Rasa Cinta tak lain nasi goreng move on. Masih tersisa perasaan segan di hati si pendatang baru. Belum pernah Ayah Calvin menikmati sajian di pinggir jalan. Demi beradaptasi dengan lingkungan baru, dia mau melakukannya.

"Kamu kayak anak muda aja, pesan nasi goreng move on. Itu kan menu andalannya mahasiswa," komentar Ryan, menyikut Ayah Calvin.

Pria berjas Hugo Boss itu tak ambil pusing. Justru dia memelototi semangkuk penuh sambal incaran bapak-bapak penghuni kompleks lainnya. Nasi, olahan daging hewan yang digoreng, sambal, dan sayuran segar lahap mereka nikmati. Sadar tatapan aneh ayah Silvi itu, mereka malah tertawa.

"Pak ganteng nggak suka makanan pedas ya?"

Mereka benar. Ayah Calvin lebih memilih makanan dengan rasa yang lembut. Sambil makan, mereka membicarakan program Keranjang Solidaritas dalam rangka bulan mulia. Rapat pengurus RW sengaja berpindah dari balai pertemuan ke tempat makan. Berhasil, kan? Suasana rapat lebih rileks.

Makanan tandas. Perut kenyang. Ide-ide disepakati dan dibahas. Sejurus kemudian, Ayah Calvin berdiri dari kursinya. Menghampiri Pak Cinta dengan beberapa lembar uang merah.

Sudut mata Ryan mengawasi tingkah teman barunya. Terkesan dengan apa yang dilakukan Ayah Calvin. Pria itu mentraktir seluruh pengurus RW. Ia berbuat demikian seolah telah sering melakukannya. Seakan tak terjadi apa-apa, Ayah Calvin duduk kembali dan lanjut berbincang dengan mereka.

iPhonenya berdering. Teman lamanya menelepon. Memberi pertanda baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun