Ayah Calvin hanya tersenyum. Belum sampai tempat makan yang dituju, ia sudah kenyang. Dipuji sana-sini, dilirik penuh rasa ingin tahu.
"Tapi, Bu Manda kok nggak pernah cerita ya?" usik seorang bapak gendut dan botak.
"Ini salah saya. Manda kira saya sudah meninggal," sahut Ayah Calvin. Suami yang baik akan menjaga reputasi istrinya.
Mereka melewati portal. Jangan harap ada booth tempat sekuriti berjaga. Perumahan ini tak punya petugas keamanan. CCTV pun tiada.
Desing kendaraan menyambut mereka setiba di jalan raya. Ruas jalan raya depan kompleks ramai tak kenal waktu. Lokasinya strategis, berdekatan dengan kampus, gedung perkantoran, dan berbatasan dengan jalan raya antarkota. Persis di sisi kiri gerbang, berkibar sebuah spanduk merah cerah.
"Kita sampai," kata Ryan.
Rangkaian kata di spanduk membuat Ayah Calvin tertawa geli. Rasa-Rasa Cinta. Sekali, dua kali, tiga kali, ia tak salah baca. Mereka pun beriringan memasuki Rasa-Rasa Cinta.
Tempat makan itu memancarkan kehangatan dan keramaian khas warga urban kelas menengah ke bawah. Meja bertaplak plastik dirapatkan. Kursi-kursi kecil tanpa sandaran berderet di sepanjang los. Asap melayang dari dua kompor besar. Seorang pria berkaus oblong dan berkalung handuk sibuk membolak-balik ayam di penggorengan. Riuh suara obrolan ditingkahi alunan lagu yang terputar dari tape. Tape sebesar tubuh orang dewasa? Ternyata benda kuno itu masih ada. Ayah Calvin memperhatikan dengan takjub.
Kamu yang kini memikat hatiku
Sungguh ku ingin lebih dekat denganmu
Beri aku waktu tuk buktikan kepadamu