Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Patah Hati Seorang Ayah

15 April 2020   06:00 Diperbarui: 15 April 2020   06:03 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Patah Hati Seorang Ayah

"Hai, Baby."

Dua kendaraan mewah beroda empat terparkir di depan rumah sederhana itu. Nanda turun dari Range Rover, Barki menyusul dari balik Jaguarnya. Sukses memukul hati Ayah Calvin dengan perasaan terintimidasi.

Dalam satu gerakan, Ayah Calvin mendorong lembut punggung Silvi masuk ke mobil. Takkan dibiarkannya Barki menyentuh Silvi. Seringai sinis bermain di bibir sulung keluarga Mueler itu.

"Kenapa, Calvin? Mencoba menjauhkan Silvi dariku rupanya?" cetusnya sarkastik.

Kedatangan jewelry sibling merusak paginya. Kini kotak ingatan Ayah Calvin telah sempurna terbuka. Dia dapat mengidentifikasi mereka berdua. Si sulung Barki Laksana Mueler, pria yang tak tertarik dengan pernikahan namun terobsesi memiliki anak perempuan. Adiknya, Nanda Syah alam Mueler, jatuh cinta setengah mati pada Bunda Manda. Mengerikan, istri dan putrinya diincar orang. Barki dan Nanda seolah tak peduli bahwa perempuan yang mereka kasihi telah termiliki.

"Aku bawa ini untukmu," kata Nanda, menyodorkan kotak hitam mungil. Bentuknya seperti kotak cincin.

"Apa ini?"

"Bukalah."

Kepuasan menghiasi air muka jewelry sibling saat Bunda Manda membuka tutup kotak. Terperanjat melihat kilau berlian dari sebentuk cincin. Berlian, makanan sehari-hari bagi Mueler bersaudara.

"Kau tahu kenapa berlian begitu berharga?" Nanda melontar tanya.

"Karena berlian jenis batu mulia yang memerlukan waktu jutaan tahun untuk terbentuk. Perut bumi menempanya. Walau berlian tidak selangka ruby atau zamrud, De Beers berhasil meyakinkan betapa langkanya batu mulia ini lewat monopolinya atas tambang berlian pertama di Afrika Selatan."

Sejarah berlian? Ayah Calvin tersenyum sedih. Ternyata Nanda berusaha memikat Bunda Manda lewat pengetahuannya tentang sejarah berlian. Seakan tak mau kalah Barki pamer kesombongan.

"Berlian satu-satunya bentuk investasi yang tahan krisis. Jangan khawatir, Manda. Berlian dari tempat kami tersertifikasi GIA dan bukan berlian sintetis. Benda semahal ini jelas takkan mampu dibeli orang yang hanya punya satu gerai supermarket."

Barki tersenyum mengejek ke arah Ayah Calvin. Membuat si objek pembicaraan mengepalkan tangan. Kalau saja tak ada Silvi di dekat sini, takkan ragu Ayah Calvin memberi pelajaran pada si sulung Mueler yang arogan ini.

Tanpa komando, Barki melangkah maju. Ia berdiri di depan pintu BMW milik Ayah Calvin. Dipanggilnya Silvi. Katanya, dia membawa seuntai kalung berlian untuk gadis kecil itu.

"Silvi tidak boleh memakai perhiasan ke sekolah." Cegah Ayah Calvin dingin.

"Wah, wah, wah..." Barki menepukkan kedua tangan.

"Masih layakkah ucapan seorang ayah yang meninggalkan anaknya untuk didengarkan?"

Pembuluh darah Ayah Calvin berdenyar. Siapa Barki ini? Enak saja mengungkit kesalahannya. Ayah Calvin tak punya pilihan waktu itu, benar-benar tak punya pilihan.

Sadar situasi bertambah runyam, Bunda Manda menggamit lengan Nanda. Mengisyaratkannya untuk menaikkan boks katering ke mobil. Nanda menurut. Lihatlah, Nanda sungguh sayang pada Bunda Manda. Mana mau dia membawa mobil demi seorang wanita?

"Biar aku saja yang mengantarmu, Manda." Pinta Ayah Calvin.

Bunda Manda menggeleng. Ia naik ke bangku penumpang depan, menghiraukan permintaan suaminya. Barki tertawa. Tawa sinis pertanda kepuasan.

"Sakit kan, diabaikan? Nah, itu juga yang dirasakan Manda dan Silvi."

Perasaan Ayah Calvin tak keruan sepanjang perjalanan ke sekolah Silvi. Begitu kacaunya hati hingga ia nyaris menabrak pick up. Silvi jelas kelabakan dengan hilangnya konsentrasi mengemudi sang ayah.

"Ayah, awas!" jeritnya.

"Maaf, Sayang. Maaf..."

BMW menepi sejenak di pinggir jalan. Sejurus kemudian, Ayah Calvin meraih lembut tubuh Silvi dalam dekapan. Menenangkan gadisnya yang terisak tertahan.

Tak lama, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Susah payah Ayah Calvin mengumpulkan kepingan konsentrasi yang berceceran. Semuanya gara-gara jewelry sibling. Apa maksudnya mereka datang sepagi itu dan mengacaukan rencana Ayah Calvin? Belum tentu mereka tulus pada Bunda Manda dan Silvi.

Setitik kesadaran menetesi hati. Ayah Calvin sadar, dirinya tak sekaya jewelry sibling. Satu gerai supermarket belum sebanding dengan berkarat-karat berlian. Satu butir kecil berlian saja dapat membuat penjualnya membeli supermarket.

Akan tetapi, bukan soal harta yang dirisaukan Ayah Calvin. Sindiran-sindiran Barkilah yang mengganggu pikirannya. Juga pemberian cincin dari Nanda untuk Bunda Manda.

Benarkah sudah tak ada harapan lagi?

Benarkah pintu maaf Bunda Manda telah ditutup rapat?

Apakah kunci hati Bunda Manda telah berpindah ke tangan Nanda?

Masih bisakah kesalahannya dimaafkan?

Apakah seorang pria yang meninggalkan istri dan putrinya selama tujuh tahun layak mendapat kata maaf?

Rentetan pertanyaan itu terus menghantui Ayah Calvin sampai di depan kelas Silvi. Namun, ia tak lupa mengecup sayang kening putri tunggalnya. Diamatinya Silvi hingga bocah cantik itu duduk manis di bangkunya. Bangku yang ia tempati sendiri. Silvi tak punya teman sebangku.

"Pak Calvin, Anda masih di sini?"

Teguran wali kelas sebelah mengagetkan pria berjas blue itu. Si guru senior berhijab putih tersenyum keibuan.

"Anda perhatian sekali pada Silvi." Guru itu berkomentar.

Tentu saja dia care. Ayah Calvin kan ayah kandung Silvi.

Bel masuk berdentang. Pelajaran Kesenian dimulai. Anak-anak diminta membuat kelompok. Sedihnya, tidak ada yang mau sekelompok dengan Silvi. Alhasil anak bermata biru itu mengerjakan tugasnya sendiri.

Pedih hati Ayah Calvin menyaksikan itu. Perlukah ia memindahkan putrinya dari sini? Sekolah ini bukan tempat yang layak bagi Silvi untuk bertumbuh.

**   

Bunda Manda tak mengangkat muka dari portal resep masakan online yang dibacanya. Padahal sang suami baru saja tiba dan mengucap salam. Ayah Calvin mendesah tak kentara. Menjatuhkan diri di sofa.

"Manda, ada yang ingin kubicarakan denganmu."

"Hm?"

Singkat, sesingkat itu respon Bunda Manda. Ayah Calvin menatap wanita itu masygul. Mau rasanya merebut ponsel pintar agar Bunda Manda tak punya tameng untuk mengabaikannya.

"Manda, ini tentang Silvi."

Mencoba tuk pahami

Mencari celah hatimu

Bila harus menangis

Aku kan menangis

Namun air mata kini telah habis

"Kenapa dengan Silvi? Anakku baik-baik saja." Ketus Bunda Manda.

"Dia tidak baik-baik saja. Kau harus tahu..."

Dan tumpahlah cerita itu. Cerita seorang putri disleksia yang kering akan perhatian teman sebaya. Hasil pengamatan empiris Ayah Calvin ditutup dengan permohonan. Permohonan untuk memindahkan Silvi dari sekolah minim empati itu.

"Dan kemana akan kaupindahkan anakku?" tanya Bunda Manda sengit.

"Ke White Mansion. Aku sendiri yang akan mengajari Silvi. Biarlah anak kita homeschooling sampai masuk universitas."

Brak!

Roman muka Bunda Manda yang biasanya lembut kini mengeras. Ketiadaan Silvi membuatnya bebas menghakimi Ayah Calvin.

"Kaupikir aku akan mengizinkanmu membawa Silvi ke mansion mewahmu?! Jangan harap, Calvin Wan!"

"Manda, tenang dulu..." Ayah Calvin meletakkan tangannya di pundak Bunda Manda.

"Kita bertiga akan tinggal di White Mansion. Aku, kamu, dan Silvi."

Tampikan menyahuti tawaran Ayah Calvin. Tidak, Bunda Manda takkan mau menginjakkan kaki di White Mansion. Lebih baik dia hidup kekurangan asalkan tenang dari pada hidup mewah tetapi dibayangi kepedihan masa lalu.

"Kesalahanmu sudah terlalu banyak, Calvin." Ia mendesah ke langit-langit. Sendu matanya merekam kembali perbuatan Ayah Calvin tujuh tahun silam.

Sepasang mata sipit itu meredup sedih. Sedih, sedih tak berujung bagai labirin yang membentang di lajur-lajur hati pria itu.

"Atau kaurasa..." bisiknya perih.

"Nanda dan Barki akan sanggup mengurus Silvi?"

Segalanya telah kuberikan

Tapi kau tak pernah ada pengertian

Mungkin kita harus jalani

Cinta memang cukup sampai di sini

Bahu Bunda Manda naik-turun menahan isak. Pedihnya luka batin menyesak di jiwa. Pembiaran Ayah Calvin, ia yang disembunyikan dari keluarga pria itu, sulit termaafkan. Mengapa Ayah Calvin harus datang lagi? Tak bisakah dia membiarkan Bunda Manda hidup tenang bersama Silvi? Baru saja wanita itu mulai menata hati...

"Memangnya hanya aku yang salah?"

Tiba-tiba Ayah Calvin bertanya dengan perubahan emosi yang lain. Suara lembutnya sedikit bergetar.

"Kausembunyikan keadaan putri kita dariku! Silvi disleksia, Silvi self injury! Kenapa kau tidak pernah memberi tahu, Amanda Zita Tedjokusumo?! Aku ini Ayahnya!"

"Ayah yang tak pernah memprioritaskan putrinya!" Bunda Manda balas berteriak.

Mencoba tuk rasuki

Menyentuh palung jiwamu

Bila harus mengiba

Aku kan mengiba

Namun rasa ini

Telah sampai di ujung lelahku (D`masiv-Cinta Sampai Di Sini).

"Keluargamu, keluargamu, keluargamu! Hanya itu yang kauprioritaskan! Kau menyembunyikan kami! Kau tak pernah berusaha mendatangi kami! Sekarang kau muncul lagi lalu menuduhku menutupi keadaan Silvi! Lihat ke cermin itu sebelum bicara!"

Cermin setinggi tubuh orang dewasa berbingkai kayu dan berhias pahatan ikonik itu ditudingnya. Benda mati yang tak bersalah itu menonton pertengkaran sepasang jiwa yang terluka.

Ayah Calvin meremas rambutnya. Rambut yang pernah ditarik kasar oleh Silvi. Berapa juta kata maaf yang dapat meluluhkan kerak es di hati Bunda Manda? Pria yang genap berusia 47 Desember lalu itu patah hati, sungguh patah hati. Dan risiko yang dihadapi Ayah Calvin saat patah hati adalah...

**   

Malam merambat menuju dini hari. Ketika malam hampir habis, Ayah Calvin tak membantu Bunda Manda menyiapkan menu katering. Bukan, bukan karena masih marah. Tetapi karena tubuhnya melemah.

Alarm biologis menuntunnya bangun pukul empat pagi seperti biasa. Namun, jam biologis tak datang sendirian.

"Selamat pagi Ayah," sapa Silvi dengan pillow facenya.

Sapaan itu tak berbalas. Pelukan justru merenggang. Terburu-buru Ayah Calvin meninggalkan Silvi. Merasa ada yang ganjil, anak cantik itu bergegas menyusul.

Wastafel menganga mengucurkan air. Beberapa kali Ayah Calvin terbatuk. Noda merah yang keluar bersama dahak itu...

"Kamu sakit?"

Dari arah dapur, Bunda Manda menghampiri. Tak bisa menahan desakan kepedulian dalam dirinya. Ia langsung tahu suaminya sakit lagi sekali lihat saja. Terlalu dalam Bunda Manda mengenal Ayah Calvin.

"Nope. I'm ok," jawab Ayah Calvin serak. Ia berdeham lalu meneruskan.

"Ayo kubantu memasak. Kamu..."

"Mau ke dokter?" potong Bunda Manda dingin.

Sikap istrinya yang sedikit melunak membuncahkan rasa hangat di dada Ayah Calvin. Ia menggeleng pelan. Masih ada obat batuk yang diresepkan dokternya. Tersisa sebersit cemas dalam pikiran Bunda Manda. Tak semua obat flu atau obat batuk aman untuk pria yang belum pergi dari relung hatinya. Oh, sebegitu hafal Bunda Manda semua tentang Ayah Calvin.

Mungkin Bunda Manda bisa berpura-pura dingin untuk menyembunyikan kekhawatiran. Lain halnya dengan Silvi. Penyintas gangguan belajar itu menangis keras. Berulang kali dia memanggil Ayahnya. Perlu usaha keras bagi Ayah Calvin untuk menenangkan Silvi.

"Ayah nggak apa-apa, Sayang...Ayah nggak apa-apa." Ia berujar menenangkan, mengatasi kerasnya tangisan Silvi.

Hari itu, Silvi bolos sekolah. Seharian ia menempel rapat di sisi sang ayah. Di rumah Opa Hilarius bukan hanya Ayah Calvin yang patah hati, tetapi Silvi juga merasakannya.

"Aku mau Ayah! Aku mau Ayah! Aku mau Ayah Calvin!" Silvi berteriak ketakutan seraya menarik rambutnya.

Antara memulihkan kondisi tubuh dan menenangkan Silvi sungguh susah. Obat-obatan itu membuat Ayah Calvin mengantuk. Sebentar-sebentar ia jatuh tertidur. Lelapnya tak pernah tenang karena Silvi. Tak tahukah Silvi bila Ayahnya jatuh sakit karena p

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun