Keduanya saling lempar senyum. Mata Calvin tertumbuk pada komik yang tergeletak di kursi. Seorang doktor masih sempat membaca komik detektif?
Membaca keheranan Calvin, Alea menuturkan alasannya membaca Conan. Berawal dari lokakarya yang diikutinya di Singapore tiga minggu lalu. Saat menyusuri kawasan Chinatown Singapore, Alea menjumpai mural bergambar Detektif Conan tergambar di dinding. Unik sekali, pikir Alea waktu itu. Sepulang dari Singapore, ia berniat membaca ulang semua komik Conan koleksinya.
"Great. Kamu sedetail itu, Alea." puji Calvin.
Alea hanya tersenyum. "Well, kamu kenapa? Aku lihat kamu tidak bahagia. Kamu bisa cerita apa saja padaku."
Pertanyaan Alea kembali mengingatkan Calvin pada kesedihannya. Kesedihan tentang Sivia. Sivia yang dianggap aneh dan gila karena kesukaannya melukai.
"Aku sedih karena istriku dianggap gila." ungkap Calvin.
Tercurahlah cerita itu. Cerita tentang dokter berpikiran sempit yang tergigit jari telunjuknya. Alea mendengarkan dengan sedih. Ia pun menyayangi Sivia. Sedih hati Alea ketika pertama kali tahu Sivia sering melukai diri.
Terbaca olehnya kesedihan mendalam di wajah Calvin. Ada luka di mata itu. Luka hati karena anggapan terhadap wanita yang sangat dicintai. Alea menghibur Calvin. Menenangkannya, meyakinkannya bahwa masih banyak yang menyayangi Sivia. Banyak yang bisa menerima Sivia dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
"Siviamu itu spesial, Calvin. Jaga dia. Cintai dia sampai maut memisahkan."
Hati Calvin dialiri kehangatan mendengar nasihat terakhir Alea. Sungguh tepat memilih Alea sebagai tempat curhat. Lembut perkataannya, bijak pemikirannya, terbuka pola pikirnya.
Gerbang rumah membuka. Abi Assegaf dan Ummi Adeline memberi salam. Seperti di rumah Reinhard-Rinjani, mereka menunjukkan amplop berisi uang tiga juta.