Calvin membawa Arini jalan-jalan. Destinasi pertama mereka adalah mall. Pria berkacamata itu membelikan sejumlah dress cantik untuk Arini. Puas memanjakan Arini dengan membelikannya banyak pakaian, Calvin membawa keponakannya ke restoran Jepang. Diajarinya Arini makan dengan sumpit. Senyum tak henti terukir di bibir Arini saat mereka tiba di tempat ketiga. Rupanya Calvin membelikan buku cerita.
Tempat terakhir yang mereka kunjungi adalah taman kompleks. Hari itu, langit cerah. Mentari sore menjatuhkan bayangan panjang meneduhkan di bangku-bangku taman. Tubuh Calvin penat, tapi hatinya senang. Hidup lebih bahagia bila kita membahagiakan orang lain.
Lihatlah, Arini yang cantik berlari dengan mengenakan dress putih. Erona bahagia membuat parasnya makin memikat. Benar, kebahagiaan dapat memperkuat daya pikat.
"Arini, hati-hati Sayang." Calvin susah payah mengimbangi kecepatan langkah keponakan kecilnya.
Lari Arini makin cepat. Tangannya menggapai ke depan, ingin menangkap kupu-kupu. Kian kesulitan Calvin menjajarinya.
Calvin Wan memang sosok ayah potensial. Pria penyayang anak, daddyable sejati. Akan tetapi, tubuhnya tak mengizinkannya bergerak terlalu cepat. Mungkin itulah salah satu sebab Tuhan tak menitipkannya anak. Yang Maha Cinta dapat mengukur kemampuan ayah potensial ini.
Beberapa menit mengikuti Arini, Calvin didera keletihan. Dada kanannya bagai tertusuk. Arini tak tahu begitu lelah Daddynya.
Cepat sekali Calvin merasa lelah. Demi Arini, dicobanya tetap bertahan. Detik itulah Calvin tersadar. Betapa lelahnya menjadi ayah. Terlebih untuk anak seperti Arini, yang selalu ingin di dekat ayahnya.
Sakit di dadanya makin menyiksa. Calvin membungkukkan tubuh, menahan sakit. Darah segar tumpah dari rongga hidungnya.
"Ya, Tuhan, jangan sekarang. Jangan sekarang..." rintihnya pelan.
** Â