"Ada apa, Sivia?" tanya Chef Mutiara berempati.
"Calvin...Calvin tinggal-tinggal aku." Sivia terisak.
"Kemana dia?"
"Katanya ke ruang kerja. Tapi sampai sekarang aku ditinggal-tinggal olehnya."
"Revan, aku bisa minta tolong kan...?"
Si pria blonde mengangguk. Dia bergegas mencari Calvin. Ruang kerja kosong. Kamar utama senyap. Kamar-kamar tidur lainnya sepi. Dimasukinya tiap ruangan. Dua ruang duduk di lantai atas sesunyi mausoleum. Satu ruang santai di lantai bawah sama saja. Perpustakaan, ruang piano, pantry, halaman belakang, kolam renang, dan balkon, semuanya tak ada tanda kehidupan. Satu-satunya ruang yang belum tersentuh adalah kamar mandi.
Ada delapan kamar mandi di rumah ini. Satu di lantai bawah, satu di atas, dan kamar mandi di dalam enam kamar tidur. Revan mengeceknya satu per satu. Mata birunya sampai pegal karena terus-terusan mempertajam fokus penglihatan.
Putus asa, pria setinggi 180 senti itu kembali ke kamar utama. Ada yang ganjil. Bercak-bercak darah menempel di pintu kamar mandi. Jarum suntik, pil-pil obat, dan pecahan gelas berserakan. Perasaannya tak enak. Dengan nekat, didorongnya pintu.
"Astaghfirullah..." kata Revan shock.
Calvin terbaring di lantai. Darah segar mengalir dari hidungnya.
** Â Â