Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Malaikat, Lily, Cattleya] Pendamping Hidupku Istimewa

8 November 2019   06:00 Diperbarui: 8 November 2019   06:21 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendamping Hidupku Istimewa

Hangat. Tubuhnya menghangat karena sakit. Sesak. Dada ini sesak karena gumpalan-gumpalan darah di dalamnya.

Calvin kembali jatuh sakit. Kondisinya turun di saat Sivia tidak stabil. Bukan waktu yang tepat untuk sakit.


Pria penyuka teh itu memaksakan diri mengurus Sivia. Tubuhnya memberontak, mengirimkan permintaan untuk istirahat. Namun dilawannya rasa sakit itu. Calvin kuat demi belahan jiwanya.

Sejak pagi, Sivia berteriak-teriak ingin luka. Ia tak mau menyentuh sarapannya. Sivia baru mau makan saat Calvin menyuapinya.

"Kamu harus makan, Sivia. Sedikit saja..." Calvin lembut membujuk.

"Tidak mau! Aku ingin luka!"

Dengan sabar, Calvin menyuapkan potongan demi potongan oatmeal pancake pada Sivia. Dia ingin memastikan Sivia makan tepat waktu, itu saja. Sejak melihat Rossie dengan monster Anorexianya, Calvin jadi paranoid. Takkan dibiarkannya Sivia terlambat makan.

"Tanganmu hangat. Lebih hangat dari biasanya," kata Sivia, memegang lembut tangan Calvin.

Calvin tak menanggapi. Terus menyuapi Sivia. Jangan sampai beban perasaan Sivia bertambah dengan kekhawatiran.

"Tidak mau!" tolak Sivia di suapan terakhir.

"One more. Jangan membuang makanan, Sivia." kata Calvin lembut.

Suara itu, nada lembut itu, tatapan menenteramkan itu, membuat Sivia luluh. Bibirnya membuka. Menerima potongan terakhir yang disuapkan Calvin.

Hatinya berangsur lega. Paling tidak, Sivia menghabiskan makanannya. Sivia sehat dan aman, itu sudah cukup untuk Calvin. Dia takkan meminta lebih.

Gelas berisi air putih berpindah tangan. Sivia menenggaknya sampai tandas. Sedetik kemudian...

Prang!

Sivia melempar gelas ke buffet. Gelas kaca membentur buffet, lalu pecah. Calvin kaget, namun bukannya tak menyangka.

"Sivia, kenapa gelasnya dilempar?" tanya Calvin setelah menguasai diri.

"Biar pecahannya bisa kugunakan untuk self harm." jawab Sivia santai. Sesantai jawaban tentang prakiraan cuaca.

Sejurus kemudian,, Sivia bangkit. Berjalan ke depan buffet. Kakinya menginjak pecahan kaca.

Darah memercik ke lantai parket. Segera saja Calvin menarik tubuh Sivia ke dalam dekapannya. Memapah Sivia ke kamar, lalu mengobati luka di telapak kakinya.

Pusat rasa sakit di otak Sivia telah rusak. Ia tersenyum alih-alih kesakitan. Miris hati Calvin memandangnya. Istrinya seolah mati rasa.

Senyum Sivia melebar. Ia menjilat darahnya sendiri. Asin, begitu lidahnya mencecap cairan merah pekat.

"Berhenti melakukannya, Sivia. Jangan menjilati darahmu..." cegah Calvin.

"Kenapa tidak boleh? Ini tubuhku, ini darahku!" gertak Sivia kasar.

Calvin menghela napas sabar. Dibebatnya luka Sivia dengan perban. Biar sang istri tak bisa lagi menjilati darahnya sendiri. Sivia berteriak, meronta, dan meminta balutan lukanya dilepas. Kali ini, Calvin menolak permintaan Sivia. Ia bisa tegas kalau diperlukan.

Urusan perban membuat kondisi emosi Sivia semakin labil. Dia berteriak-teriak lebih keras dari sebelumnya. Kepala berambut panjang itu dibenturkannya ke dinding. Calvin memeluk Sivia, mendekapnya kuat sekali. Mengunci tubuh wanita bergaun putih itu, menghalangi ruang geraknya.

"Aku peluk Princess biar nggak bisa gerak..." Calvin sedikit terengah. Lelah mencegah pendamping hidupnya melukai diri.

Andai saja mata batin Sivia terbuka sedikit. Pastilah dia memahami betapa lelahnya Calvin. Enam tahun menjaga Sivia sungguh tak mudah.

Menjelang siang, Calvin tak kuat lagi. Suhu tubuhnya merangkak naik. Walaupun tubuhnya menghangat, ia justru merasakan dingin luar biasa. Ribuan jarum jahat menusuk-nusuk kepala dan dadanya. Sindrom kekentalan darah begitu jahat hari ini.

Sulitnya berdamai dengan penyakit ini. Darah yang mengental enggann berkompromi. Dua badai di tubuhnya dan di tubuh Sivia mesti ia hadapi.

Apa yang bisa dilakukan Calvin selain menguatkan diri? Ya, hanya itu. Ia mencoba kuat dan tegar melewati semuanya. Hati pria penyabar itu terus melagukan pikiran positif. Pikiran positif bahwa ia dipercaya Tuhan. Tuhan mempercayakan Sivia yang istimewa untuk ia jaga.

Sivia istimewa, begitu kata Calvin pada semua orang. Apa pun pendapat orang tentang istrinya, selalu saja ia membanggakan Sivia. Wanita Lily itu, dengan keterbatasan jiwanya, mampu mengelola butik dan menjadi model. Bukankah itu spesial?

"Calvin, lihat. Ini bagus." tunjuk Sivia ke arah potret seorang model wanita di majalah fashion.

Calvin bergumam setuju. Bukan Calvin Wan namanya kalau tak paham modeling. Sebelum merambah dunia bisnis dan blogging, ia pernah menjadi coverboy.

"Aku ingin dikuncirkan rambutnya...seperti ini." Sivia merajuk manja.

Tutup kotak aksesoris terbuka. Sejenak mencari-cari, Calvin menemukan ikat rambut berwarna biru. Calvin menguncir rambut Sivia.

Hati Sivia terasa tenang saat Calvin menguncirkan rambutnya. Di sinilah Sivia merasakan kehadiran fisik begitu penting. Calvin mengambil banyak peran sekaligus bagi wanita itu: ayah, guru, konselor, caregiver, dan pendamping. Cinta yang hakiki, ketika orang yang terus-menerus kita lukai, tetap menawarkan kelembutan dan hadir setiap hari. Jika Calvin sakit, berantakanlah Sivia.

Mendadak gerakan tangan Calvin terhenti. Sivia kebingungan. Didengarnya Calvin terbatuk. Calvin meninggalkan Sivia untuk muntah. Perlahan Sivia menyentuhkan tangan ke rambutnya yang terkuncir rapi.

Darah. Mengapa ada darah? Firasat buruk menyeruak di hati Sivia. Calvin tak juga kembali.

**   

"Mutiara...I'm home!"

Revan melangkah ringan memasuki rumah. Senyum cerah menghiasi wajahnya, berbanding terbalik dengan mendung tebal yang bergelayut manja di luar sana. Chef Mutiara turun dari lantai atas. Memeluk pinggang suaminya mesra.

"Wellcome home, Suamiku." sambutnya.

Setelahnya, Chef Mutiara menggiring Revan ke meja makan. Telah tersaji wellcome drink untuknya. Siang ini, Chef Mutiara membuatkan bubble tea.

"Enak ya, jadi istri dosen. Nggak perlu nunggu sore sampai suaminya pulang kerja." komentar Chef Mutiara.

Revan tertawa kecil. Diacak-acaknya rambut Chef Mutiara.

"Bayangin kalo aku punya suami pekerja kantoran. Jarang quality time, nggak bisa pelukan siang-siang kayak gini, nggak bisa lunch bareng...syukurlah aku punya suami kayak kamu, Revan." lanjut chef muda itu.

"Yups. Oh iya, aku mau minta sesuatu sama kamu."

"Minta apa?"

"Dulu, waktu aku belum nikah sama kamu, aku selalu sarapan di rumah tetangga tiap pagi. Aku lakuin itu karena aku kesepian. Sekarang aku udah nikah sama kamu. Boleh nggak kamu masakin sesuatu buat tetangga kita? Yah, hitung-hitung buat balas kebaikan mereka."

Chef Mutiara terenyak. Begitu besarkah kesepian Revan? Lembut dibelainya rambut pirang pria itu.

"Aku menyesal baru hadir sekarang, Suamiku. Harusnya aku nggak biarin kamu kesepian. Sorry ya..." sesalnya.

"Nggak apa-apa. Kedatangan jodoh bukan kita yang kontrol. Jadi, kamu mau kan?"

"Mau banget."

Tanpa membuang tempo, Chef Mutiara mulai beraksi di dapurnya. Dia membuat Resotto untuk makan siang. Tangan halusnya sibuk memasukkan beras Arborio dan memotong wortel berbentuk dadu. Tak puas-puas Revan menikmati kecantikan istrinya. Chef Mutiara dua kali lebih cantik saat memasak.

"Yah...Revan, bahannya cuma cukup buat tiga porsi. Hari ini kita bikin seporsi dulu ya, buat tetangga. Kita kasih ke tetangga yang paling baik. Siapa tetangga yang paling wellcome sama kamu?" tanya Chef Mutiara.

"Calvin. Dia paling ramah, menu sarapannya enak-enak, dan dia selalu terbuka kalau aku mau sarapan di rumahnya."

"Ok. Tebakanku benar. Tadi aku nebak, pasti kamu milih Calvin or Alea. Btw, mereka cocok ya. Sayang...udah nikah sama orang lain."

Sementara Chef Mutiara asyik memasak, gerimis mulai turun. Siang yang mendung berubah bergerimis. Revan membantu Chef Mutiara. Tanpa diminta, ia mencincang bawang putih dan memarut keju parmesan.

Minyak di dalam wajan berdesis memanas. Chef Mutiara menumis bawang putih dan bawang bombay. Revan membuat kaldu ayam. Menurutnya, bahan dan cara pembuatan Resotto mirip nasi goreng. Sebutlah itu nasi goreng ala Italia. Ketika Resotto matang dan mereka mencicipinya, rasanya jauh beda dari nasi goreng khas Indonesia.

"Ok, finish. Kita antar ke rumah Calvin yuk." ajak Chef Mutiara.

"Tapi di luar gerimis, Mutiara. Aku takut kamu sakit. Hmmm, kita pakai mobil aja ya."

Chef Mutiara menurut. Lima menit kemudian, Rush biru milik Revan meluncur ke rumah Calvin.

Tiba di rumah Calvin, mereka mendapati Sivia menangis. Tangan kurus Sivia menarik lepas kunciran rambutnya. Chef Mutiara memeluk Sivia.

"Ada apa, Sivia?" tanya Chef Mutiara berempati.

"Calvin...Calvin tinggal-tinggal aku." Sivia terisak.

"Kemana dia?"

"Katanya ke ruang kerja. Tapi sampai sekarang aku ditinggal-tinggal olehnya."

"Revan, aku bisa minta tolong kan...?"

Si pria blonde mengangguk. Dia bergegas mencari Calvin. Ruang kerja kosong. Kamar utama senyap. Kamar-kamar tidur lainnya sepi. Dimasukinya tiap ruangan. Dua ruang duduk di lantai atas sesunyi mausoleum. Satu ruang santai di lantai bawah sama saja. Perpustakaan, ruang piano, pantry, halaman belakang, kolam renang, dan balkon, semuanya tak ada tanda kehidupan. Satu-satunya ruang yang belum tersentuh adalah kamar mandi.

Ada delapan kamar mandi di rumah ini. Satu di lantai bawah, satu di atas, dan kamar mandi di dalam enam kamar tidur. Revan mengeceknya satu per satu. Mata birunya sampai pegal karena terus-terusan mempertajam fokus penglihatan.

Putus asa, pria setinggi 180 senti itu kembali ke kamar utama. Ada yang ganjil. Bercak-bercak darah menempel di pintu kamar mandi. Jarum suntik, pil-pil obat, dan pecahan gelas berserakan. Perasaannya tak enak. Dengan nekat, didorongnya pintu.

"Astaghfirullah..." kata Revan shock.

Calvin terbaring di lantai. Darah segar mengalir dari hidungnya.

**   

Jangan takut sendiri

kamu tak kan lagi sepi

Jangan takut kehilangan

Aku beri kekuatan

Belum saatnya menyerah

Tetap di sampingku

Bila saat engkau jatuh

Dan mulai merasa rapuh

Pundakku siap tersandar

Tanganku selalu menggenggam

Belum saatnya menyerah

Tetap di sampingku

Bila saat engkau jatuh

Dan mulai merasa rapuh

Pundakku siap tersandar

Tanganku selalu menggenggam

Ini aku

Bila saat engkau jatuh

Dan mulai merasa rapuh

Pundakku siap tersandar

Tanganku selalu menggenggam

Bahkan saat kau menyakiti

Engkau putuskan untuk pergi

Aku kan tetap menanti

meski tak akan kembali

Ini aku (Devano Danendra-Ini Aku).

**   

Lantai bergetar karena teriakan keras Sivia. Tidak, dia tidak bisa melihat tubuh suaminya disentuh sekumpulan pria-wanita berbaju putih. Mereka memegang pergelangan tangan Calvin. Menyuntikkan sesuatu, mengambil darah, dan mencatat sesuatu entah apa.

Rumah besar yang semula sunyi itu, kini dipenuhi peralatan medis. Mudah sekali bagi Calvin untuk mendatangkan tim medis beserta peralatannya ke rumah. Sebisa mungkin pria Desember itu menghindari perawatan di rumah sakit.

Lihatlah, Sivia berteriak dan memberontak melepaskan pelukan Chef Mutiara. Dia ingin, ingin berada di dekat suaminya. Calvin menyaksikan semua itu. Hatinya yang telah terikat dengan hati Sivia, dapat merasakan perihnya hati wanita itu.

Dan...

Percayakah kalian bahwa orang bisa menjadi kuat karena cinta? Salah satu sisi lain cinta adalah memberi kekuatan. Kekuatan bagi para pecinta untuk melakukan hal-hal yang berada di luar kesanggupan mereka.

Setelah semuanya selesai, Calvin bangkit. Bangkit dari ranjang. Niatnya ingin merengkuh Sivia. Sebelum niat itu terlaksana, Sivia maju menyerang para dokter dan suster. Sivia merebut tas salah seorang dokter dan melemparnya keluar jendela. Stetoskop yang menggantung di leher seorang dokter muda ia lepaskan paksa. Sivia yang biasanya tampil anggun memeragakan gaun-gaun cantik kini mengganas, memperlihatkan sisi gelapnya.

Sia-sia Revan dan Chef Mutiara berupaya menenangkan. Sivia terlanjur kalap. Bahkan rambut Chef Mutiara yang menjuntai indah pun dijambaknya. Hanya Calvin yang bisa, sungguh hanya Calvin yang bisa.

"Sivia...jangan, Sayang. Jangan lakukan itu..." pinta Calvin sedih. Susah payah menggerakkan tubuhnya untuk mendekati belahan jiwa.

"Tuan Calvin, istri Anda gila." tukas seorang dokter senior.

Detik berikutnya, jari telunjuk sang dokter digigit Sivia. Teriakan kesakitan terdengar bersamaan dengan gelegar petir. Voilet, Calvin berhasil menjangkau tubuh Sivia. Didekapnya tubuh belahan jiwanya itu sangat erat.

"Tuan Calvin, sebaiknya istri Anda dibawa ke rumah sakit jiwa. Saya bisa rekomendasikan..."

"Sivia tidak gila!" sela Calvin marah.

Ya, ia marah. Benar-benar marah. Kemarahan itu bercampur kesedihan. Siapa pun yang menyakiti Sivia, sama saja telah menyakiti Calvin. Rasa sakit Sivia rasa sakit Calvin juga. Luka Sivia adalah lukanya. Kesedihan Sivia adalah kesedihan Calvin. Mereka satu jiwa.

"Istri Anda gila dan berbahaya. Seharusnya dia ditempatkan di rumah..."

"Istri saya tidak gila. Dia istimewa..." potong Calvin, suaranya bergetar.

Sedih, sedih sekali Calvin mendengarnya. Tak semua orang memahami dan menerima Sivia. Kenyataan ini mengguncang hati Calvin.

Mata Revan dan Chef Mutiara berkaca-kaca. Bukan mereka saja yang menangis. Air bening terjatuh dari mata sipit Calvin. Sakit hati Calvin mendengar istrinya dianggap gila.

Tidak, tidak ada yang salah dengan Sivia. Sivia istimewa, Sivia spesial. Ia hanya berbeda dari yang lain, bukan gila.

**   

"Dan inilah peraih juara umum Global International School. Arini Cattleya Jose..."

Tepuk tangan bergmuruh di seluruh aula. Mata Arini berbinar bahagia. Di kanan-kirinya, Jose dan Alea terharu. Mereka bangga, bangga sekali.

"Kepada Arini dan orang tua, dipersilakan maju ke depan untuk menerima penghargaan dari Headmaster." kata sang MC.

Arini bangkit dari bangkunya. Alea melangkah ke belakang kursi roda Jose. Pelan didorongnya kursi roda Jose menuju panggung. Ratusan pasang mata tertuju pada mereka bertiga. Bisik-bisik mengiringi langkah mereka.

Sudah menjadi rahasia umum kalau Arini memiliki ayah dengan kondisi berbeda. Jose tak bisa lagi menggandeng tangan Arini sambil berdiri. Kedua kakinya terlalu lemah untuk membawa Arini jalan-jalan. Kini, Arinilah yang harus berdiri di samping Ayahnya.

Headmaster memberi penghargaan dan sertifikat. Ia meminta berfoto bersama Arini, Jose, dan Alea. Arini di samping Headmaster, Alea berdiri anggun di sebelah kursi roda Jose. Mereka pun berfoto bersama.

Bisik-bisik masih saja terdengar di antara riuh tepuk tangan. Para wali murid menggunjingkan kekurangan Jose dan kesediaan Alea mendampinginya. Spekulasi negatif bermunculan. Ada yang menduga Alea setia di sisi Jose karena harta. Ada pula yang melontarkan dugaan bila Alea berselingkuh di belakang Jose. Sebagian wali murid mengenal Alea, karena perusahaan dan yayasan milik mereka pernah bekerjasama dalam project kesetaraan gender yang dijalankan wanita sophisticated itu.

"Alea, ayo kita pergi." Jose setengah memohon saat mereka selesai berfoto.

"Iya, Sayang. Kamu kenapa? Tidak nyaman dengan tatapan orang-orang ya?" Alea menanyainya lembut.

Jose mengangguk kaku. Mereka bertiga bergegas ke basement. Supir mereka telah menanti.

Di mobil, Arini meminta sesuatu pada kedua orang tuanya. Ia ingin liburan ke Macao seperti dua tahun lalu. Waktu itu Jose belum lumpuh. Ia membawa Arini dan Alea liburan singkat ke wilayah bekas jajahan Portugis. Jose memperkenalkan Ruins ST Paul, Senado Square, dan The Venetian Macao pada Arini. Dalam kunjungan sehari ke Macao, mereka sempat mencicipi egg tartnya yang terkenal.

"Hmmm...liburan?" ulang Jose sedih.

"Arini liburannya sama Bunda ya? Ayah nggak bisa ikut."

Wajah Arini membiru kecewa. Ditarik-tariknya lengan jas Jose.

"Nggak mau...Arini maunya liburan sama Bunda dan Ayah."

Pandangan putus asa Jose bertemu dengan pandangan lembut Alea. Wanita cantik itu memainkan jemari lentiknya. Apa pun keputusan Jose, dia ikuti. Joselah kepala keluarga, imam, dan pemimpin dalam rumah tangga.

Tawaran kaki palsu terus terngiang. Haruskah ia menerimanya? Jose tak perlu ragu. Kaki palsu diberikan oleh Calvin yang tulus menyayanginya.

Calvin? Jose ingat sesuatu. Hari ini, ia belum bertemu sepupunya. Sibuk dengan acara terima rapor membuat Jose lupa kebiasaan baru Calvin. Rivalnya itu mengunjunginya tiap hari. Membawakan bubuk teh dari berbagai negara, novel-novel perjalanan, dan kartu pos bergambar tempat-tempat eksotik di seluruh dunia. Calvin memotivasi Jose untuk bangkit kembali lewat panggilan traveling.

Sehari tanpa bujukan dan hadiah beraroma traveling membuat Jose rindu. Bagaimanakah keadaan sepupu terbaiknya? Apakah ia sehat dan baik-baik saja? Resah, Jose melirik ke langit suram berkabut.

Ponsel pintarnya bergetar sejak tadi. Menandakan banyaknya notifikasi. Ada ratusan chat. Semuanya dari WAG penghuni kompleks. Hati Jose mencelos saat scrolling ke atas. Grup menjadi gaduh gegara cerita Revan dan Chef Mutiara. Mereka mengabarkan sakitnya Calvin. Dengan bijak, mereka tidak menceritakan perbuatan Sivia.

"Jose, Sayang, kamu nggak apa-apa?" tanya Alea ketika Jose merosot dari tempat duduknya dengan wajah pucat.

"Alea, Calvin sakit lagi. Mungkin salahku..." jawab Jose sedih.

Alea membungkuk di depan Jose, menatapnya penuh kelembutan. Memintanya menjelaskan pelan-pelan.

"Mestinya Calvin tidak boleh stress. Sikap keras kepalaku jadi salah satu pemberat bebannya."

Dalam gerakan slow motion, Alea memeluk Jose. Mencium dahinya. Membisikkan ketenangan. Semua ini bukan salahnya.

Arini ikut sedih mendapati mendung di wajah Jose. Cepat ia menyusup ke pelukan sang ayah.

"Ayah...jangan sedih lagi. Arini nggak mau liburan. Arini nggak mau apa-apa. Arini cuma pengen Ayah sehat...jangan sedih lagi ya, Ayah."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun