Sia-sia Revan dan Chef Mutiara berupaya menenangkan. Sivia terlanjur kalap. Bahkan rambut Chef Mutiara yang menjuntai indah pun dijambaknya. Hanya Calvin yang bisa, sungguh hanya Calvin yang bisa.
"Sivia...jangan, Sayang. Jangan lakukan itu..." pinta Calvin sedih. Susah payah menggerakkan tubuhnya untuk mendekati belahan jiwa.
"Tuan Calvin, istri Anda gila." tukas seorang dokter senior.
Detik berikutnya, jari telunjuk sang dokter digigit Sivia. Teriakan kesakitan terdengar bersamaan dengan gelegar petir. Voilet, Calvin berhasil menjangkau tubuh Sivia. Didekapnya tubuh belahan jiwanya itu sangat erat.
"Tuan Calvin, sebaiknya istri Anda dibawa ke rumah sakit jiwa. Saya bisa rekomendasikan..."
"Sivia tidak gila!" sela Calvin marah.
Ya, ia marah. Benar-benar marah. Kemarahan itu bercampur kesedihan. Siapa pun yang menyakiti Sivia, sama saja telah menyakiti Calvin. Rasa sakit Sivia rasa sakit Calvin juga. Luka Sivia adalah lukanya. Kesedihan Sivia adalah kesedihan Calvin. Mereka satu jiwa.
"Istri Anda gila dan berbahaya. Seharusnya dia ditempatkan di rumah..."
"Istri saya tidak gila. Dia istimewa..." potong Calvin, suaranya bergetar.
Sedih, sedih sekali Calvin mendengarnya. Tak semua orang memahami dan menerima Sivia. Kenyataan ini mengguncang hati Calvin.
Mata Revan dan Chef Mutiara berkaca-kaca. Bukan mereka saja yang menangis. Air bening terjatuh dari mata sipit Calvin. Sakit hati Calvin mendengar istrinya dianggap gila.