"Sivia, aku buat teh sebentar ya." Calvin beranjak dari kursi piano, namun Sivia menahannya.
"Aku tidak mau ditinggal! Aku takut!" rengeknya.
Calvin mengusap-usap rambut panjang Sivia. "Aku tidak meninggalkanmu, Sayang. Aku hanya membuat teh. Sebentar saja..."
"Aku takut ditinggal-tinggal! Takut!"
Wajah Sivia terbenam di dada Calvin. Ia takut, sangat takut. Sejak Calvin sakit, ketakutan Sivia terus membesar.
"Aku tidak meninggalkanmu, Sivia. Apakah pergi membuat teh termasuk dalam kategori meninggalkanmu?"
"Iya."
Aneh sekali. Calvin tak mengerti dengan perubahan drastis sikap Sivia. Tuhan sungguh cepat dalam membuat perubahan. Kesabaran dan keikhlasannya selama ini menampakkan cerita lain.
Bermenit-menit Calvin membujuk Sivia. Akhirnya Sivia mau ditinggal. Perempuan cantik itu duduk lunglai di sofa. Pikiran negatif berkelebatan di benaknya. Bagaimana bila Calvin jatuh dari tangga? Bagaimana bila Calvin memar dan perdarahan? Dan segepok "bagaimana-bagaimana" lainnya.
Demi membunuh ketakutan, Sivia menunggu Calvin sambil membaca novel. Sekalian mencari ide untuk project skenario terbarunya. Tanpa membaca, apa yang bisa ditulis?
Skenario. Kata itu menempel di otak Sivia. Skenario identik dengan pekerjaan, kesibukan, dan DL ketat. Akankah Sivia tetap melanjutkan project yang satu itu? Mau tidak mau wanita Manado Borgo keturunan Portugis itu berpikir ulang.