Calvin meminum obatnya. Sivia berdoa dalam hati. Perasaan takut tergurat di dadanya. Bukan baru sekali-dua kali Calvin memuntahkan kembali obatnya. Kondisi kesehatan Calvin semakin menurun setelah ia divonis mengidap sindrom kekentalan darah.
"Sivia, sebenarnya aku sakit apa? Kenapa aku harus minum obat terus tiap jam empat pagi?" Calvin bertanya-tanya, menyeka keringat dingin yang membanyak di keningnya.
"Kamu...kamu kelelahan. Kamu harus minum obat biar tubuhmu tetap sehat." sahut Sivia terbata.
Ekspresi ketidakpercayaan menghiasi wajah Calvin. Ia tahu, ada yang disembunyikan Sivia. Sebaliknya, Sivia nampak gundah.
"Kamu capek minum obat ya? Be strong, my angel..." Sivia berkata meneguhkan.
"Nope. Aku hanya tidak mengerti dengan tubuhku. Kalau aku memang sakit parah dan harus minum obat, aku bisa terima kenyataan. Tapi kalau begini...?"
Rasa bersalah memukul-mukul hati. Sivia memahami perasaan suaminya. Calvin pastilah terjebak dalam kebingungan atas tubuhnya sendiri. Tubuh yang menuntut jatah istirahat lebih banyak. Tubuh yang mengharuskan diberi obat pengencer darah setiap hari.
** Â Â
Hujan telah berhenti. Langit seputih mutiara, dihiasi awan-awan seringan kapas. Udara dingin menyerbu. Waktunya mematikan AC.
Di pagi yang dingin, Calvin turun ke pantry. Ia menyiapkan sarapan. Sivia menyusulnya. Membantu sebisanya. Calvin tak pernah menyuruh, apa lagi memaksa.
"Mau selai rasa apa, Sayang? Coklat, nanas, strawberry..." Calvin menawari. Mengangkat stoples-stoples selai.