Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Malaikat, Lily, Cattleya] Mata Biru Kesepian

1 Oktober 2019   06:00 Diperbarui: 1 Oktober 2019   06:03 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu terlalu baik, Calvin. Memangnya dia pikir kita mau siapin apa? Bubur Manado?"

Spontan Revan menghentikan suapannya. "Bubur Manado? Mau banget kalo ada. Lumayan, bisa makan masakan leluhur."

Tahulah mereka kalau Revan masih mempunyai darah Manado Borgo dalam dirinya. Keluarga ibunya Manado Borgo. Ayahnya orang Portugis asli. Pantas saja mata Revan berwarna biru, persis mata Sivia.

Mereka menikmati sarapan sambil berbincang. Revan banyak bercerita tentang pengalamannya sarapan di rumah tetangga yang lain. Saat mau numpang sarapan di rumah Reinhard-Rinjani, dia pernah diusir. Pasangan freaky itu mengatainya dosen tak tahu diri karena minta sarapan di rumah tetangga. Adica dan Rossie wellcome. Hanya saja, masakan mereka tak enak. Revan hanya berani breakfast di rumah Jose saat ada Alea. Ia tak terbiasa melihat wajah dingin Jose. Tiap kali ke rumah Abi Assegaf dan Ummi Adeline, Revan disuguhi menu sarapan khas Timur Tengah. Tabouleh (salad khas Timur Tengah berisi daun mint, parsley, tomat, dan bawang merah), yughmish berupa roti berlapis daging sapi cincang, kushari (nasi ala Mesir yang dicampur makaroni, buncis, rempah dan tomat), serta simit-roti berlumur wijen dan berbentuk donat-.

"Wah, macam-macam ya. Btw, kenapa sih kamu suka sarapan di rumah tetangga? Memangnya kamu nggak bisa cari sarapan sendiri?" cetus Sivia blak-blakan.

"Kesepian." Revan menjawab pendek. Sukses membuatnya dihadiahi tatapan heran.

"Kesepian?" ulang Calvin bingung.

"Aku rindu kehangatan keluarga. Kita, orang-orang metropolitan, hanya punya sedikit waktu di rumah. Sarapan jadi salah satu momen kebersamaan. Aku hidup sendiri, Calvin. Tidak ada kehangatan keluarga di rumahku. Makanya aku sarapan di rumah tetangga biar aku merasakan kehangatan yang hilang."

Iba hati Sivia. Calvin tersentuh. Sarapan, yang dianggap sebagai cara menambah asupan energi sebelum beraktivitas, dinilai begitu dalam oleh Revan. Benar kata pria bermata biru itu. Makan bersama menjadi momen perekat jiwa dalam keluarga. Saat sebuah keluarga berkumpul di meja makan, jiwa mereka diikat melalui masakan dan rasa lapar. Makan bersama menjadi bahasa cinta paling universal dalam keluarga.

Bertemu Revan pagi ini membuka mata hati Calvin dan Sivia. Betapa pentingnya kebersamaan di meja makan. Jika tak ada tamu, ingin rasanya Sivia menangis di pelukan Calvin saat itu juga. Ia menyesal, menyesal telah melewatkan ratusan kali kesempatan makan bersama belahan jiwanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun