Mata Biru Kesepian
Pyar!
Petir menggemuruh. Hujan mencium langit. Sepertiga malam kian kelam.
Sampai kapankah hujan dan kilat menciumi alam? Entahlah. Dua entitas ini mengacak-acak ketenangan Sivia. Berulang kali ia membalikkan posisi tubuhnya di ranjang. Gurat ketakutan menghiasi wajah cantiknya.
"Sivia, kamu takut ya? Sini Sayang..."
Pria tampan di sisinya teramat pengertian. Selang sedetik, Sivia telah berpindah ke dalam rengkuhan hangat Calvin. Wangi blue seduction Antonio Banderas menyatu dengan wangi Escada The Moon Sparkel. Dua tubuh tinggi itu merapat, larut dalam dekap.
"Tidurlah, Princess." bujuk Calvin lembut.
"Oh no...aku tidak bisa tidur lagi, Calvin."
Detak jarum jam mengusik rasa. Baiklah, sepertinya kembali tidur bukan pilihan. Dengan lembut, Calvin menuntun Sivia bangun. Ia ajak istrinya itu berdoa bersama. Berdoa bersama di sepertiga malam, betapa indahnya.
"Masih takut, Sayang?" tanya Calvin usai ritual sepertiga malam itu terlewati.
"Sedikit."
Sejurus kemudian, Calvin mendudukkan wanitanya di depan grand piano. Ia sendiri mengambil posisi di samping Sivia. Jari-jari lentik Calvin menari lincah di atas bidang hitam-putih itu.
I can show you the world
Shining, shimmering splendid
Tell me, princess, now when did
You last let your heart decide?
I can open your eyes
Take you wonder by wonder
Over sideways and under
On a magic carpet ride
A whole new world
A new fantastic point of view
No one to tell us no
Or where to go
Or say we're only dreaming
Calvin bernyanyi lembut. Dilemparkannya tatapan maut pada Sivia. Hati sang istri tergetar hebat. Bibirnya bergerak, menyahuti nyanyian Calvin.
A whole new world
A dazzling place I never knew
But when I'm way up here
It's crystal clear
That now I'm in a whole new world with you (Gamaliel ft Isyana Sarasvati-A Whole New World).
Hati Sivia menghangat. Di dekat Calvin, ia merasa tenang. Ketakutannya lenyap. Tergantikan hangat yang sama, damai yang sama.
"Sivia, aku buat teh sebentar ya." Calvin beranjak dari kursi piano, namun Sivia menahannya.
"Aku tidak mau ditinggal! Aku takut!" rengeknya.
Calvin mengusap-usap rambut panjang Sivia. "Aku tidak meninggalkanmu, Sayang. Aku hanya membuat teh. Sebentar saja..."
"Aku takut ditinggal-tinggal! Takut!"
Wajah Sivia terbenam di dada Calvin. Ia takut, sangat takut. Sejak Calvin sakit, ketakutan Sivia terus membesar.
"Aku tidak meninggalkanmu, Sivia. Apakah pergi membuat teh termasuk dalam kategori meninggalkanmu?"
"Iya."
Aneh sekali. Calvin tak mengerti dengan perubahan drastis sikap Sivia. Tuhan sungguh cepat dalam membuat perubahan. Kesabaran dan keikhlasannya selama ini menampakkan cerita lain.
Bermenit-menit Calvin membujuk Sivia. Akhirnya Sivia mau ditinggal. Perempuan cantik itu duduk lunglai di sofa. Pikiran negatif berkelebatan di benaknya. Bagaimana bila Calvin jatuh dari tangga? Bagaimana bila Calvin memar dan perdarahan? Dan segepok "bagaimana-bagaimana" lainnya.
Demi membunuh ketakutan, Sivia menunggu Calvin sambil membaca novel. Sekalian mencari ide untuk project skenario terbarunya. Tanpa membaca, apa yang bisa ditulis?
Skenario. Kata itu menempel di otak Sivia. Skenario identik dengan pekerjaan, kesibukan, dan DL ketat. Akankah Sivia tetap melanjutkan project yang satu itu? Mau tidak mau wanita Manado Borgo keturunan Portugis itu berpikir ulang.
Menulis skenario menuntut kedisiplinan dan kerja keras. Sementara itu, malaikat belahan jiwanya sedang sakit. Ia butuh perhatian lebih. Hati Sivia tercabik dilema.
"Aku bikinin teh buat kamu, Princess. Earl Grey kesukaan kamu."
Suara bass lembut nan empuk itu memburai benang kusut di pikiran Sivia. Dipaksakannya seulas senyum. Perlahan dia menyesap teh buatan Calvin.
Hangat.
Sensasi kehangatan naik ke dadanya. Turun, turun perlahan hingga ke perutnya. Sivia menikmati tegukan teh dengan mata setengah terpejam.
"Kayaknya kamu lagi mikirin sesuatu. Ada apa?" selidik Calvin.
Sivia mengangkat bahu, enggan bercerita. Jika ia membeberkan cerita, sama saja ia harus mengungkap rahasia penyakit Calvin. Sekarang bukan waktu yang tepat.
Reminder di handphone Sivia berbunyi. Ia terlonjak kaget saat menatap jam dinding. Sudah pukul empat pagi.
"Calvin, kamu minum obat dulu ya. Biar aku ambilkan..."
Setelah berkata begitu, Sivia membuka bungkusan obat. Diletakkannya pil-pil putih ke atas baki kecil. Dituangkannya air putih ke dalam gelas baru yang masih kosong.
"Diminum obatnya, Sayang." pinta Sivia.
Calvin meminum obatnya. Sivia berdoa dalam hati. Perasaan takut tergurat di dadanya. Bukan baru sekali-dua kali Calvin memuntahkan kembali obatnya. Kondisi kesehatan Calvin semakin menurun setelah ia divonis mengidap sindrom kekentalan darah.
"Sivia, sebenarnya aku sakit apa? Kenapa aku harus minum obat terus tiap jam empat pagi?" Calvin bertanya-tanya, menyeka keringat dingin yang membanyak di keningnya.
"Kamu...kamu kelelahan. Kamu harus minum obat biar tubuhmu tetap sehat." sahut Sivia terbata.
Ekspresi ketidakpercayaan menghiasi wajah Calvin. Ia tahu, ada yang disembunyikan Sivia. Sebaliknya, Sivia nampak gundah.
"Kamu capek minum obat ya? Be strong, my angel..." Sivia berkata meneguhkan.
"Nope. Aku hanya tidak mengerti dengan tubuhku. Kalau aku memang sakit parah dan harus minum obat, aku bisa terima kenyataan. Tapi kalau begini...?"
Rasa bersalah memukul-mukul hati. Sivia memahami perasaan suaminya. Calvin pastilah terjebak dalam kebingungan atas tubuhnya sendiri. Tubuh yang menuntut jatah istirahat lebih banyak. Tubuh yang mengharuskan diberi obat pengencer darah setiap hari.
** Â Â
Hujan telah berhenti. Langit seputih mutiara, dihiasi awan-awan seringan kapas. Udara dingin menyerbu. Waktunya mematikan AC.
Di pagi yang dingin, Calvin turun ke pantry. Ia menyiapkan sarapan. Sivia menyusulnya. Membantu sebisanya. Calvin tak pernah menyuruh, apa lagi memaksa.
"Mau selai rasa apa, Sayang? Coklat, nanas, strawberry..." Calvin menawari. Mengangkat stoples-stoples selai.
"Strawberry aja."
Sivia menjerit kaget. Stoples di tangan Calvin nyaris jatuh. Jawaban itu bukan dari bibir Sivia, melainkan dari...
"Revan? Datang-datang nggak ketuk pintu!" komplain Sivia.
"Udah kok. Pakai pencet bel dan Assalamualaikum segala. Tapi nggak ada yang jawab. Pintunya kebuka lagi. Saya anggap aja undangan masuk."
Calvin dan Sivia bertatapan. Apa yang dikatakan Jose benar.
"Pasti Jose udah bilang kan sama kalian?" Revan nyengir, menarik kursi setelah dipersilakan sang tuan rumah.
"Dasar orang itu...tetangga paling malas berkunjung."
"Tiap orang punya sifat berbeda, Revan." jelas Calvin sabar.
Sejurus kemudian, Calvin mengambil piring keramik untuk Revan. Diisinya dengan roti panggang berlapis selai strawberry.
"Roti panggang aja nih?" komentar Revan saat menelan potongan pertamanya.
"Iya. Sorry...baru sempat siapin ini aja."
"Kamu terlalu baik, Calvin. Memangnya dia pikir kita mau siapin apa? Bubur Manado?"
Spontan Revan menghentikan suapannya. "Bubur Manado? Mau banget kalo ada. Lumayan, bisa makan masakan leluhur."
Tahulah mereka kalau Revan masih mempunyai darah Manado Borgo dalam dirinya. Keluarga ibunya Manado Borgo. Ayahnya orang Portugis asli. Pantas saja mata Revan berwarna biru, persis mata Sivia.
Mereka menikmati sarapan sambil berbincang. Revan banyak bercerita tentang pengalamannya sarapan di rumah tetangga yang lain. Saat mau numpang sarapan di rumah Reinhard-Rinjani, dia pernah diusir. Pasangan freaky itu mengatainya dosen tak tahu diri karena minta sarapan di rumah tetangga. Adica dan Rossie wellcome. Hanya saja, masakan mereka tak enak. Revan hanya berani breakfast di rumah Jose saat ada Alea. Ia tak terbiasa melihat wajah dingin Jose. Tiap kali ke rumah Abi Assegaf dan Ummi Adeline, Revan disuguhi menu sarapan khas Timur Tengah. Tabouleh (salad khas Timur Tengah berisi daun mint, parsley, tomat, dan bawang merah), yughmish berupa roti berlapis daging sapi cincang, kushari (nasi ala Mesir yang dicampur makaroni, buncis, rempah dan tomat), serta simit-roti berlumur wijen dan berbentuk donat-.
"Wah, macam-macam ya. Btw, kenapa sih kamu suka sarapan di rumah tetangga? Memangnya kamu nggak bisa cari sarapan sendiri?" cetus Sivia blak-blakan.
"Kesepian." Revan menjawab pendek. Sukses membuatnya dihadiahi tatapan heran.
"Kesepian?" ulang Calvin bingung.
"Aku rindu kehangatan keluarga. Kita, orang-orang metropolitan, hanya punya sedikit waktu di rumah. Sarapan jadi salah satu momen kebersamaan. Aku hidup sendiri, Calvin. Tidak ada kehangatan keluarga di rumahku. Makanya aku sarapan di rumah tetangga biar aku merasakan kehangatan yang hilang."
Iba hati Sivia. Calvin tersentuh. Sarapan, yang dianggap sebagai cara menambah asupan energi sebelum beraktivitas, dinilai begitu dalam oleh Revan. Benar kata pria bermata biru itu. Makan bersama menjadi momen perekat jiwa dalam keluarga. Saat sebuah keluarga berkumpul di meja makan, jiwa mereka diikat melalui masakan dan rasa lapar. Makan bersama menjadi bahasa cinta paling universal dalam keluarga.
Bertemu Revan pagi ini membuka mata hati Calvin dan Sivia. Betapa pentingnya kebersamaan di meja makan. Jika tak ada tamu, ingin rasanya Sivia menangis di pelukan Calvin saat itu juga. Ia menyesal, menyesal telah melewatkan ratusan kali kesempatan makan bersama belahan jiwanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H