Kejam, bisik hati Alea. Rona kecantikan tak mampu menyembunyikan kesedihan di wajahnya. Alea memendam sedih setelah membaca laporan hasil studinya tentang gadis-gadis yang menjadi korban perkosaan.
Ibu mana yang mau anak gadisnya diperkosa? Bayangan wajah Sivia menari di pelupuk mata Alea. Tekadnya mengeras. Ia harus lebih ketat menjaga putri tunggalnya.
Perkosaan tak mengenal usia. Benar bahwa Sivia masih sembilan tahun. Tetapi, orang-orang jahat di luar sana mana peduli umur korbannya? Alea ingin membicarakan hal ini dengan Calvin.
Calvin? Ah, masih kuatkah pria pendamping hidupnya itu menjaga Sivia? Bukankah suaminya perlu perhatian khusus juga? Teringat Calvin membuat balon kesedihan di hati Alea membesar.
"Alea, mawarku banyak yang mati. Aku harus..."
Calvin masuk ke kamar dengan tergesa. Raut wajahnya cemas. Alea menegakkan posisi tubuh, pelan memutar kursinya. Haru menyelimuti relung hati mantan model majalah itu. Alea yakin, hanya pria berhati lembut yang mau meluangkan waktunya untuk mengurus bunga.
Demi melihat ekspresi wajah istrinya, pikiran Calvin teralih dari urusan bunga mawar. Ia lantas mencuci tangannya di wastafel, lalu berlutut di samping Alea.
"Hei, are you ok?" tanyanya lembut.
Kepala Alea tertunduk. Pelan disekanya ujung mata.
"Kenapa, Sayang? Cerita sama aku..." ulang Calvin, nada suaranya lebih lembut.