Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luka-luka Intoleransi

2 Agustus 2019   06:00 Diperbarui: 2 Agustus 2019   06:02 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Biar aku saja."

"Tidak usah. Kamu tetap di sini, ok?"

Selangkah demi selangkah Ayah Calvin meninggalkan kamar tidur utama. Menyusuri lorong panjang bertirai putih. Di ujung koridor, langkahnya terhenti. Tergerak niat untuk mengecek kamar anak semata wayangnya. Cepat-cepat ia berbalik menuju pintu kedua.

Pintu putih berpelitur mengilap itu mengayun terbuka. Hembusan air conditioner menyerbu, dingin menusuk. Ayah Calvin bertanya-tanya dalam hati. Tidakkah anak tunggalnya itu kedinginan? Tidur dengan AC menyala di malam berhujan begini.

Senyuman tipis tergambar di wajahnya begitu ia mendapati Jose masih terlelap. Selimut menutup tubuhnya sampai sebatas dada. Pelan ia mendekat ke tepi ranjang. Memperbaiki letak selimut, mengecup dahi anak itu penuh sayang. Masih tersisa percik kebanggaan. Jose, anak tunggalnya yang istimewa, tahun ini menjadi lulusan terbaik. Ayah Calvin bangga, bangga sekali.

Pandangannya tertumbuk ke arah sebentuk luka baru di pipi Jose. Luka apa lagi ini? Jangan bilang...

"Apa ini hasil dari self injury lagi, Sayangku?" ujar Ayah Calvin sedih.

Luka, luka baru yang masih berdarah. Luka setengah sembuh yang dibuka lagi dan ditarik lepas benang fibrinnya. Sering kali Ayah Calvin menemukan dua jenis luka itu di tubuh putranya.

Di luar dugaan, Jose terbangun. Pillow face-nya berubah cerah mendapati pria berjas hitam itu ada di sampingnya. Ayah dan anak itu berpelukan.

"Ini luka apa, Sayang?" tunjuk Ayah Calvin ke arah luka baru.

"Luka gara-gara kejadian kemarin, Ayah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun