Dada Ayah Calvin terasa sesak. Sesak yang sama, menghimpit dadanya tiap kali mendengar prkatik intoleransi. Bayang-bayang trauma masa lalu berkelebatan.
Hampir satu jam Ayah Calvin berada di sisi anaknya. Ketika ia bersiap meninggalkan kamar, Jose berkata lembut.
"Ayah, jangan lupa minum obat ya. Biar Ayah tetap sehat."
** Â Â
Ayah Calvin kembali ke kamarnya dengan wajah pucat. Bunda Alea tetap sabar menanti. Ia menunggu suaminya kembali sambil membaca buku.
"Calvin, are you ok?"
Bunda Alea menjatuhkan bukunya begitu saja. Raut wajahnya berganti cemas.
"I'm good," kata Ayah Calvin menenteramkan. Diletakkannya dua cangkir Earl Grey ke atas meja.
Keduanya menyesap teh dalam diam. Satu-dua kali Bunda Alea mencuri pandang ke arah suaminya. Rona kecemasan tak terhapus dalam tatapan. Ia yakin telah terjadi sesuatu pada malaikat tampan bermata sipitnya.
Ketakutannya terbukti. Hidung Ayah Calvin mengeluarkan darah segar. Dua tetesnya menjatuhi cangkir teh. Sebelum Bunda Alea sempat memperingatkan, darah itu telah terminum tanpa sengaja.
Ayah Calvin terbatuk. Helaian tissue yang digunakannya untuk membersihkan darah, kini dipenuhi noda merah. Bunda Alea memeluknya, mengecup kening, mata, dan ujung hidung Ayah Calvin penuh cinta.