"Kejadian apa?"
Sesaat hening. Jose bingung menceritakannya. Pemuda cilik yang mewarisi ketampanan sang ayah itu masih terpukul.
"Kenapa, Jose? Cerita sama ayah..." desak Ayah Calvin sedikit tak sabar.
"Tapi...jangan bilang-bilang Bunda ya. Nanti Bunda sedih."
Jari kelingking Ayah Calvin bertaut dengan kelingking Jose. Apa yang dikatakan Jose selanjutnya menyayat perih.
"Waktu Jose sama Silvi jalan-jalan ke mall, kami lihat ada restoran yang dipaksa tutup. Ada belasan orang berbaju putih marah-marah. Kata mereka...restoran itu jual masakan babi. Trus pelayan sama yang punya restoran diusir. Ada anak pakai seragam kindergarten yang menangis ketakutan. Kasihan anak itu. Waktu Jose peluk, orang-orang berbaju putih makin marah. Jose dibilang kafir...dan mereka tampar di sini."
Satu lagi peristiwa intoleransi. Betapa bodohnya orang dewasa. Mereka mempertontonkan intoleransi di depan anak-anak.
"Trus jadinya restoran itu ditutup beneran?" Ayah Calvin bertanya lagi, perih.
Jose mengangguk. Refleks Ayah Calvin mengeratkan pelukannya.
"Ayah, kenapa sih orang dewasa gampang banget bilang kafir? Allah aja nggak segitunya kok..." Tertangkap nada protes dalam suara Jose.
Pertanyaan itu pula yang mengganggu pikiran Ayah Calvin. Satu kata, ya hanya satu kata bisa melukai teramat dalam. Dengan sedih, dia mengingat perundungan atas nama identitas dan agama yang dialami anaknya. Berkali-kali Ayah Calvin menerima pengaduan Jose akibat diteriaki kafir dan dibully. Hanya karena mata sipitnya.