Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luka-luka Intoleransi

2 Agustus 2019   06:00 Diperbarui: 2 Agustus 2019   06:02 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pyar!

Petir menggemuruh. Hujan mencium langit. Sepertiga malam kian kelam.

Sampai kapankah hujan dan kilat menciumi alam? Entahlah. Dua entitas ini mengacak-acak ketenangan Bunda Alea. Berulang kali ia meembalikkan posisi tubuhnya di ranjang. Gurat ketakutan menghiasi wajah cantiknya.


"Alea, kamu takut ya? Sini Sayang..."

Pria tampan di sisinya teramat pengertian. Selang sedetik, Bunda Alea telah berpindah ke dalam rengkuhan hangat Ayah Calvin. Wangi blue seduction Antonio Banderas menyatu dengan wangi citrus. Dua tubuh tinggi itu merapat, larut dalam dekap.

"Tidurlah, Alea." bujuk Ayah Calvin lembut.

"Oh no...aku tidak bisa tidur lagi, Calvin."

Detak jarum jam mengusik rasa. Baiklah, sepertinya kembali tidur bukan pilihan. Dengan lembut, Ayah Calvin menuntun Bunda Alea bangun. Ia ajak istrinya itu berdoa bersama. Berdoa bersama di sepertiga malam, betapa indahnya.

"Masih takut, Sayang?" tanya Ayah Calvin usai ritual sepertiga malam itu terlewati.

"Sedikit."

Sejurus kemudian, Ayah Calvin mendudukkan wanitanya di depan grand piano. Ia sendiri mengambil posisi di samping Bunda Alea. Jari-jari lentik Ayah Calvin menari lincah di atas bidang hitam-putih itu.

I can show you the world

Shining, shimmering splendid

Tell me, princess, now when did

You last let your heart decide?

I can open your eyes

Take you wonder by wonder

Over sideways and under

On a magic carpet ride

A whole new world

A new fantastic point of view

No one to tell us no

Or where to go

Or say we're only dreaming

Ayah Calvin bernyanyi lembut. Dilemparkannya tatapan maut pada Bunda Alea. Hati sang istri tergetar hebat. Bibirnya bergerak, menyahuti nyanyian Ayah Calvin.

A whole new world

A dazzling place I never knew

But when I'm way up here

It's crystal clear

That now I'm in a whole new world with you (Gamaliel ft Isyana Sarasvati-A Whole New World).

Hati Bunda Alea menghangat. Di dekat Ayah Calvin, ia merasa tenang. Ketakutannya lenyap. Tergantikan hangat yang sama, damai yang sama.

"Alea, aku buat teh sebentar ya." Ayah Calvin beranjak dari kursi piano, namun Bunda Alea menahannya.

"Biar aku saja."

"Tidak usah. Kamu tetap di sini, ok?"

Selangkah demi selangkah Ayah Calvin meninggalkan kamar tidur utama. Menyusuri lorong panjang bertirai putih. Di ujung koridor, langkahnya terhenti. Tergerak niat untuk mengecek kamar anak semata wayangnya. Cepat-cepat ia berbalik menuju pintu kedua.

Pintu putih berpelitur mengilap itu mengayun terbuka. Hembusan air conditioner menyerbu, dingin menusuk. Ayah Calvin bertanya-tanya dalam hati. Tidakkah anak tunggalnya itu kedinginan? Tidur dengan AC menyala di malam berhujan begini.

Senyuman tipis tergambar di wajahnya begitu ia mendapati Jose masih terlelap. Selimut menutup tubuhnya sampai sebatas dada. Pelan ia mendekat ke tepi ranjang. Memperbaiki letak selimut, mengecup dahi anak itu penuh sayang. Masih tersisa percik kebanggaan. Jose, anak tunggalnya yang istimewa, tahun ini menjadi lulusan terbaik. Ayah Calvin bangga, bangga sekali.

Pandangannya tertumbuk ke arah sebentuk luka baru di pipi Jose. Luka apa lagi ini? Jangan bilang...

"Apa ini hasil dari self injury lagi, Sayangku?" ujar Ayah Calvin sedih.

Luka, luka baru yang masih berdarah. Luka setengah sembuh yang dibuka lagi dan ditarik lepas benang fibrinnya. Sering kali Ayah Calvin menemukan dua jenis luka itu di tubuh putranya.

Di luar dugaan, Jose terbangun. Pillow face-nya berubah cerah mendapati pria berjas hitam itu ada di sampingnya. Ayah dan anak itu berpelukan.

"Ini luka apa, Sayang?" tunjuk Ayah Calvin ke arah luka baru.

"Luka gara-gara kejadian kemarin, Ayah."

"Kejadian apa?"

Sesaat hening. Jose bingung menceritakannya. Pemuda cilik yang mewarisi ketampanan sang ayah itu masih terpukul.

"Kenapa, Jose? Cerita sama ayah..." desak Ayah Calvin sedikit tak sabar.

"Tapi...jangan bilang-bilang Bunda ya. Nanti Bunda sedih."

Jari kelingking Ayah Calvin bertaut dengan kelingking Jose. Apa yang dikatakan Jose selanjutnya menyayat perih.

"Waktu Jose sama Silvi jalan-jalan ke mall, kami lihat ada restoran yang dipaksa tutup. Ada belasan orang berbaju putih marah-marah. Kata mereka...restoran itu jual masakan babi. Trus pelayan sama yang punya restoran diusir. Ada anak pakai seragam kindergarten yang menangis ketakutan. Kasihan anak itu. Waktu Jose peluk, orang-orang berbaju putih makin marah. Jose dibilang kafir...dan mereka tampar di sini."

Satu lagi peristiwa intoleransi. Betapa bodohnya orang dewasa. Mereka mempertontonkan intoleransi di depan anak-anak.

"Trus jadinya restoran itu ditutup beneran?" Ayah Calvin bertanya lagi, perih.

Jose mengangguk. Refleks Ayah Calvin mengeratkan pelukannya.

"Ayah, kenapa sih orang dewasa gampang banget bilang kafir? Allah aja nggak segitunya kok..." Tertangkap nada protes dalam suara Jose.

Pertanyaan itu pula yang mengganggu pikiran Ayah Calvin. Satu kata, ya hanya satu kata bisa melukai teramat dalam. Dengan sedih, dia mengingat perundungan atas nama identitas dan agama yang dialami anaknya. Berkali-kali Ayah Calvin menerima pengaduan Jose akibat diteriaki kafir dan dibully. Hanya karena mata sipitnya.

Dada Ayah Calvin terasa sesak. Sesak yang sama, menghimpit dadanya tiap kali mendengar prkatik intoleransi. Bayang-bayang trauma masa lalu berkelebatan.

Hampir satu jam Ayah Calvin berada di sisi anaknya. Ketika ia bersiap meninggalkan kamar, Jose berkata lembut.

"Ayah, jangan lupa minum obat ya. Biar Ayah tetap sehat."

**   

Ayah Calvin kembali ke kamarnya dengan wajah pucat. Bunda Alea tetap sabar menanti. Ia menunggu suaminya kembali sambil membaca buku.

"Calvin, are you ok?"

Bunda Alea menjatuhkan bukunya begitu saja. Raut wajahnya berganti cemas.

"I'm good," kata Ayah Calvin menenteramkan. Diletakkannya dua cangkir Earl Grey ke atas meja.

Keduanya menyesap teh dalam diam. Satu-dua kali Bunda Alea mencuri pandang ke arah suaminya. Rona kecemasan tak terhapus dalam tatapan. Ia yakin telah terjadi sesuatu pada malaikat tampan bermata sipitnya.

Ketakutannya terbukti. Hidung Ayah Calvin mengeluarkan darah segar. Dua tetesnya menjatuhi cangkir teh. Sebelum Bunda Alea sempat memperingatkan, darah itu telah terminum tanpa sengaja.

Ayah Calvin terbatuk. Helaian tissue yang digunakannya untuk membersihkan darah, kini dipenuhi noda merah. Bunda Alea memeluknya, mengecup kening, mata, dan ujung hidung Ayah Calvin penuh cinta.

"Kau kenapa, Calvin? Pasti ada yang kamu pikirkan..." Bunda Alea mendesah khawatir.

Ingin, ingin sekali Ayah Calvin bercerita. Menumpahkan keresahannya tentang intoleransi dan orang-orang mabuk agama yang senang bermain identitas. Namun ayah yang baik takkan melanggar janji pada anaknya.

**     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun