"Biar aku saja."
"Tidak usah. Kamu tetap di sini, ok?"
Selangkah demi selangkah Ayah Calvin meninggalkan kamar tidur utama. Menyusuri lorong panjang bertirai putih. Di ujung koridor, langkahnya terhenti. Tergerak niat untuk mengecek kamar anak semata wayangnya. Cepat-cepat ia berbalik menuju pintu kedua.
Pintu putih berpelitur mengilap itu mengayun terbuka. Hembusan air conditioner menyerbu, dingin menusuk. Ayah Calvin bertanya-tanya dalam hati. Tidakkah anak tunggalnya itu kedinginan? Tidur dengan AC menyala di malam berhujan begini.
Senyuman tipis tergambar di wajahnya begitu ia mendapati Jose masih terlelap. Selimut menutup tubuhnya sampai sebatas dada. Pelan ia mendekat ke tepi ranjang. Memperbaiki letak selimut, mengecup dahi anak itu penuh sayang. Masih tersisa percik kebanggaan. Jose, anak tunggalnya yang istimewa, tahun ini menjadi lulusan terbaik. Ayah Calvin bangga, bangga sekali.
Pandangannya tertumbuk ke arah sebentuk luka baru di pipi Jose. Luka apa lagi ini? Jangan bilang...
"Apa ini hasil dari self injury lagi, Sayangku?" ujar Ayah Calvin sedih.
Luka, luka baru yang masih berdarah. Luka setengah sembuh yang dibuka lagi dan ditarik lepas benang fibrinnya. Sering kali Ayah Calvin menemukan dua jenis luka itu di tubuh putranya.
Di luar dugaan, Jose terbangun. Pillow face-nya berubah cerah mendapati pria berjas hitam itu ada di sampingnya. Ayah dan anak itu berpelukan.
"Ini luka apa, Sayang?" tunjuk Ayah Calvin ke arah luka baru.
"Luka gara-gara kejadian kemarin, Ayah."