"Carol...murid kesayangannya Ayah, jangan sedih ya. Rambut Carol tetap bagus. Jangan biarkan orang yang jahat sama kita semakin puas dengan air mata kita. Carol tetap muridnya Ayah yang cantik." ujar Ayah Calvin menenangkan.
Lagi-lagi Bunda Alea meleleh. Suaminya sungguh penyayang. Partner bisnis berwajah kapitalis menggeram jengkel. Si laki-laki muda berpura-pura muntah di belakang punggung Bunda Alea.
Urusan murid pun selesai. Ayah Calvin hanya membolak-balik sekilas lembar proposal yang diajukan relasi bisnisnya. Saat ini dia tak begitu peduli urusan bisnis. Memperhatikan para murid jauh lebih penting. Si rekan bisnis pergi dengan wajah beku.
Terakhir si tamu paling aneh. Laki-laki muda berkemeja grey itu mengaku mencintai Bunda Alea. Secara eksplisit dia menyatakan keinginannya menikahi Bunda Alea dan merebut wanita itu dari pelukan Ayah Calvin. Apa yang dilakukannya kelewatan. Namun, bukan baru sekali-dua kali pengganggu berusaha merubuhkan istana cinta.
"Siapa dia, Alea? Tadi kudengar dia menyebut-nyebut janji. Kau berjanji apa padanya?" Ayah Calvin menanyai istrinya, perih.
Si lelaki berkemeja grey telah pergi. Para karyawan yayasan membawanya paksa. Tamu yang datang dengan niat buruk harus disingkirkan.
"Dia...dia keponakan jauhku, Calvin. Waktu kecil, dia ingin menikahiku. Jelas aku tak mau. Sekarang pun tak mungkin." Bunda Alea menyahut perlahan.
Wajah Ayah Calvin berubah sendu. Kesedihan tercermin di matanya. Tidak, bukannya dia tidak tahu. Banyak pria yang menaruh hati pada istrinya. Walau Bunda Alea berulang kali meyakinkan bahwa hanya Ayah Calvin yang ada di hatinya, tetap saja kenyataan itu menyakitkan.
"Mungkin mereka menanti-nanti kematianku, Alea." bisik Ayah Calvin. Ia menekan dada, satu-dua kali terbatuk. Bunda Alea melihat noda darah.
"Nope. Dan jangan bicara tentang mati. Aku selalu mendoakanmu berumur panjang. Calvin, maaf...maafkan aku."
Bunda Alea tergugu. Bulir air matanya berjatuhan. Hatinya berdarah melihat kesedihan yang dingin tergurat di wajah suaminya.