Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Dear Malaikat Izrail] Aku Ingin Jadi Sirius

13 April 2019   06:00 Diperbarui: 13 April 2019   06:08 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sirius Black (www.pottermore.com)

Aku Ingin Jadi Sirius

Buku itu selesai dibacanya. Jose membaca sendiri empat bab terakhir. Malam ini, tak ada Ayah Calvin yang membacakannya buku seperti biasa.

"Ayah..." Jose bergumam lirih.

Sepertinya, malam ini Ayah Calvin tak pulang. Jose sedih dan kesepian. Ia beranjak ke depan grand piano putih.

Sebulan lalu, Ayah Calvin membelikan piano baru untuknya. Menggantikan piano lama Jose yang rusak tutsnya. Sebuah produk Boston Grand Piano Tipe GP 178 PE Performance Edition. Jose tahu, piano sebagus itu pasti mahal. Tapi kalau sekedar piano, itu mudah sekali buat Ayah Calvin. Ayah Calvin, selalu memberi yang terbaik dan termahal untuk anak tunggalnya.

Piano berdenting lembut. Jose menghela nafas, berpura-pura sedang tampil di panggung besar disaksikan banyak orang. Ia pun bernyanyi.


Maaf ku telah menyakitimu

Ku telah kecewakanmu

Bahkan kusia-siakan hidupku

Dan kubawa kau seperti diriku

Walau hati ini terus menangis

Menahan kesakitan ini

Tapi kulakukan semua demi kita

Akhirnya juga harus kurelakan

Kehilangan sobat sejatiku

Segalanya telah kuberikan

Juga semua kekuranganku

Jika memang ini yang terbaik

Untuk diriku dan dirinya

Kan kuterima semua demi kita

Jujur aku tak kuasa

Saat terakhir ku jumpa dirimu

Namun yang pasti terjadi

Kita mungkin tak bersama lagi

Bila nanti esok hari

Kutemukan dirimu bahagia

Izinkan aku titipkan

Kisah hidup kita selamanya...

Mungkinkah Ayah Calvin marah padanya? Tidak, Ayah Calvin tak pernah marah. Tapi...bukankah tadi ekspresi Ayah Calvin begitu kecewa saat dilapori Ms. Erika?

Semuanya gara-gara Adi. Anak sombong itu menghina Ayah Calvin. Kata Adi, Ayah Calvin itu penyendiri, penyakitan, bodoh, dan munafik. Pastilah Adi marah karena Ayah Calvin menolak disogok bapak Adi yang pejabat itu. Bapaknya Adi memberikan uang puluhan juta asalkan Adi jadi juara kelas. 

Bapaknya Adi tak tahu dengan siapa ia berhadapan. Ayah Calvin pengusaha sukses yang sangat jujur. Ia direktur yayasan dan kepala sekolah anti sogok.

Tak terima Ayahnya dihina, Jose memukul Adi. Ini pertama kalinya ia membalas hinaan orang dengan pukulan. Ms. Erika melihat kejadian itu. Langsung saja ia melapor pada Ayah Calvin.

"Jose Gabriel Calvin, pernahkah Ayah mengajarimu memukul orang lain?"

Jika Ayah Calvin sudah memanggil nama panjang, artinya ia serius. Jose tertunduk. Baru siang tadi ia pertama kali disidang Ayahnya sendiri di sekolah.

"Tidak, Ayah."

"Terus kenapa kamu pukul Adi?"

"Adi sudah hina Ayah."

Ayah Calvin mendesah letih. Pria tampan berkacamata itu berkata pelan.

"Apakah tiap orang yang menghina kita harus dibalas dengan pukulan?"

"Aku tidak tahu, Ayah."

"That's too bad, Dear. Memukul bukan pembalasan yang baik. Jika kita dihina, buktikan kalau kita jauh lebih baik dari yang disangkakan orang lain."

"Orang yang suka menghina harus dilawan, Ayah."

"Iya betul. Tapi, cara melawannya harus baik. Lawan dengan kebaikan."

Rentetan dialog menegangkan di ruang kepala sekolah tadi siang terus terngiang. Rasa bersalah menghantam hati Jose. Adi makin sering menghina Jose sejak ia kalah di pemilihan ketua kelas dan audisi kontes menyanyi. Bisa saja Adi hanya ingin melampiaskan kemarahannya karena terus-menerus dikalahkan Jose.

Tapi, hari ini Adi sudah keterlaluan. Ayah Calvin dibawa-bawa. Jelas saja Jose marah.

Pintu kamarnya diketuk. Jose melangkah malas ke pintu, lalu membukanya.

"Gabriel, makan malam yuk. Mereka udah nunggu di bawah." Silvi menyapa ceria, mata birunya bercahaya.

"Mereka siapa?" tanya Jose bersemangat. Ia berharap Ayah Calvin sudah pulang.

"Pengasuh-pengasuh kamu, Paman Adica, sama Sharon."

Hatinya berangsur kecewa. Ada paman pengacara itu lagi. Jose menggeleng.

"Kenapa?"

"Aku nggak mau makan kalo nggak ada Ayah Calvin."

Silvi menarik nafas berat. Ditariknya tangan Jose ke balkon. Mereka menatap langit.

Malam itu, langit sangat bersih. Bulan tersenyum ditemani kerlip-kerlip bintang. Tampak sebuah bintang yang sinarnya paling terang. Tergetar hati Jose melihatnya. Ia teringat perkataan Ayah Calvin.

"Kalau Jose rindu Ayah, coba lihat ke langit malam. Di sana ada Bintang Sirius, bintang yang bersinar paling terang. Selama Bintang Sirius bersinar, selama itu juga kasih sayang Ayah akan menerangi hati Jose."

Itu Bintang Sirius! Jose bahagia sekali melihatnya. Ayah Calvin ada di sini, selalu ada.

Kata Ayah Calvin, Bintang Sirius berada di rasi Canis Major. Nama Sirius berasal dari Bahasa Yunani, Seirios, artinya "Menyala-nyala." Ada juga yang menyebut Sirius sebagai Bintang Anjing. Di Arab, Sirius disebut al Shira. Dalam bahasa Tionghoa, Sirius disebut bintang serigala langit.

"Kenapa Gabriel suka Bintang Sirius?" tanya Silvi.

"Karena Sirius seperti Ayah Calvin. Sinarnya paling terang, bisa dilihat dengan mudah, selalu memberikan cahaya di langit malam. Ayah Calvin kan selalu ada buat Jose."

Silvi mengangguk-angguk. Mata birunya yang teduh menatap lembut mata Jose.

"Kalau aku, sukanya Bintang Bellatrix."

"Yeee, Bellatrix kan nggak begitu terang. Cuma jadi bintang paling terang ke26 kok. Rasinya juga Orion. Ukurannya aja yang besar banget."

"Bellatrix itu warnanya biru, kayak mataku."

Jose diam saja. Baginya, Sirius tetaplah bintang terbaik. Ia ingin jadi Sirius. Bintang yang cahayanya paling terang. Seperti Ayah Calvin yang selalu memberi cahaya cintanya untuk Jose.

**    

Ayah Calvin tak pulang malam ini bukan karena marah pada Jose. Ia hanya ingin sendiri. Lihatlah, kini Ayah Calvin berdiri di depan kolam renang villanya.

Ia menatap langit yang sama. Terpaku memandangi bintang yang bersinar paling terang. Bintang Sirius. Lalu teringat olehnya e-mail Jose yang belum sempat dijawab.

"Ayah, selubung itu apa? Ramalan itu apa? Penetrasi pikiran itu apa? Departemen itu apa?"

Seperti biasa, Jose menanyakan kata sulit dalam buku-buku yang dibacanya. Ayah Calvin akan menjawab tiap pertanyaan dengan sabar.

Tak pernah Ayah Calvin bersikap kasar pada Jose. Dia selalu memperlakukan Jose dengan lembut dan penuh kasih sayang. Cukup dirinya saja yang mengalami kekasaran dari keluarga. Jangan sampai Jose mengalaminya juga.

Sejak dulu, Ayah Calvin memang beda dari anggota keluarganya yang lain. Ayah Calvin bertubuh tinggi dan tegap. Wajah aristokratnya begitu tampan. Mata sipitnya bening menenangkan. Penampilannya elegan dan berwibawa. Pembawaannya lembut dan tenang, walau ia penyendiri. Ayah Calvin suka memberi hadiah mahal untuk orang-orang yang dicintainya.

Ketika keluarga besar memukul tangan pelayan yang tak sengaja memecahkan pajangan kristal mahal, Ayah Calvin mengompres luka memar bekas pukulannya. Waktu salah satu sepupunya membawa calon istrinya yang berkulit coklat dan bermata besar, Ayah Calvin satu-satunya yang tetap ramah. 

Keluarga besar membuang muka. Saat keluarga besar ramai-ramai minum arak dan makan daging babi, Ayah Calvin hanya minum jus dan menolak makan.

Puncaknya,, Ayah Calvin pergi dari rumah saat berusia 16 tahun. Ia tak tahan dengan keluarga besar. Selama terasing dari keluarganya, Ayah Calvin sibuk melayani anak-anak terlantar. Hingga akhirnya dia berhasil mendirikan yayasan pendidikan.

Yayasan pendidikan itu baru sempat membangun dua sekolah ketika Ayah Calvin dipaksa kembali ke rumah. Dugaannya keliru. Sikap arogan keluarga besar tetap bertahan. 

Dua belas tahun lamanya Ayah Calvin mengalami penyiksaan batin dari keluarganya sendiri. Hal itu membuatnya tertekan. Penderitaan berakhir saat satu per satu anggota keluarga meninggal karena usia tua.

Tekanan demi tekanan membuatnya terluka. Ayah Calvin tak sama lagi. Hebatnya, Ayah Calvin mampu menjadi ayah terbaik buat Jose.

Teringat beban lamanya, dada Ayah Calvin terasa sakit. Ayah Calvin terbatuk. Syukurlah tidak ada Jose di sini. Sakit saat sendirian jauh lebih baik. Tapi...

"Kalau sakit, jangan disimpan sendiri. Batuk psikogenikmu belum sembuh?"

Batuk psikogenik, terjadi karena stress dan depresi. Ada juga yang menyebutnya habbit cough. Itu bagi anak-anak yang mengalaminya lama setelah pulih dari penyakit.

Sepasang mata biru meneduhkan itu memandang Ayah Calvin lekat. Ada sedih di sana. Mata itu milik Paman Revan.

"Jose mencarimu. Pulanglah, Calvin."

**    

Lewat tengah malam, Ayah Calvin baru kembali. Ia lihat Jose tertidur di balkon. Wajahnya begitu letih. Sepertinya ia bertekad menunggu sampai akhirnya terlelap.

"Ayah..." Jose memanggil sang Ayah dalam tidurnya.

"Aku ingin peluk Ayah."

Hati Ayah Calvin tersentuh. Sesal menghinggapi jiwanya karena lama meninggalkan Jose. Dipeluknya anak tunggalnya erat. Jose Gabriel Calvin, anak Calvin Wan satu-satunya. Hartanya yang paling berharga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun