Hatinya melagukan mada syukur. Syukur karena Allah masih memberinya hidup dan kesempatan untuk merawat Silvi sekali lagi. Entah masih ada esok untuknya atau tidak.
Dentingan piano Calvin tak membangunkan Silvi. Nampaknya ia begitu kelelahan. Calvin bermain piano selama beberapa saat. Setelah itu, ia beranjak menyeduh teh dan menyalakan komputernya. Meneruskan rutinitasnya sebagai blogger. Menulis tentang kapitalisme dan keadilan sosial.
Tengah sibuk merangkai kata, tetiba Calvin terbatuk. Darah mengalir bersama dahak. Tulang punggungnya seakan tertarik, sakit sekali.
Ribuan jarum jahat menusuk punggungnya. Tidak, jangan sekarang. Tulisannya belum selesai. Izinkan ia bertahan sebentar lagi.
Bentuk pemaksaan dirikah? Tidak. Calvin terus menulis sambil terbatuk-batuk. Serangan itu lebih sering terjadi. Berat, menyakitkan, tetapi ia jalani dengan ikhlas.
Darah itu menetes ke atas keyboard. Beberapa bercak merah menodai tangannya. Sebentar lagi selesai, sungguh sebentar lagi.
Hanya sekedar berbagi.
Kalimat penutup untuk tulisannya. Ya, selesai. Tinggal melabeli. Jeda sejenak. Ia berhenti untuk menyesap teh. Berharap sakitnya pergi.
Calvin belum letih melawan penyakitnya. Ia bertahan demi Silvi, demi perusahaannya, demi pembaca websitenya. Hanya demi mereka, sungguh hanya demi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H