Walau ku tak bisa menjadi milikmu
Juga sebagai yang tercinta
Sungguh bukan maksudku
Untuk memaksamu menjadi milikku
Yang selama ini sudah menemaniku
Untuk sebagai yang tercinta
Di hatiku (Nikita Willy-Maafkan).
Udara dingin menyergap. Angin mendesau kencang, memburaikan rambut panjangnya. Wanita itu terus bermain piano. Bibirnya terkatup rapat. Mengabaikan tamparan angin di balkon terbuka ini.
Sesaat kemudian, petir bergemuruh. Sang wanita bergaun putih bergerak ketakutan di kursinya. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa. Beranjak dari balkon pun tak bisa.
Petir terus menggelegar. Lantai marmer bergetar. Pagar balkon bergemeretak. Cahaya kilat menyambar. Tapi, apa gunanya untuk wanita itu? Bola matanya tidak menangkap seberkas cahaya.
Mendengar gelegar petir saja membangkitkan ketakutannya. Ia memeluk dirinya sendiri, tanpa sadar bibirnya bergetar memanggil sepotong nama.