Orang-orang menyebutnya Masjid Marmer. Lantai, dinding, dan tangganya terbuat dari marmer cantik. Dulunya masjid ini bekas vihara. Setelah vihara ditutup, seorang pengusaha Muslim membeli dan mengubahnya jadi masjid.
Huruf-huruf Arab, Mandarin, dan Latin bertebaran. Di tempat wudhu, tertulis tata cara berwudhu yang benar. Keran-kerannya berlapis emas. Lampu kristal besar menggantung di ruang utama. Pendingin udara makin membuat jamaah nyaman beribadah.
Masjid ini terbagi dua lantai. Lantai satu untuk jamaah pria, lantai dua untuk jamaah wanita. Uniknya, masjid ini sering menjadi tempat mualaf blasteran mengucap kalimat syahadat.
Tak terhitung berapa kali Dokter Tian shalat di masjid ini. Jaraknya hanya seratus meter dari rumah sakit. Siang ini, ia datang ke masjid bukan hanya untuk shalat. Melainkan untuk menyaksikan sesosok wanita jelita melangkah ke pelukan Islam.
Kegugupan tergambar jelas di wajah Adeline. Dokter Tian menenangkannya. Meyakinkan pilihannya sudah benar.
"Terima kasih, Tian. Aku takut sekali..." Adeline bergumam pelan. Resah memain-mainkan jemari lentiknya.
"Kenapa kau memilih aku dan Dinda sebagai saksi? Kenapa tidak Assegaf saja?"
Belum sempat Adeline menjawab, Nyonya Dinda berlari kecil ke arah mereka. Tas Hermes berayun pelan di tangan kanannya. Ia tiba di depan Adeline dan Dokter Tian.
"Oh, untung aku belum terlambat." Nyonya Dinda terengah, merapikan lipatan bajunya.
Dokter Tian tersenyum lembut. Menggeser tubuhnya, memberi spasi untuk sang istri. Alhasil Dokter Tian dan Nyonya Dinda duduk bersisian. Adeline tersenyum melihatnya.
"Tenanglah, Adeline. Sebentar lagi kau akan menjadi Muslimah." Nyonya Dinda menghiburnya.