Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[3 Pria, 3 Cinta, 3 Luka] Pater, Saya Mencintai Seorang Muslim

19 Februari 2019   06:00 Diperbarui: 19 Februari 2019   06:15 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-orang menyebutnya Masjid Marmer. Lantai, dinding, dan tangganya terbuat dari marmer cantik. Dulunya masjid ini bekas vihara. Setelah vihara ditutup, seorang pengusaha Muslim membeli dan mengubahnya jadi masjid.

Huruf-huruf Arab, Mandarin, dan Latin bertebaran. Di tempat wudhu, tertulis tata cara berwudhu yang benar. Keran-kerannya berlapis emas. Lampu kristal besar menggantung di ruang utama. Pendingin udara makin membuat jamaah nyaman beribadah.

Masjid ini terbagi dua lantai. Lantai satu untuk jamaah pria, lantai dua untuk jamaah wanita. Uniknya, masjid ini sering menjadi tempat mualaf blasteran mengucap kalimat syahadat.

Tak terhitung berapa kali Dokter Tian shalat di masjid ini. Jaraknya hanya seratus meter dari rumah sakit. Siang ini, ia datang ke masjid bukan hanya untuk shalat. Melainkan untuk menyaksikan sesosok wanita jelita melangkah ke pelukan Islam.

Kegugupan tergambar jelas di wajah Adeline. Dokter Tian menenangkannya. Meyakinkan pilihannya sudah benar.

"Terima kasih, Tian. Aku takut sekali..." Adeline bergumam pelan. Resah memain-mainkan jemari lentiknya.

"Kenapa kau memilih aku dan Dinda sebagai saksi? Kenapa tidak Assegaf saja?"

Belum sempat Adeline menjawab, Nyonya Dinda berlari kecil ke arah mereka. Tas Hermes berayun pelan di tangan kanannya. Ia tiba di depan Adeline dan Dokter Tian.

"Oh, untung aku belum terlambat." Nyonya Dinda terengah, merapikan lipatan bajunya.

Dokter Tian tersenyum lembut. Menggeser tubuhnya, memberi spasi untuk sang istri. Alhasil Dokter Tian dan Nyonya Dinda duduk bersisian. Adeline tersenyum melihatnya.

"Tenanglah, Adeline. Sebentar lagi kau akan menjadi Muslimah." Nyonya Dinda menghiburnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun