-Semesta Calvin-
Meski gelap pandangan matanya, hati Abi Assegaf lembut bercahaya. Allah mencabut penglihatannya. Allah mempertahankan kelembutan hatinya.
Cuaca pagi itu dingin sekali. Hujan yang mengguyur sejak semalam betah sekali menyinggahi tepi pantai. Laut tak bersahabat. Rinai hujan menempel di teralis balkon.
"Sepi takkan membunuh kita..." Calvin membacakan buku, ditingkahi nyanyian lembut hujan.
Tak semua buku dialihhurufkan dalam bentuk Braille. Praktis Calvin masih sering membacakan buku untuk Abi Assegaf. Sesekali ia berhenti ketika merasakan suaranya mulai habis. Udara dingin memperparah sakit di tenggorokannya. Efek samping kemoterapi yang luput dari antisipasi: peradangan yang sangat mengganggu. Semakin hari, Calvin merasakan kekebalan tubuhnya makin menurun.
Abi Assegaf bisa mendengar Calvin terbatuk dan menyeka hidungnya. Dipegangnya tangan Calvin, lalu ia berkata. "Kita duduk di dalam saja ya."
Calvin mengangguk, lupa Abi Assegaf tidak bisa melihatnya. Ia pun menuntun ayah keduanya itu ke master suite.
Hanya para pelayan dan orang-orang terdekat yang boleh masuk ke kamar mewah ini. Sebuah kamar luas berlangit-langit tinggi yang menghadap ke arah pemandangan laut. Area istirahat dan area hiburan terpisah. Kamar tidur utama dilengkapi televisi 55 inchi, ranjang superbesar dua kali lipat dari ukuran king size berseprai sutra, bantal Nancy Corzine limited edition, dan barang-barang dekoratif karya J. Strong. Kamar mandi dipenuhi jacuzzi, sauna, private massage room, shower Sherle Wagner berlapis emas, dan toilet Neorest.
"Tolong putarkan lagu ini, Calvin."
Flashdisk mungil berpindah tangan. Calvin memasangkannya di audio system, terperangah melihat koleksi playlist. Lagu-lagu itu, mengingatkannya pada masa kecil.
"Dari mana Abi tahu?" desah Calvin setengah percaya.
"Abi tahu semua tentangmu. Calvin Wan yang berbakat, atlet basket dan mantan penyanyi cilik di ajang pencarian bakat."
"Itu sudah lama sekali, Abi. Saya mengikutinya karena ingin mendapatkan uang."
"Iya, Sayang. Abi bangga padamu. Kamu menginspirasi Abi."
Jika Abi Assegaf tahu semua tentangnya, berarti...
"Soal keyakinan lamamu, itu masa lalu. Abi bahagia sekali ketika akhirnya kamu memeluk cahaya cinta Allah."
"Maafkan saya, Abi. Saya pernah berbohong soal keyakinan..." lirih Calvin, dan ia benar-benar menyesal.
** Â Â Â
Ku telah kehilangan jejak kakimu
Entah kemanakah dirimu yang dulu selalu mencintai
Melekatnya hati di antara kita berdua
Jejak canda tawa tangis kita
Tak akan pernah hilang janji-janji kita
Tiada kata akhir untuk pintu harapan ini
Tak kulepas semua mimpi indah kita
Walau itu semua pudar
Seperti ini hanyalah mimpi
Ku tak tahu apa yang terjadi
Seperti mimpi yang tak pernah kuharap
Kini berakhir tak seperti yang kumau
Memulai bersama hingga maut memisahkan kita
Tak akan pernah hilang janji-janji kita
Tiada kata akhir untuk pintu harapan ini
Tak kulepas semua mimpi indah kita
Walau itu semua pudar
Bagai debu yang tersebar
Hanya diam meratapi mimpi (Isyana Sarasvati-Mimpi).
** Â Â
Bertemanlah dengan rasa sakit, begitu pesan mendiang Mamanya. Karena pesan motivasi itu, Calvin lebih kuat menjalani segala cobaan hidup. Ia jarang sekali mengeluh. Sejak kecil ditimpa banyak ujian, Calvin mampu melewatinya dengan tegar.
Namun, ketegaran pun berbatas. Ada kalanya deraan kesakitan hidup melebihi batas ketegaran. Bentuk deraan yang meruntuhkan batas ketegarannya kali ini adalah bone marrow puncture.
Satu jam tes sumsum tulang di bagian sternum (tulang dada). Rasa sakit yang ditinggalkannya berjam-jam. Bagian yang diambil sampel tulangnya membengkak. Terjadi infeksi dan perdarahan.
Tak kuat menahannya, Calvin berteriak kesakitan. Sakit ini, darah ini, sempurna melemahkannya. Calvin merasakan sakit ini melebihi kemoterapi dan rasa sakit lainnya.
Puluhan paku tajam serasa memenuhi ranjang putih yang ditidurinya. Mengapa harus sesakit ini? Apakah proses pengambilan nyawa sama sakitnya? Mungkinkah kematian bisa menutup rasa sakit?
Biarlah, biarlah ia menghadapinya sendirian. Tak ada yang tahu Calvin terbaring di rumah sakit setelah bone marrow puncture. Benarkah tak ada yang tahu?
Antara tertidur dan terjaga, Calvin mendengar derit pintu. Disusul langkah tergesa, helaan nafas cepat, dan bisikan tertahan. Siapakah itu? Malaikat mautkah? Apa sudah tiba waktunya? Jangan, jangan sekarang.
"Abi lihat sendiri kan? Sosok yang Abi bangga-banggakan."
Sensasi rasa sakit ini melemparkannya dalam delusi. Bagaimana mungkin malaikat maut memakai suara barithon Adica? Calvin terlalu lemah untuk bangun dan memastikan siapa yang datang.
"Dia hanya penipu. Laki-laki bodoh yang memaksa diri merawat Abi, padahal kondisinya sangat parah."
"Dia bukan penipu, Adica."
"Orang yang berpura-pura menjadi Muslim, apakah itu bukan penipu?"
Dalam kondisi setengah sadar, perkataan Adica menembus otak dan hatinya. Mengirimkan sinyal rasa sakit. Ada malaikat yang sakit raga dan hatinya, apakah Allah dan para malaikatNya di langit berdiam diri?
"Apa pun yang kaukatakan, Abi tetap menyayangi Calvin. Seperti Abi menyayangimu."
Terdengar bunyi ketukan tongkat. Kian dekat, kian dekat, kian dekat. Ya, Allah, apakah malaikat maut bertongkat? Tega sekali ia menyaru sebagai Abi Assegaf. Hati Calvin dicengkeram ketakutan. Ia takut, takut pasir waktunya telah habis.
Menit berikutnya, Calvin merasakan pelukan hangat. Bukan, ini bukan pelukan Izrail. Ini pelukan seorang ayah yang mengharapkan kesembuhan anaknya. Sungguh, pelukan yang menguatkan. Air mata siapa ini? Jelas bukan air matanya. Kristal bening pecah, malaikat menemukan sepercik kekuatan.
** Â Â Â
-Semesta Tuan Effendi-
Minggu pagi, Tuan Effendi bergegas ke gereja. Sejenak menyingkir dari intrik duniawi. Menyepi di rumah Tuhan.
Duduk nyaman di dalam mobilnya, Tuan Effendi kembali mengatur pikiran. Berusaha menetralisir kecemburuan. Cemburu lantaran sang anak lebih dekat dengan mantan tuannya.
Lihat saja ketika proses bone marrow puncture lima hari lalu. Siapa yang memeluk Calvin kala ia kesakitan? Siapa yang memberikan air mata dan doa-doa terbaiknya? Bahkan Tuan Effendi tak tahu kalau Calvin pergi ke rumah sakit untuk tes sumsum tulang.
Ironis, sangat ironis. Perasaan tertolak dan terabaikan menjajah hati. Hak Tuan Effendi sebagai ayah kandung terampas. Ingin memprotes, tapi tak bisa. Mana mungkin Tuan Effendi bersikap keras pada Calvin?
"Ya, Tuhan, dimana letak keadilanMu? Beri aku jalan agar bisa lebih dekat dengan anakku..." Tuan Effendi mendaraskan doa.
Rem mobil berdecit panjang. Pria berjas dark brown itu berteriak panik. Ia nyaris menabrak seorang wanita!
"Anda tidak apa-apa?" tanya Tuan Effendi dengan nafas memburu.
Saat si wanita berbalik, ia tersadar. "Adeline?"
"Anda Effendi, kan? Saya tidak apa-apa." Adeline berkata menenangkan.
"Mau kemana? Biar saya antar."
Bukan kebetulan bila tujuan mereka sama. Selang tiga menit, mobil meluncur menuju gereja.
Gereja dipenuhi jemaat saat mereka tiba. Tuan Effendi dan Adeline duduk di barisan kursi paling depan. Misa berlangsung khidmat.
Usai Misa, Tuan Effendi menawari Adeline pulang bersama. Adeline menolak dengan halus. Ia ingin bicara dengan Pater.
"Saya tunggu kalau begitu," ujar Tuan Effendi, lalu kembali duduk.
Adeline menyerah. Dihampirinya Pater berambut keperakan itu. Sang Pater tengah sibuk menandatangani surat Baptis, membalas sapaan beberapa umat, dan berbincang dengan seorang Suster tentang rencana pemberian Komuni pertama untuk sejumlah anak di Paroki. Selesai dengan kesibukannya, Pater itu tersenyum pada Adeline dan mengajaknya ke Sakristi.
Entah mengapa, Tuan Effendi tergerak mengikuti Adeline. Hatinya memanggil untuk mengetahui apa yang akan dilakukan wanita bergaun pale blue itu. Diikutinya Adeline dalam jarak aman.
"Apa kamu ingin mengaku dosa?" tanya Pater itu membuka pembicaraan.
Sesaat Adeline ragu. Ia bergerak resah di kursinya. Wajahnya tegang, namun tekadnya bulat.
"Pater, saya mencintai seorang Muslim."
Sebuah pengakuan, pengakuan yang menggetarkan. Tuan Effendi langsung tahu siapa orangnya. Keberanian besar ketika Non-Muslim mengaku mencinta seorang Muslim di depan pemuka agamanya.
"Apakah dia juga mencintaimu?"
"Saya melihat cinta di matanya. Pater, di balik kebutaannya, hatinya penuh cahaya."
"Kamu mencintai seseorang yang punya keterbatasan dan berbeda denganmu. Apa langkahmu?"
"Saya akan berdiri untuknya."
"Adeline, tak ada yang bisa menyalahkan cinta. Sulur cinta tumbuh merambati pohon perbedaan. Kau tahu kenapa aku sering menjodohkan anggota Mudika? Untuk menghindari cinta beda agama, pernikahan campur, dan penurunan jumlah umat. Sekeras apa pun aku berusaha, aku tak bisa melawan takdir."
Kesedihan melintas di wajah sang Pater. Adeline tak tega, namun ia teguh pada prinsipnya.
"Ini pengakuan terakhir saya, Pater. Mulai minggu depan, saya takkan datang lagi ke sini."
Sudah jelas, jelaslah semuanya. Pengakuan ini berujung perpisahan. Tuan Effendi terkesan dengan sikap Adeline. Tak semua orang yang berpindah ke lain sekte bisa bersikap seperti itu.
"Saya masuk baik-baik. Saya pun ingin keluar baik-baik, Pater."
** Â Â
-Semesta Dokter Tian-
Orang-orang menyebutnya Masjid Marmer. Lantai, dinding, dan tangganya terbuat dari marmer cantik. Dulunya masjid ini bekas vihara. Setelah vihara ditutup, seorang pengusaha Muslim membeli dan mengubahnya jadi masjid.
Huruf-huruf Arab, Mandarin, dan Latin bertebaran. Di tempat wudhu, tertulis tata cara berwudhu yang benar. Keran-kerannya berlapis emas. Lampu kristal besar menggantung di ruang utama. Pendingin udara makin membuat jamaah nyaman beribadah.
Masjid ini terbagi dua lantai. Lantai satu untuk jamaah pria, lantai dua untuk jamaah wanita. Uniknya, masjid ini sering menjadi tempat mualaf blasteran mengucap kalimat syahadat.
Tak terhitung berapa kali Dokter Tian shalat di masjid ini. Jaraknya hanya seratus meter dari rumah sakit. Siang ini, ia datang ke masjid bukan hanya untuk shalat. Melainkan untuk menyaksikan sesosok wanita jelita melangkah ke pelukan Islam.
Kegugupan tergambar jelas di wajah Adeline. Dokter Tian menenangkannya. Meyakinkan pilihannya sudah benar.
"Terima kasih, Tian. Aku takut sekali..." Adeline bergumam pelan. Resah memain-mainkan jemari lentiknya.
"Kenapa kau memilih aku dan Dinda sebagai saksi? Kenapa tidak Assegaf saja?"
Belum sempat Adeline menjawab, Nyonya Dinda berlari kecil ke arah mereka. Tas Hermes berayun pelan di tangan kanannya. Ia tiba di depan Adeline dan Dokter Tian.
"Oh, untung aku belum terlambat." Nyonya Dinda terengah, merapikan lipatan bajunya.
Dokter Tian tersenyum lembut. Menggeser tubuhnya, memberi spasi untuk sang istri. Alhasil Dokter Tian dan Nyonya Dinda duduk bersisian. Adeline tersenyum melihatnya.
"Tenanglah, Adeline. Sebentar lagi kau akan menjadi Muslimah." Nyonya Dinda menghiburnya.
Benar saja. Tak kurang dari satu jam, Adeline Lourdes telah resmi menjadi Muslimah. Kalimat syahadat terucap dengan sempurna. Kelegaan menghangati hati Dokter Tian dan Nyonya Dinda.
Sepersekian menit mereka berdua saling tatap. Menyalurkan hangat dari kedalaman hati. Mengutarakan kelegaan yang sama dengan telepati. Rencana Adeline berjalan mulus: terbaiat menjadi Muslimah, mengeratkan kembali Dokter Tian dan istrinya.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H