Biarlah, biarlah ia menghadapinya sendirian. Tak ada yang tahu Calvin terbaring di rumah sakit setelah bone marrow puncture. Benarkah tak ada yang tahu?
Antara tertidur dan terjaga, Calvin mendengar derit pintu. Disusul langkah tergesa, helaan nafas cepat, dan bisikan tertahan. Siapakah itu? Malaikat mautkah? Apa sudah tiba waktunya? Jangan, jangan sekarang.
"Abi lihat sendiri kan? Sosok yang Abi bangga-banggakan."
Sensasi rasa sakit ini melemparkannya dalam delusi. Bagaimana mungkin malaikat maut memakai suara barithon Adica? Calvin terlalu lemah untuk bangun dan memastikan siapa yang datang.
"Dia hanya penipu. Laki-laki bodoh yang memaksa diri merawat Abi, padahal kondisinya sangat parah."
"Dia bukan penipu, Adica."
"Orang yang berpura-pura menjadi Muslim, apakah itu bukan penipu?"
Dalam kondisi setengah sadar, perkataan Adica menembus otak dan hatinya. Mengirimkan sinyal rasa sakit. Ada malaikat yang sakit raga dan hatinya, apakah Allah dan para malaikatNya di langit berdiam diri?
"Apa pun yang kaukatakan, Abi tetap menyayangi Calvin. Seperti Abi menyayangimu."
Terdengar bunyi ketukan tongkat. Kian dekat, kian dekat, kian dekat. Ya, Allah, apakah malaikat maut bertongkat? Tega sekali ia menyaru sebagai Abi Assegaf. Hati Calvin dicengkeram ketakutan. Ia takut, takut pasir waktunya telah habis.
Menit berikutnya, Calvin merasakan pelukan hangat. Bukan, ini bukan pelukan Izrail. Ini pelukan seorang ayah yang mengharapkan kesembuhan anaknya. Sungguh, pelukan yang menguatkan. Air mata siapa ini? Jelas bukan air matanya. Kristal bening pecah, malaikat menemukan sepercik kekuatan.