Sesaat kemudian, Calvin kembali ke samping Dokter Tian. Dengan sedih Dokter Tian menyaksikan perubahan pada tubuh pasien istimewanya. Langkah kaki pemuda orientalis itu tak selincah dulu. Rambutnya menipis. Lingkaran hitam di bawah matanya menandakan kelelahan yang menghebat.
Hasil kemoterapi sebelumnya negatif. Sel-sel kanker itu masih tertinggal di leukosit dan tulangnya. Kemoterapi masih bisa dilanjutkan karena kondisi Calvin cukup kuat.
Jarum-jarum berkilat. Cairan disuntikkan ke lengan. Calvin kesakitan. Mata Dokter Tian terpejam. Dia tak tega, sungguh tak tega tiap kali momen ini tiba.
Andai saja ada ilmu memindahkan rasa sakit. Dokter Tian akan mengamalkan ilmu itu, lalu memindahkan rasa sakit Calvin ke raganya sendiri. Kali pertama, Dokter Tian memprotes Allah. Mengapa Allah tidak adil? Ia renggut keluarga Calvin, sekarang dirampas pula kesehatannya. Mengapa Allah tega sekali menumpahkan racun kesakitan padanya?
Menguatkan lebih baik dari memprotes. Hitamnya takdir dapat dinetralisir dengan putihnya ketulusan. Setulus hati Dokter Tian merawat Calvin. Menemaninya, menyuapinya, menggantikan pakaiannya, dan membersihkan muntahannya. Dokter Tian selalu ada tiap kali Calvin jatuh dalam kondisi terlemah sekalipun.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H