Tergetar, hati Calvin sempurna tergetar. Walau dia bukan objek dalam surat ini. Tapi ia mampu merasakan. Adeline menulis surat dengan cinta.
Sebuah agen cinta yang klasik. Di zaman digital dengan serbuan medsos, Adeline masih memakai cara lama. Surat, romantisme yang tak terlupakan.
Lain Calvin, lain Abi Assegaf. Hatinya dialiri ketenangan. Surat dari Adeline mengantarkan kehangatan.
Adeline pernah menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita pelukis masa lalu. Gurat-guratnya dalam kanvas kehidupan tidak terlalu buruk, bahkan indah. Hanya takdir yang membuat mereka terpisah. Adeline melahirkan keturunannya, Adeline menjaga harta mereka satu-satunya yang paling berharga.
Dusta bila Abi Assegaf membantah selaksa cinta. Adeline masih mencintainya, begitu pula Abi Assegaf. Dua sosok yang saling mencintai, namun tak bisa bersatu.
Sembunyi-sembunyi Calvin melempar pandang ke wajah Abi Assegaf. Wajah teduh nan sabar itu tenang, amat tenang. Andai Calvin spiritualis, ia akan mudah membaca isi hati Tuannya. Tatapan ia alihkan pada pigura besar berisi foto keluarga. Pigura itu terpajang di dinding ruang tamu. Di foto itu, tampak Abi Assegaf berfoto bersama Adeline dan Adica. Menara Eiffel menjadi latar belakang.
Sungguh, Calvin mengagumi keluarga satu itu. Mereka keluarga unik dan berkarakter. Keluarga A, Calvin mencatat nama mereka dalam benaknya. Semua nama anggota keluarga diawali huruf yang sama: Assegaf, Adeline, dan Adica.
"Calvin, terima kasih kamu mau membacakan surat ini." lirih Abi Assegaf.
Calvin tersenyum. "Sama-sama, Abi. Mau saya bantu menuliskan balasannya?"
"Kamu baik sekali. Tidak perlu, Calvin. Saya tidak akan membalasnya."
"Bagaimana kalau Nyonya Adeline menunggu balasan Abi?"