Rinai hujan memeluk pagi. Awan-awan memecah. Menyisakan warna putih di kaki langit. Udara dingin sekali. Laut bergelombang, sedikit memperlihatkan amarahnya.
Di tengah derai hujan, Calvin mengayun langkah ke rumah mewah tepi pantai. Ia hampir terlambat. Sebentar lagi pukul delapan. Tak ingin dikecewakannya Abi Assegaf.
Tiba di halaman rumah, Calvin berpapasan dengan pengantar susu dan kurir. Pengantar susu turun dari motornya. Mengangsurkan botol-botol susu ke tangan Calvin. Si kurir berwajah legam mengulurkan amplop putih. Tertulis nama Abi Assegaf di alamat penerima.
"Ada surat untuk Abi," kata Calvin setelah meletakkan botol-botol susu di dapur.
"Dari siapa, Calvin?"
"Adeline." Calvin membaca nama pengirimnya.
Kerutan di dahi Abi Assegaf terurai menjadi senyuman itu. Senyum itu, binar mata itu, belum pernah Abi Assegaf sangat bahagia mendapat surat. Calvin duduk di sampingnya.
"Tolong bacakan surat itu untukku, Calvin."
Ah, ini terlalu ironis. Seharusnya tugas ini lebih pantas dilakukan Adica. Tak apa, menyuruh Adica pulang untuk membacakan surat itu berat. Biar Calvin saja.
Pelan dibukanya amplop. Hati-hati sekali agar tidak robek. Abi Assegaf mengawasi gerakan tangannya. Cekatan tetapi lembut, pikir pria itu salut. Dengan suara bassnya yang empuk dan merdu, Calvin mulai membaca.
Dear Assegaf,
Bagaimana kabarmu? Apakah kondisi matamu sudah membaik? Sudah ada progreskah dari operasi pemasangan ring di jantungmu tiga bulan lalu? Kuharap semuanya baik-baik saja.
Kabarku baik. Aku masih disibukkan dengan kegiatan gereja. Kata anggota Wanita Katolik dan Legio Maria, aku terlalu aktif. Biar saja apa pun persepsi mereka. Toh aku yang menjalani.
Akhir-akhir ini aku senang melihat para Suster berkerudung putih. Hati terasa sejuk melihatnya. Minggu lalu, kusaksikan Suster-Suster cantik itu berkolaborasi dengan grup kasidah. Walau mereka berbeda keyakinan, tapi mereka disatukan oleh hijab. Demi Yesus yang kucintai, hatiku dielus kedamaian.
Honestly, aku sedih ketika Adica resign. Dia mengundurkan diri hanya karena intrik kantor. Sudah kunasihati dia untuk survive di sana, tapi dia berkeras pergi. Pasti kau mendukung apa pun pilihannya, kan?
Kurasakan ada yang timpang dalam hidupku. Kau tak ada. Adica menenggelamkan diri dalam kesibukan. Berkali-kali kutolak lamaran pria lain. Bila harus kugambarkan rasaku padamu, lebih representatif dengan lagu ini.
Duhai diri
Ubahlah arusmu
Jadi arah yang dia sukai
Rendahkanlah hatimu
Duhai alam
Hujani dia dengan cinta
Dan hatinya yang terbuka
Aku menyayanginya
Dan terbukalah hatimu
Ada jalan untukku
Milikimu sayangimu
Dan terbukalah hatimu
Ada jalan untukku
Milikimu sayangimu (Yura Yunita-Buka Hati).
Warm regards,
Adeline
Tergetar, hati Calvin sempurna tergetar. Walau dia bukan objek dalam surat ini. Tapi ia mampu merasakan. Adeline menulis surat dengan cinta.
Sebuah agen cinta yang klasik. Di zaman digital dengan serbuan medsos, Adeline masih memakai cara lama. Surat, romantisme yang tak terlupakan.
Lain Calvin, lain Abi Assegaf. Hatinya dialiri ketenangan. Surat dari Adeline mengantarkan kehangatan.
Adeline pernah menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita pelukis masa lalu. Gurat-guratnya dalam kanvas kehidupan tidak terlalu buruk, bahkan indah. Hanya takdir yang membuat mereka terpisah. Adeline melahirkan keturunannya, Adeline menjaga harta mereka satu-satunya yang paling berharga.
Dusta bila Abi Assegaf membantah selaksa cinta. Adeline masih mencintainya, begitu pula Abi Assegaf. Dua sosok yang saling mencintai, namun tak bisa bersatu.
Sembunyi-sembunyi Calvin melempar pandang ke wajah Abi Assegaf. Wajah teduh nan sabar itu tenang, amat tenang. Andai Calvin spiritualis, ia akan mudah membaca isi hati Tuannya. Tatapan ia alihkan pada pigura besar berisi foto keluarga. Pigura itu terpajang di dinding ruang tamu. Di foto itu, tampak Abi Assegaf berfoto bersama Adeline dan Adica. Menara Eiffel menjadi latar belakang.
Sungguh, Calvin mengagumi keluarga satu itu. Mereka keluarga unik dan berkarakter. Keluarga A, Calvin mencatat nama mereka dalam benaknya. Semua nama anggota keluarga diawali huruf yang sama: Assegaf, Adeline, dan Adica.
"Calvin, terima kasih kamu mau membacakan surat ini." lirih Abi Assegaf.
Calvin tersenyum. "Sama-sama, Abi. Mau saya bantu menuliskan balasannya?"
"Kamu baik sekali. Tidak perlu, Calvin. Saya tidak akan membalasnya."
"Bagaimana kalau Nyonya Adeline menunggu balasan Abi?"
Abi Assegaf meraih iPhone. Ia menelepon asistennya. Dimintanya sang asisten mengirimkan satu set perhiasan emas dan berlian ke rumah Adeline.
** Â Â
-Semesta Tuan Effendi-
Resepsionis petit berambut gelap di balik meja melipat dahi. Pagi-pagi sekali, ia sudah didatangi tamu aneh. Seorang pria oriental mengaku dari Australia Barat tengah mencari anaknya.
"Saya bisa bantu," kata resepsionis itu santun.
"Tapi saya harus tahu siapa nama anak Anda."
Tuan Effendi menghela nafas. Menatap nanar langit-langit lobi. Sayang sekali, ia tidak tahu siapa nama anaknya. Profil yang diberikan rekan bisnisnya kurang lengkap.
"Saya tidak tahu..." desahnya pasrah.
"Bagaimana saya akan bantu kalau Anda tidak sebutkan namanya?"
Hening, sempurna hening. Keduanya membeku. Dipisahkan meja tinggi berlapis kayu dan kaca. Mereka terbentur pada ketidaktahuan.
Resepsionis itu tak habis pikir dengan tamunya. Bisa-bisanya dia mencari seseorang, tapi tak tahu namanya. Anak sendiri pula. Ayah macam apa itu? Bahkan, ayah zaman now yang terbiasa dengan gawai pun takkan melupakan nama anaknya.
Seberkas ide berkelebatan di benak Tuan Effendi. Ia meminta kompromi.
"Kalau begitu, bisakah saya minta data dan foto para penghuni apartemen ini?"
"Tidak bisa. Kami menjaga keamanan penghuni apartemen ini."
"Ayolah..." Tuan Effendi memohon.
"Anda pikir saya orang jahat? Saya bukan mafia, perampok, detektif, mata-mata, atau hacker. Saya hanya pria kesepian yang mencari anak saya."
Saat mengatakan 'kesepian', wajah Tuan Effendi berubah sendu. Ia kesepian, benar-benar kesepian. Tak adakah yang mengerti kecuali Tuhan?
Iba hati si resepsionis. Sebagai wanita, perasaannya lebih peka. Tetapi dia tak bisa melanggar peraturan. Jika peraturan dilanggar, bisa-bisa dia kehilangan pekerjaan.
"Maaf Pak, saya tetap tidak bisa." sesalnya.
Keputusasaan memukuli hati. Tuan Effendi menggunakan kemungkinan terakhir.
"Kalau begitu, saya mau beli apartemen di sini. Masih adakah unit yang kosong?"
"Ada, Pak. Penthouse di lantai 33."
Tak lama, Tuan Effendi melangkah ke lift. Ia ingin melihat-lihat penthouse yang akan dibelinya. Lift kosong. Ditekannya tombol 33. Benda stainless itu berguncang naik, menggelitik dasar perutnya. Sedikit horor saat naik lift sendirian.
Ting
Pintu lift terbuka di lantai 12. Seorang pemuda berkemeja hitam masuk. Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Tuan Effendi mengenalinya. Ya, Tuhan, pemuda tampan itu...pemuda berkulit putih dan bermata sipit yang mencuri perhatiannya. Wajah pemuda itu masih terpatri di benaknya.
"Selamat pagi," sapa pemuda itu ramah.
"Pagi." balas Tuan Effendi, suaranya sedikit bergetar.
"Anda yang waktu itu ketemu di pantai, kan? Yang menabrak Abi Assegaf?"
Tuan Effendi mengangguk antusias. Ternyata si pemuda masih ingat.
"Kamu tinggal di sini juga?"
"Iya. Saya tinggal di lantai 27. Anda mau ke lantai 33?"
"Betul. Kamu mau kemana, Nak?"
"Saya mau ke lantai dasar, tapi Anda dulu sajalah. Saya bisa menunggu."
Baik sekali pemuda ini. Ia tidak menekan tombol lantai dasar dan membiarkan lift terus naik. Mementingkan orang lain, sungguh tidak egois. Makin terkesan Tuan Effendi karenanya.
"Siapa namamu?" Tuan Effendi berani bertanya.
"Calvin Wan."
Senyum itu, suara empuk itu, pembawaan lembut dan penyayang itu. Sempurna menggetarkan hati Tuan Effendi. Calvin, nama itu berdenting lembut di kepalanya. Seperti denting hujan yang jatuh dengan lembut di atas kelopak bunga.
** Â Â
-Semesta Dokter Tian-
Manik matanya tak puas menatapi sosok itu. Sosok tinggi semampai berparas pucat yang tengah menenangkan anak kecil berkepala botak.
"Kamu harus kemoterapi, Sayang. Nggak sakit kok, kamu pasti sembuh."
"Tapi Kaka ganteng temenin aku ya..."
"Iya, Sayang."
Hati Dokter Tian menghangat. Calvin berhasil membujuk anak itu kemoterapi. Diberinya sebatang coklat untuk anak itu. Ah, baik sekali. Dokter Tian tahu, Calvin tak memiliki banyak uang. Namun semangatnya untuk berbagi layak menginspirasi.
Sesaat kemudian, Calvin kembali ke samping Dokter Tian. Dengan sedih Dokter Tian menyaksikan perubahan pada tubuh pasien istimewanya. Langkah kaki pemuda orientalis itu tak selincah dulu. Rambutnya menipis. Lingkaran hitam di bawah matanya menandakan kelelahan yang menghebat.
Hasil kemoterapi sebelumnya negatif. Sel-sel kanker itu masih tertinggal di leukosit dan tulangnya. Kemoterapi masih bisa dilanjutkan karena kondisi Calvin cukup kuat.
Jarum-jarum berkilat. Cairan disuntikkan ke lengan. Calvin kesakitan. Mata Dokter Tian terpejam. Dia tak tega, sungguh tak tega tiap kali momen ini tiba.
Andai saja ada ilmu memindahkan rasa sakit. Dokter Tian akan mengamalkan ilmu itu, lalu memindahkan rasa sakit Calvin ke raganya sendiri. Kali pertama, Dokter Tian memprotes Allah. Mengapa Allah tidak adil? Ia renggut keluarga Calvin, sekarang dirampas pula kesehatannya. Mengapa Allah tega sekali menumpahkan racun kesakitan padanya?
Menguatkan lebih baik dari memprotes. Hitamnya takdir dapat dinetralisir dengan putihnya ketulusan. Setulus hati Dokter Tian merawat Calvin. Menemaninya, menyuapinya, menggantikan pakaiannya, dan membersihkan muntahannya. Dokter Tian selalu ada tiap kali Calvin jatuh dalam kondisi terlemah sekalipun.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H